Budaya Hemat Listrik Penyelamat Bumi dari Krisis Iklim
“Hemat pangkal kaya” begitulah pepatah lama. Namun, perilaku menghemat listrik ini bisa diterapkan untuk membantu mengurangi krisis iklim saat ini. Bagaimana caranya?
Ayo kita ingat kembali ke cerita zaman dahulu kala. Menurut cerita ibuku, di tahun 70-an di saat listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) belum masuk desa, kehidupan masyarakat aman-aman saja.
Ketika siang hari, masyarakat menggunakan cahaya matahari sebagai penerang, untuk mengeringkan pakaian, membantu mereka berladang, dan menunjang proses pertanian. Di kala malam, masyarakat menggunakan pelita, lampu dari minyak tanah, dan suloh (penerang dari bambu yang berbahan bakar minyak tanah) sebagai penerang ruangan.
Di beberapa masjid sudah terdapat mesin pembangkit listrik yang berbahan bakar solar seperti genset saat ini, sehingga bisa menerangi beberapa rumah yang berada di sekitar masjid. Setiap rumah hanya diperbolehkan menggunakan 1 bola lampu. Penggunaan mesin ini hanya berlaku sampai pukul 22.00 WIB, seusai salat Isya mesin tersebut dimatikan dan dihidupkan besok malamnya lagi.
Setiap malam terus begitu dan masyarakat menerima kehidupan seperti itu. Sebab memang kondisinya di kala itu minim lampu karena listrik belum disokong oleh negara. Semua masyarakat harus terima dengan lapang dada.
PLN Masuk Desa
Hingga pada akhirnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) masuk desa, semua menyambut gembira karena dunia yang selama ini gelap di malam hari akan menjadi terang. Terlebih motonya PLN ialah “Listrik untuk kebutuhan yang lebih baik” sehingga adanya listrik di sebuah rumah kala itu, dapat menunjukkan status ekonomi dari keluarga tersebut.
Kedatangan listrik ini rupanya membawa jalan masuk berbagai macam teknologi, seperti televisi, telepon, lemari pendingin (kulkas), rice cooker, blender, dispenser, mesin cuci pakaian, dan berbagai alat kebutuhan rumah tangga lainnya yang menggunakan listrik.
Sehingga yang awalnya kebutuhan listrik sebagai penerang berubah menjadi kebutuhan untuk meringankan pekerjaan rumah tangga, sehingga yang awalanya kebutuhan listrik 2 amper untuk satu keluarga naik menjadi 4 amper. Semua itu demi kebutuhan yang lebih baik.
Berhematlah Menggunakan Listrik
Ibuku sering bilang, berhematlah menggunakan listrik. Pakailah seperlunya saja, bahkan untuk menyalakan televisi saja ada waktu-waktunya. Saat menampung air di bak mandi menggunakan mesin air, harus menunggu sampai penuh baru boleh ditinggalkan dan hanya boleh dihidupkan lagi saat air di bak mandi sudah habis. Kalau siang, lampu tidak boleh dihidupkan dan saat tidur malam lampu semua dimatikan. Kita pun tidur dalam gelap.
Dulu aku sering kesal ke ibu, menganggapnya pelit karena membatasi menggunakan listrik. Namun, kian hari aku baru sadar maksud dan tujuannya untuk menghemat listrik supaya tanjakan penggunaan listrik tidak terlalu besar. Namun, dibalik itu semua adalah bagaimana kita bisa menggunakan sesuatu secukupnya saja. Sebab, alam akan tetap seimbang bila kita menggunakan sekadarnya saja.
Sekarang lihatlah kebutuhan listrik meningkat tajam, sayangnya PLN masih menggunakan batu bara sebagai pembangkit listriknya. Sehingga aktivitas penambangan batu bara terus terjadi untuk memenuhi pasokan listrik negara. Karena kebetulan PLN adalah satu-satunya perusahaan pembangkit listrik yang ada di Indonesia, mau tidak mau dampak lingkungan akibat aktivitas pembakaran batu bara berefek besar pada pencemaran udara.
