Pahlawan Literasi dari Tanah Deli

Selasa, Mei 14, 2019 2 Comments A+ a-

Pahlawan Literasi masa depan

Kedatanganku bersama tim Indonesia Melek Media [IMMedia] ke Kampung Nelayan Seberang, Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumut bukan hanya sekadar lawatan saja. Namun, di sini kami melakukan survei ke beberapa warga terkait penggunaan media massa. 

Ada tiga item yang kami survei yaitu penggunaan televisi, media sosial, dan game online. Dari beberapa warga yang kami wawancarai secara acak, penggunaan media televisi tidak terlalu berpengaruh di desa ini karena yang mengakses media ini kebanyakan orang tua dan balita. 

Siaran yang biasa mereka tonton yaitu berita, ceramah, sinetron, dan film kartun bagi balita. Namun, mereka masih bisa mengontrol diri dalam mengatur jadwal menonton televisi. 

Berbeda dengan penggunaan media sosial dan game online yang kebanyakan digunakan oleh anak-anak dan remaja. Mereka tidak kenal waktu ketika menggunakan media sosial, bahkan mereka tidak sadar telah bergadang semalaman hanya untuk online di media sosial. Saat bermain game online mereka sanggup bermain selama tiga jam tanpa jeda sehingga kuota yang 10 GB habis dalam waktu tiga hari. 

Salah seorang anak di kampung nelayan seberang yang sedang  asyik dengan gadgetnya.

Dikarenakan begitu candunya terhadap penggunaan media online, mereka sering bolos sekolah gara-gara pergi ke warnet untuk bermain game online dan media sosial. Dari hasil survei kecil-kecilan itu, kami disuruh membuat pilot project yang bisa dilakukan nanti di daerah kami masing-masing. 

Kampung nelayan hanya sebagai sampel bahwa literasi media bagi remaja umumnya kaum muda masih sangat rendah. Maraknya perkembangan teknologi, tanpa dibentengi dengan pengetahuan literasi akan membuat generasi bangsa ini terombang-ambing tak tahu arah. Jadi, kami disuruh untuk membuat proposal kegiatan dalam menyebarluaskan literasi digital yang bila disetujui nanti akan dibiayai kegiatannya. 

Bertemu dengan Orang Hebat 

Pendiri IMMedia Sumut

Di hari kedua Kemah Literasi, kami diberi penjelasan bagaimana media digital mempengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat. Materi itu disampaikan oleh Founder IMMedia, Riski Ramadani Nasution yang akrab disapa Dion. 

Dalam penjelasannya ia menyampaikan tentang tiga fungsi media yaitu untuk menghibur, sosial, dan pendidikan. Namun, fungsi ketiga jarang sekali dilakukan oleh media terutama media siar. Banyak siaran yang tidak mendidik kita temukan sehingga dapat berpengaruh buruk bagi yang mengkonsumsinya. 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun tidak bisa bertindak terlalu jauh bila ada siaran yang dianggap masyarakat tidak mendidik. Mereka akan menindaklanjuti sebuah siaran yang dianggap negatif, bila ada laporan dari masyarakat. Jumlah yang melaporkan pun harus banyak, bila hanya sedikit yang menganggap bahwa siaran itu buruk, KPI tidak bisa menghentikan siaran tersebut. 

Contoh yang baru-baru ini terjadi penolakan pada film Dilan 1990 di Makasar, padahal KPI sudah memberi izin film itu bisa ditayangkan. Begitu juga dengan film Kucumbu Tubuh Indahku yang disutradarai oleh Garin Nugroho sehingga muncul petisi untuk memboikot film yang dianggap menyebarluaskan isu LGBT ini. 

Salah satu film yang banyak mendapat kecaman, tapi merupakan film pilihan Tempo

Menurut KPI itu hanya sebagian orang yang merasakannya sehingga tidak bisa dihentikan karena ada kriteria khusus yang diperbolehkan untuk menonton film tersebut. Sebenarnya dua contoh film tersebut tidak ada yang salah, hanya saja masyarakat kita masih lemah untuk menyaring apa yang diterimanya dan ditakutkan bisa berpengaruh negatif bagi masyarakat. Hal ini disebakan karena kemampuan literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. 

Buktinya Indonesia berada di peringkat kedua belakang dari 60 negara yang menjadi sample penelitian UNESCO. “Literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah, jadi tanggung jawab literasi adalah tanggung jawab kita bersama bagi yang sudah terliterasi,” ujar Dion yang merupakan alumni jurusan komunikasi dari Universitas Sumatra Utara (USU). 

Tanggung jawab itu diambil Dion bersama teman-teman IMMedia untuk melakukan penyebaran literasi dengan cara kampanye literasi, riset lapangan, dan advokasi kepada masyarakat. Kegiatan itu terus dilakukan agar masyarakat terliterasi dengan baik. 

