Peluang dan Tantangan Biofuel Pengganti Bahan Bakar Mineral
Sadar nggak bahan bakar yang selama ini kita gunakan ada batasannya? Kendaraan yang kita gunakan, masakan lezat yang kita nikmati, dan terangnya kehidupan di malam hari, semua itu berkat bahan bakar mineral yang mengandung hidrokarbon, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara.
Bahan bakar mineral ini terbentuk karena adanya proses alamiah berupa pembusukan dari organisme yang mati ratusan juta tahun yang lalu. Bila bahan bakar ini terus-menerus digunakan, enargi yang dihasilkan mineral tersebut juga habis.
Hasil sebuah penelitian yang dimuat dalam artikel pada kumparan yang menyuplik laman MAHB Stanford, bahwa minyak akan habis di tahun 2052, gas akan habis di tahun 2060, dan batubara habis pada tahun 2090.
Mungkin sekarang kita sudah mulai merasakan yang dulunya memasak menggunakan kompor minyak tanah, sekarang beralih ke kompor gas. Hal itu bukan karena adanya subsidi tabung gas dari pemerintah, melainkan karena minyak tanah yang semakin langka dan susah dicari. Jadi mau tidak mau masyarakat diajak beralih menggunakan kompor gas. Lantas bagaimana kalau gas juga habis? Kita mau memasak menggunakan bahan bakar apa?
Listrik?
Perlu diketahui bahwa pembangkit tenaga listrik juga menggunakan bahan bakar mineral, seperti batubara, gas alam, atau minyak bumi untuk memproduksi listrik. Bila semua energi yang dihasilkan dari bahan bakar mineral tersebut habis, maka kucar-kacirlah masyarakat bumi ini.
Oleh karena itu, perlu energi terbaharukan untuk menggantikan bahan bakar mineral yang kian hari semakin menipis. Salah satunya ialah Biofuel alternatif energi yang bisa diusahakan.
Apa Itu Biofuel?
Jumat 12 November 2021, Eco Blogger Squad kembali membuat acara online gathering. Kali ini temanya tentang Mengenal Lebih Jauh tentang Biofuel.
Gathering tersebut menghadirkan Kukuh Sembodho (Program Asisten Biofuel Yayasan Madani) dan Ricky Amukti selaku Engagetment Manager di Traction Energy Asia sebagai narasumber. Mereka menguak semua tentang energi terbarukan ini dan membahas peluang serta tantangannya ke depan.
Biofuel sendiri diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bioethanol, biodiesel, dan biogas. Ketiga tersebut berasal dari bahan-bahan nabati yang terdapat di sekitar kita.
1. Bioetanol; merupakan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, buah-buahan, dan limbah sayuran. Proses pengolahannya melalui fermentasi yang bila bioethanol ini dicampur dengan bensin dalam takaran tertentu mampu berfungsi sebagai bahan bakar.
2. Biodiesel; merupakan sumber energi yang berasal dari minyak-minyak nabati, seperti minyak tanaman jarak, kedelai, sawit, hingga bunga matahari. Sebenarnya masih banyak tanaman yang bisa menghasilkan biodiesel, hanya saja belum diteliti lebih lanjut.
3. Biogas; energi yang berasal dari fermentasi kotoran hewan atau manusia. Dengan proses tertentu, biogas dapat menghasilkan energi yang dimanfaatkan untuk kegiatan rumah tangga dan industri skala kecil.
Peluang & Tantangan Biofuel Sebagai Energi Terbarukan
Adanya energi terbarukan berupa biofuel memberikan peluang besar bagi Indonesia. Terlebih daerah ini kaya akan tenaman-tanaman penghasil bioufuel. Namun, di sisi lain juga terdapat tantangan besar karena bila produksi biofuel dibuat dengan skala besar, berapa banyak lahan yang dibutuhkan untuk menanam tumbuhan penghasil biofuel?
Menurut Mas Kukuh dalam slide presentasinya, beginilah gambaran jumlah lahan yang dibutuhkan supaya produksi biofuel mampu direalisasikan.
Berdasarkan pemaparan di atas, artinya demi memenuhi kepentingan produksi bahan bakar B30-B50, dibutuhkan lahan baru untuk perkebunan sawit seluas 20,4-22,8 juta Ha.
Padahal bila kita ulik lebih dalam bahwa sawit masih menjadi masalah besar sebagai pemicu munculnya deforestasi. Selain itu, sawit juga tumbuhan primadona sebagai penghasil devisa tertinggi negeri ini.
Lebih lanjut Mas Kukuh dan Mas Ricky menjelaskan bahwa bukan tanaman sawitnya yang salah. Namun yang perlu diperkarakan ialah oknum-oknum yang menanam sawit dengan cara yang salah dan tidak mengindahkan aturan menganai pengelolaan lingkungan berkelanjutan.
Produksi Biofuel Sesuai dengan Sumber Daya yang Ada
Salah satu cara untuk menjawab tantangan ini ialah dengan memanfaatkan sumber daya yang ada saat ini. Indonesia sudah memiliki perkebunan sawit yang cukup luas untuk menunjang perekonomian dan produksi biofuel. Nah, agar dalam proses pembuatan biofuel tak ada lagi deforestasi, maka pemerintah hendaknya meng-stop izin pembukaan lahan baru untuk tanaman sawit.
Selain itu, kita bisa menghemat penggunaan lahan dengan cara memanfaatkan minyak jelantah yang sudah tidak terpakai. Ini perlu diketahui oleh ibu-ibu biar jangan asal buang minyak jelantah.
Minyak jelantah ialah limbah minyak yang tidak digunakan lagi setelah menggoreng seperti, minyak jagung, minyak sayur, minyak samin, dan sebagainya.
Minyak jelantah ini tidak baik digunakan lagi untuk memasak atau menggoreng karena mengadung senyawa karsinogenik. Bukan hanya itu, minyak jelantah juga tidak bisa dibuang sembarangan ke tanah, sungai, atau saluran air.
Sebab, minyak jelantah yang dibuang sembarangan ke saluran air bisa menyumbat pipa-pipa pembuangan. Akibatnya saluran pembuangan pun berisiko tersumbat. Layaknya membuang limbah berbahaya, perlu ada pengelolaan lebih lanjut agar minyak jelantah tidak mencemari lingkungan.
Sebagaimana yang dijelaskan Mas Ricky pada acara Online Gathering tersebut bahwa ternyata limbah minyak jelantah bisa diolah kembali menjadi biofuel.
Dari ingografis tersebut terlihat bahwa konsumsi minyak goreng orang Indonesia cukup tinggi, yaitu di angka 16,2 juta kilo liter per tahunnya. Sedangkan hasil dari minyak jelantahnya sebanyak 3 juta kilo meter. Apakah sinkron dengan jumlah sebanyak itu hanya mengahasilkan minyak jelantah tidak lebih dari seperempatnya saja.
Kemana selebihnya? Digunakan kembali sebagai minyak goreng atau dibuang? Tentu kondisi tersebut sangat disayangkan mengingat jelantah berpeluang besar untuk dijadikan biofuel.