Perjuangan Mengikuti Kemah Literasi di Sumatera Utara

Jumat, Mei 10, 2019 0 Comments A+ a-

Peserta Kemah Literasi

“Pak, Yel tidak jadi ikut Kemah Literasi,” ujarku kepada Yarmen Dinamika, Pembina Forum Aceh Menulis (FAMe). 

“Lo, kenapa?” jawabnya yang heran atas keputusanku. 

Padahal, empat hari sebelumnya, aku begitu bersemangat mengabarkan atas kelulusanku dalam seleksi Kemah Literasi yang diadakan Indonesia Melek Media (IMMedia) di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), pada 25-28 April 2019. Kegiatan ini tidak ditanggung panitia biaya keberangkatannya dan justru pesertalah yang harus investasi dengan membayar sejumlah uang untuk biaya pendaftran. 

Aku sangat ingin mengikuti kegiatan berskala nasional ini karena orientasinya bagus untuk pengembangan FAMe ke depan sebagi komunitas yang fokus terhadap literasi di Aceh. Oleh sebab itu pula aku mendaftarkan diri atas nama FAMe. Namun, karena acaranya dibuat pada akhir bulan, di tengah kondisi keuanganku yang saat itu sedang menipis, maka aku batalkan untuk ikut serta dalam kegiatan penting ini. 

Akhirnya aku bisa mengikuti kemah literasi dan mengunjungi Kampung Nelayan
Uang yang aku simpan untuk keberangkatan ke Medan sebelumnya kugunakan untuk pulang ke kampung halaman, Aceh Selatan, untuk bisa ikut pemilu. Sebenarnya aku bisa saja mencoblos di Banda Aceh dengan meminta keterangan form A5, tapi ibu memintaku pulang untuk memilih di kampung karena pascanikah bulan Februari lalu, aku belum pernah pulang. Akhirnya duit itu terpakai untuk biaya pulang kampung yang jumlahnya sama dengan biaya ke Medan dari Banda Aceh. 

Sebenarnya, aku bisa saja memanfaatkan momen pemilu dengan menerima uang dari beberapa calon legislatif (caleg) yang mengandalkan praktik politik uang untuk membeli suara pemilih. Bahkan ada beberapa tim sukses (timses) caleg yang menawarkan uang dengan jumlah lumayan besar kepadaju, tapi aku menolaknya. 

Bila orang di sekitarku menjadikan momen itu sebagai ‘aji mumpung’ untuk mengumpul rupiah, biarlah mereka saja yang bersikap begitu. Tapi aku memilih untuk tidak terlibat di dalamnya. Sudah menjadi rahasia umum waktu pemilu lalu bahwa praktik uang begitu menjamur di daerahku. Namun, aku tetap memegang prinsip bahwa suaraku independen dan tak perlu dibeli. 

Akhirnya ketika balik ke Banda Aceh aku hanya menyisakan beberapa lembar uang lima puluhan ribu yang cukup untuk ongkos mobil dan biaya makan. Sedangkan honorarium menulis dan kerja paruh waktuku baru keluar awal bulan Mei. Mencari pinjaman pun juga sulit karena kondisinya di akhir bulan, makanya aku putuskan untuk membatalkan ikut acara Kemah Literasi tersebut. 

Orang baik 

Salah satu teman baik yang aku jumpai saat Kemah Literasi

“Kalau begitu, FAMe akan tanggung semua biaya pendaftaran Yelli. Untuk transportasi, Yel bisa naik bus saja dan uangnya coba pinjam di pegadaian dulu karena jangka waktunya sebentar. 

Dulu saat saya kuliah, ketika orang tua saya telat mengirimkan uang belanja maka pegadaianlah solusinya,” ujar Yarmen kepadaku. Ia juga mengomunikasikan di grup WhatsApp FAMe perihal kendala finansial yang sedang aku hadapi. Rupanya ada teman yang berbaik hati mengirimkan sejumlah uang kepadaku untuk keberangkatan ke Medan. 