Tak disangka pada Hari Penyiaran Nasional ke-85 1 April 2018, di Palu Sulawesi Tengah, IMMedia dinobatkan sebagai organisasi masyarakat peduli penyiaran oleh KPI. Para pemuda dari Tanah Deli ini telah membuktikan bahwa pemuda juga bisa berkontribusi membantu masyarakat terliterasi. 

Saat penyerahan penghargaan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia kepada Ketua Umum IMMedia

Penggagas Rumah Belajar Anak di Toba 

“Tidak perlu seberapa banyak uang yang kita miliki, seberapa tinggi status sosial di masyarakat, tapi jadilah orang yang berdampak baik bagi orang lain, terutama untuk keluarga” *Togu Simorangkir* 
Kalimat pembuka dari pendiri rumah baca di Toba, Togu Simorangkir tersebut sontak membuatku menilik kembali kehidupanku. “Apakah aku sudah berdampak baik bagi keluargaku?” 

Di saat Bang Togu berada di puncak keemasan setelah menyelesaikan studynya di Oxford Brookes Universty dan mempunyai penghasilan jutaan dolar saat itu, dia malah memutuskan pulang kampung. Tepatnya di di Toba Pulau Samosir dan mendirikan rumah baca yang kemudian berprofesi sebagai petani. 

Alasanya hanya ingin dekat dengan orang tuanya dan berdampak baik bagi orang di sekelilingnya. Ia ingin anak-anak di Toba berani bermimpi menggapai cita-cita seperti dirinya yang ingin melihat salju dan akhirnya terwujud berkat kuliah di luar negeri. 

Pendiri rumah baca di Toba, Togu Simorangkir

Dengan rumah baca yang didirikannya pada tahun 2010, ia membersamai anak-anak untuk mengantarkan mimpi mereka. Salah satu yang bisa dilakukannya ialah dengan memberikan anak-anak tersebut buku bacaan supaya mereka mengenal dunia. 

Berkat komitmen dan konsistensinya menjalankan rumah baca tersebut, pada Maret 2019, ia dianugrahi Kick Andy Heroes 2019 dan disiarkan secara langsung di Metro TV. 

“Aku tidak pernah berharap menjadi pemenang karena bukan kemenangan tujuan dari semua ini,” ujar Bang Togu yang katanya tidak suka membaca ini. 

Ketika dia tampil sebagai narasumber di acara Kemah Literasi, aku melihat sosok yang patut dicontoh dari seorang Bapak beranak tiga ini. Gayanya boleh santai karena saat itu dia mengenakan kaos hitam yang bertuliskan #boslebay kepanjangan dari beras organik, sapi, lele, bebek ayam. Kreatif banget kan? 

Pahlawan literasi dari Toba

Mungkin sangat aneh bagi masyarakat kita bila tampil dalam sebuah acara formal menggunakan kaos, tapi itulah Bang Togu. Penampilannya sesuai dengan profesinya yaitu petani, “mana tadi aku mau pakai celana pendek dan sandal jepit,” katanya yang membuat suasana forum menjadi cair. 

Bagi teman-teman yang ingin mengetahui tentang Bang Togu, tanya sama Mr. Google saja karena kalau aku ceritakan di sini, tidak akan berakhirnya tulisan ini. Namun, walau katanya dia tidak suka membaca, tapi aku mengira itu bohong karena susunan kalimat dan kata-kata yang dikeluarkannya penuh inspirasi. Seperti bersajak dan kata bijak yang dikeluarkan oleh para motivator. 

Bahkan aku mencatat ada sepuluh kalimat yang bisa dijadikan quote untuk postingan media sosial. Salah satunya yang paling aku suka kalimatnya ialah Berbuat baiklah bukan karena ingin masuk surga. Namun karena Tuhan sudah sangat teramat baik pada hidup kita. 

Pondok Belajar Arnila 


Sekilas aku sudah memberikan gambaran tentang kampung nelayan seberang di tulisan sebelumnya Perjuangan Mengikuti Kemah Literasi di Sumatera Utara. Di kampung ini terdapat Pondok Belajar Arnila yang didirikan oleh seorang dokter muda yang bernama Arnila Melina. 

Beruntung kami dapat berjumpa dengannya saat mengisi acara Kemah Literasi. Di sela-sela kesibukan koasnya sebagai dokter muda, dia menyempatkan diri berbagai cerita bersama kami para peserta Kemah Literasi. Waktunya hanya sekitar 30 menit, tapi apa yang disampaikannya membuatku begitu berkesan. 

Arnila yang merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara saat itu berkunjung ke kampung nelayan untuk menyalurkan donasi buku, tepatnya pada tahun 2013. Rupanya anak-anak di kampung tersebut tidak begitu merespon buku-buku yang dibawanya karena mereka tidak bisa membaca. 

