Terlalu Idealis Menurut Dosenku
Soe Hok Gie; sosok pemuda idealis yang pernah hidup (1942-1969) |
Setahun yang lalu tepatnya pada tanggal
15 Mei 2015, aku memutuskan untuk mengulang secara terhormat praktek di stase
keperawatan anak. Aku mengikuti semua prosesnya dari awal sampai akhir. Selama
proses itu ada beberapa hal yang miss atau terlewatkan menurutku.
Entah faktornya aku yang malas, atau
karena dosennya yang tidak membimbing kami secara benar sehingga ada beberapa
ruang yang dosennya tidak datang untuk membimbing. Aku merasa banyak yang
belum didapat selama satu bulan perjalananku. Ditambah lagi dengan aktivitasku
di luar yang sedang semangat-semangatnya melakukan aksi sosial yang bernama Griya Schizoren.
Saat ujian akhir stase, aku tidak mengumpulkan laporan akhir sebagai
syarat untuk ujian responsi. Yang aku tunjukkan adalah satu lembar koran yang
berisi artikelku yang berjudul “Thalasemia ‘Han Sep-sep’ darah”. Tentu dosenku
terkejut dengan hal itu. Beliau menanyakan di mana laporanku selama ini? Dengan tegas aku menjawabnya, ini laporanku yang diterbitkan di salah satu media
cetak terkemuka di Nanggroe Serambi.
Dokumentasi
laporanku di media cetak edisi 9 Mei 2015
|
Dosenku menghargai tulisanku yang
dimuat di media cetak. Namun bukan itu yang diharapkannya, dia tetap menginginkan laporan praktekku. Aku merasa
bersalah jika membuat laporan yang bukan sepenuhnya kulakukan. Apalagi saat
berada di rumah sakit, peran ganda sebagai perawat pelaksana dan mahasiswa,
membuatku terbebani membuat laporan yang dibuat dengan tulis tangan itu.
Bayangkan, sudah capek-capeknya dinas, diharuskan lagi membuat laporan
yang berjibun dengan tulis tangan pula. Apa nggak keriting tu tangan? Belum sempat
kita mengkaji secara benar pasiennya, eh.., malah disuruh-suruh sama kakak
perawat ini dan itu. Bahkan aku pernah menjadi Cleaning Service membersihkan kotoran seorang pasien gizi buruk, yang disangka anak hutan.
Belum lagi harus merawat pasien sebanyak 28 orang di ruangan, padahal
sebagai mahasiswa CoAss, kami hanya diwajibkan menangani satu pasien kelolaan
dan satu pasien resume. Tapi kebijakan dari ruangan yang mengharuskan merawat
semua pasien yang ada di ruangan membuat kami tidak mempunyai kesempatan untuk
mengkaji pasien yang ditugaskan kepada kami.
Alhasil pemanupulasian data berjamaah pun dilakukan pada laporan akhir.
Hampir semua teman-temanku melakukan hal itu, dan bahkan tradisi copy-mengcopy
suatu hal yang biasa padahal itu dosa. Saat aku ingin melakukan hal itu, ada
sesuatu yang bergejolak di jiwa, akhirnya aku memutuskan untuk tidak membuat
laporan, karena aku tidak mempunyai kesempatan mengkaji secara dalam pasien
yang ditugaskan kepadaku.
Aku belajar mengamati selama proses perjalanan praktekku. Aku katakan
kepada dosenku, lebih baik sedikit tapi bermakna bagi orang dibandingkan
laporan bertumpuk tapi hasil copyan yang bohong-bohongan datanya, dan tentunya
tidak tahu dibawa kemana laporan yang banyak menghabiskan kertas itu. Inilah
laporanku berupa artikel yang aku tulis selama perjalanan praktekku.
Tapi, sayangnya dosenku tidak mau terima hal itu. Katanya prosedur tetap
prosedur, tidak bisa diubah-ubah. Padahal aku sudah mencoba mengingatkannya
akan pentingnya soft skill bagi
mahasiswa keperawatan yang dulunya diawal masuk kuliah ditegaskan sekali
tentang arti pentingnya soft skill.
Bahkan penilaian soft skill ini,
bobotnya lebih tinggi dari pengetahuan konsep dan tindakan klinik. Namun, sayangnya prakteknya nol besar. Tidak masalah hasil copy-an atau manipulasi,
yang penting ada.