Akhirnya, H-2 kegiatan Kemah Literasi, aku segera menghubungi panitia dan mengatakan aku ikut dalam kegiatan tersebut. Untungnya panitia masih mengizinkanku menjadi bagian dari peserta Kemah Literasi. Nasib baik pun kembali berpihak kepadaku, honorarium tulisan atas kerja sama dengan Traveloka di bulan Maret lalu masuk ke rekening sehingga aku tak perlu meminjam uang di pegadaian lagi. Aku pun berangkat Kamis malam, 25 April 2019 menggunakan bus menuju Kota Medan. 

Lagi-lagi aku berjumpa dengan orang baik. Saat di bus, aku bersebelahan duduk dengan seorang pria paruh baya yang hendak menuju Kota Lhokseumawe. Aku menawarkannya roti untuk membuka pembicaraan sehingga aku ada teman berbicara saat di bus. Rupanya saat makan malam di Grong Grong, Pidie, dia membayar semua makananku. Saat sarapan pagi di Medan pun demikian, aku ditraktir makan oleh teman yang juga peserta Kemah Literasi berasal dari Lhoksemawe. Ucapan terima kasih yang bisa saya ucapkan kepada orang-orang baik tersebut dan berdoa agar Allah memberkahi hidup mereka. 

Kampung nelayan 

Kampung Nelayan Seberang di Belawan, Medan yang merupakan tujuan Field Trip Kemah Literasi

Setelah bertemu panitia, kami pun menuju ke Balai Pertanian dan Penyuluhan Perikanan di Belawan, Medan, tempat penginapan dan tempat acara dilaksanakan. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana menggunakan angkutan umum (angkot) dengan jalan berlubang yang mengaduk-aduk isi perut. 

“Beginilah kondisinya karena sering mobil besar muatan barang melalui jalan ini sehingga membuat jalan yang sudah di aspal ini menjadi rusak,” ujar salah seorang panitia. 

Sesampainya di sana, kami letakkan barang-barang kemudian makan siang karena setelah itu kami harus ke Kampung Nelayan Seberang yang berada di Dusun 14 Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Untuk menuju ke sana kami harus naik angkot lagi setengah jam, kemudian sesampai di dermaga harus menaiki perahu untuk menyeberang ke kampung nelayan. 

Jaraknya tak terlalu jauh, hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai ke sana, tapi yang membuat aku takjub dan terheran-heran ialah kondisi kampung tersebut. Rumah warga di kampung nelayan ini dibangun dari kayu. Disangga dengan tiang-tiang dari pohon bakau. Untuk menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya, dibangun jembatan yang juga bermaterial kayu dan hanya bisa dilalui pejalan kaki. 

Pondok Belajar Arnila di Kampung Nelayan Sebrang
Di kampung ini juga terdapat sekolah dasar, musala, pos kesehatan desa (poskesdes), dan areal pemakaman. Uniknya pemakaman ini berada di antara tanaman bakau yang ditimbun tanah sehingga membentuk delta dan bila air laut sedang pasang maka pemakaman ini terendam dan rumah-rumah warga terapung. 

Seperti perkampungan pada umumnya, aktivitas warga di sini juga berlangsung normal. Saya melihat bagaimana anak-anak asyiknya bermain di atara pepohonan bakau yang menyangga rumah mereka, para ibu yang duduk bersantai sambil tersenyum ramah menyambut kedatangan kami, dan alunan musik berasal dari salah satu rumah warga yang sedang asyik karaoke. 

Aktivitas di Kampung Nelayan

Meskipun rumah mereka berdempetan dan banyak sampah di sekitarnya, tidak membuat mereka mengeluh dengan keadaan ini. Mereka justru senang tinggal di permukiman yang, menurut saya, tidak layak untuk ditempati ini. Namun, ternyata mereka senang dan bahagia tinggal di sini. “Saya sudah delapan tahun tinggal bersama anak dan saya merasa lebih nyaman tinggal di sini daripada di tempat tinggal sebelumnya,” ujar salah satu warga yang bernama Siti kepada saya. 

Nah, begitulah. Masing-masing orang punya taste dan kriteria tersendiri dalam memaknai hidup layak dan hidup nyaman. 

Alat transportasi menuju ke Kampung Nelayan
Artikel ini sudah pernah diterbitkan di koran Serambi Indonesia, edisi 2 Mei 2019.