Dari situlah muncul niat Arnila untuk mendirikan rumah baca sehingga terbentuklah Pondok Belajar Arnila yang selesai dibangun tauhun 2015. Sebelumnya ia rutin datang ke kampung ini dan mengajarkan anak-anak di musala yang ada kampung tersebut. 

Pendiri Pondok Belajar Arnila 

Namun, setelah seorang warga menghibahkan sedikit lahannya untuk membuat pondok belajar, Arnila pun bisa mengajar anak-anak di pondok tersebut. Di sinilah tempat tujuan pertama kami ketika mengunjungi kampung nelayan seberang. 

Berkat gadis cantik yang begitu konsisten mengajar anak-anak tersebut, ia mampu mengatasi buta aksara khususnya anak-anak yang ada di daerah terebut. Jika ingin mengetahui lebih dalam tentang pondok belajar ini, kamu bisa tanyakan ke Mr. Google karena cukup banyak media yang memberitakan aksinya ini. 

Ada yang begitu mengganjal dalam pikiranku dan beberapa peserta kemah literasi lainnya yang perlu kami tanyakan kepada Arnila. Kenapa dia mau melakukan semua itu yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan keilmuannya sebagai seorang dokter? Justru malah kelihatannya yang paling urgent di kampung nelayan ialah masalah kebersihan karena banyak sampah yang tidak terkelola dengan baik. 

Jawabannya cukup membuatku terkagum karena yang bekerja dengan hatilah yang bisa menjawab dan memikirkan solusi seperti ini. 

“Saya tahu bahwa masalah sampah di kampung nelayan begitu urgent karena tidak ada tempat pengelolaan sampah. Mereka membuang sampahnya ke laut dan bila air laut pasang, rumah mereka terendam dan sampah yang dibuang ke kolong rumah mereka akan dibawa air laut dan mengendapkannya ke suatu tempat. Hal itu terus terulang yang tentunya membahayakan kesehatan mereka. Namun, meraka merasa itu bukan menjadi masalah karena keterbatasan pengetahuan mereka. Untuk menyadarkan mereka tentang bahayanya sampah-sampah ini, kita perlu memupuk pengetahuan mereka terlebih dahulu, ya salah satunya dengan mengajarkannya membaca. Supaya anak-anak dari kampung ini nantinya yang akan mengatasi sendiri masalah sampah di lingkungannya,” ujar Arnila kepada para peserta Kemah Literasi. 

Kondisi Kampung Nelayan Seberang

Aku pun mengerti maksudnya bahwa perubahan apa pun yang ingin dilakukan hendaknya didasari oleh pendidikan yang benar dilakukan dengan hati dan cinta. Lantas kemana pendidikan kita selama ini yang dibentuk dari sekolah-sekolah? Aku pun menyimpulkan bahwa sekolah hanya mengejar nilai dalam bentuk angka dan pendidikan adalah sebuah kebutuhan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. 

Wajar bila Pondok Belajar Arnila dan Rumah Belajar Toba digemari dan disukai anak-anak karena mereka belajar sesuai apa yang diinginkan dan dibutuhkan anak. Bukan apa yang diinginkan pemerintah dan yang dibutuhkan kurikulum. 

Sekolah Dasar yang ada di Kampung Nelayan Seberang

Empat hal yang diajarkan di sini ialah senantiasa mengucapkan terima kasih, meminta tolong, meminta maaf dan memaafkan, dan tidak membuang sampah sembarangan. Merekalah para pahlawan literasi dari Tanah Deli yang akan menjebolkan generasi terliterasi yang didik di pondok dan rumah baca. 

Bagaimana dengan Aceh? Apa yang bisa kita lakukan untuk meliterasikan masyarakat Aceh karena literasi adalah tugas bersama bagi kita yang sudah terliterasi. 


Bila ada ide atau saran tentang pilot project yang bisa kita buat di Aceh dalam kegiatan literasi, mohon kabari ke aku ya. Bisa menghubungi nomor 0852 6008 0834 (Yell Saints).

2 comments

Write comments
Dyah
AUTHOR
03 Juni, 2019 17:28 delete

Iya, kemauan membaca orang Indonesia memang rendah. Tapi mungkin juga karena orang tuanya juga nggak membaca, ya. Mau diajari di sekolah seperti apa, kalau orang tuanya lebih suka main hape, ya anaknya main hape juga. Mungkin perlu ada klub baca bersama untuk ibu-ibu ya. Biar mereka menularkan kebiasaan membaca buat anak-anaknya. Bacanya novel yang seru buat orang dewasa. Nggak harus yang model Fifty Shades of Grey, kok. Hehehe...

Reply
avatar
13 Juni, 2019 18:56 delete

Benar tu mbak, semoga kita bisa mempraktekkan pada anak-anak kita nantinya.

Reply
avatar