Dosenku tetap tidak mau terima alasanku. Dia membutuhkan laporan yang
aku kerjakan selama ini, dan dia memberikan waktu selama 2 hari untukku
membuat laporan tersebut. Kemudian dia mengingatkan kepadaku “Jangan terlalu
idealis, kamu akan digilas oleh orang dan zaman jika kamu seorang yang idealis”.
Selama kurang lebih 45 menit percakapanku dengan dosen penguji.
Teman-temanku yang sedang menunggu giliran terheran-heran saat aku keluar
dengan senyuman manis di bibir. Mereka menyerbuku dan menanyakan berbagai macam
pertanyaan ujian yang ditanyakan. Aku hanya menjawab, gampang kok pertanyaan,
tinggal jawab sesuai yang kamu ketahui. Teman-temanku kesal dengan jawabanku
itu.
Dua hari berikutnya, aku datang kembali ke dosen penguji itu. Si dosen
menanyakan apakah aku siap dengan pertanyaannya? Aku memegang beberapa tumpukan
kertas laporan, tapi aku berkata jujur kepada dosen tersebut, bahwa yang aku
tulis di laporan ini banyak datanya yang di manipulasi. Dosenku hanya diam
mendengarkan perkataanku.
Aku melanjutkannya dengan bertanya, “apakah kalau saya mengulang stase
keperawatan anak ini di tahun depan, stase lain bisa saya ambil”. Dosen
tersebut menjawab, "ya. tentu bisa, karena stase ini tidak menjadi keharusan
untuk melanjutkan stase lain.
“Kalau begitu Bu, secara terhormat saya ingin mengulang stase ini supaya
saya mendapatkan ilmunya lebih banyak”. Dosen tersebut terkejut dengan pernyataanku.
“Apa yang belum kamu dapatkan?”. “Hampir semuanya Bu, banyak kompetensi yang
belum saya dapatkan seperti imunisasi pada bayi dan balita, data pengkajian
pasien, para dosen dan Co Instruktur (CI) nya juga jarang memberikan arahan dan
bimbingan selama kami praktek”.
“Saya tidak mau keluar tanpa isi setelah selesai dari profesi
keperawatan ini, saya tidak membutuhkan nilai, tapi ilmu. Percuma saya sekolah
dan bayar mahal, tapi ilmunya tidak ada”.
Perempuan berkacamata yang sudah lama menjadi dosen itu, hanya terdiam
mendengar ocehanku. Satu perkataannya yang membuatku mulai goyah, saat dia bertanya
“apakah kamu tidak sayang kepada orang tuamu yang harus mengeluarkan uang lebih
untuk biaya perkuliahanmu nanti? jika kamu ingin mengulang satse ini lagi,
berarti kamu harus mengambil satu semester lagi nanti dan membayar uang SPP
lagi”.
Aku terdiam, teringat akan nasib
orang tuaku yang harus banting tulang membiayai perkuliahanku. Namun aku tetap dengan prinsipku untuk mengulang kembali stase ini di tahun depan. Aku yakin
rezeki itu datangnya dari Allah, dan beliau mempunyai cara untuk membantu
hambanya yang lemah.
Aku putuskan untuk mengulang kembali stase keperawatan anak di tahun
depan, tepatnya di tahun 2016. Dosen itupun sudah habis cara untuk
mempengaruhiku, dan dia melepaskan kepergianku dengan tumpukan laporan kertas
yang tak tahu kemana aku bawa itu.
“Di Indonesia hanya ada dua pilihan.
Menjadi idealis atau apatis.
Saya sudah lama memutuskan harus
menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya
kalau saya patah-patah...”
(Soe Hok-gie; Sastrawan dari masa
1960-an)
5 comments
Write commentsPertahankan keputusan hatimu, sebab keputusan hatimu yang mempertanggung jawab pekerjaanmu. Guru atau Dosen bukan tuhan selalu kita tunduk patuh kepada mereka.. guru sama seperti kita seorang manusia yang tidak luput dari kekurangan..
ReplyDi jaman sekarang ini, sulit sekali menemukan orang-orang yang berjiwa idealis seperti Yelli. Keep going, turuti kata hatimu, karena dengannya kamu akan menjadi nyaman, happy dan percaya diri.
ReplySukses selalu, Yel!
Siap Adun., Insyaallah hati ini selalu bertahan sesuai dengan pilihan!
ReplyTentu kak, kata hati diatas segala-galanya melebihi logika. Terima kasih sudah berkunjung kak Alaika :)
ReplySama yelli, iqbal juga idealis. Malahan keluarga besar dan dosen heran rasa idealis yang iqbal anut.
Reply