Desakan untuk menggunakan energy terbarukan oleh berbagai pihak dan lembaga lingkungan terus disuarakan. Agar PLN menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sehingga polusi yang dikeluarkan aman dan tidak menimbulkan pencemaran yang mengakibatkan perubahan iklim. Jadi, pemerintah menggagas system Co-firing sebagai strategi transisi energi.
Benarkah Co-Firing Solusi untuk Transisi Energi yang Ramah Lingkungan?
Aku baru mendengar istilah Co-Firing saat kegiatan online gathering Eco Blogger Squad, pada 20 Oktober lalu. Kali ini kita mengangkat tema “Semangat Orang Muda Menjaga Bumi Indonesia.” Ada tiga narasumber dari perempuan muda yang memperjuangkan perubahan iklim dengan cara mereka sendiri dan timnya.
Dari ketiga narasumber tersebut, aku lebih tertarik materi yang disampaikan oleh Kak Amalya Reza, Manajer Bioenergi atTrend Asia, yaitu tentang Mengenal Penerapan Co-firing (Metode Oplos Batubara dengan Biomassa di PLTU Indonesia).
Dalam presentasinya, Kak Amalya menampilkan sebuah video yang mebuatku tidak habis pikir kenapa pemerintah bisa-bisanya membuat rencana halu seperti itu. Bukannya memfokuskan pada energi angin dan surya, tapi malah ngotot tetap menggunakan batu bara sebagai energi pembangkit listrik.
Jadi pemerintah tetap menggunakan batu bara dengan mencampurkan biomassa untuk dibakar bersama di PLTU. Metode inilah yang disebut dengan co-firing. Jenis biomassa yang gencar diwacanakan pemerintah ialah pelet kayu.
PLN mengklaim bahwa praktik co-firing biomassa pelet kayu ini menjadi cara paling jitu untuk transisi energi. Sebab menurut mereka tidak perlu lagi membangun pembangkit tenaga listrik energi terbarukan dari awal.
Namun, tahukah kamu darimana biomassa pelet kayu tersebut diambil? Yups dari HUTAN. Namun, jangan bayangkan hutan dengan beraneka jenis pohon & hewan ya karena penerapan co-firing ini butuh bahan baku biomassa pelet kayu dalam jumlah besar yang kayunya itu sejenis atau homegen.
Untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu tersebut, oleh pemerintah dibuatlah program penanaman tanaman monokultur. Jadi, ini semacam kebun kayu yang dibalut dengan nama “HUTAN TANAMAN ENERGI.”
Skemanya Begini
Pertama pemerintah akan menentukan wilayah yang akan dikembangkan menjadi koneksi Hutan Tanaman Energi. Kemudian pohon sejenis ditanami dalam konsesi lahan yang izinnya dikeluarkan pemerintah.
Selanjutnya ketika pohon sudah tumbuh besar, pohonnya ditebang dan diangkut ke pabrik untuk dijadikan serbuk dan dipadatkan menjadi pelet kayu. Inilah yang akan dikirim ke PLTU-PLTU seluruh Indonesia untuk dibakar bersama batubara.
Seluruh rangkaian aktivitas pembuatan pelet kayu ini akan melepas emisi gas rumah kaca ke atmosfir bumi. Termasuk proses pembukaan lahan dan hutan.
Program Hutan Tanaman Energi ini dilakukan untuk memenuhi target implementasi co-firing di 107 unit PLTU di seluruh Indonesia hingga 2025.
Dengan jumlah PLTU sebanyak itu dan asumsi praktik co-firing 95-90% batubara, dicampur 5-10% biomassa, maka PLN butuh kurang lebih 10.2 juta ton pertahun biomassa pelet kayu. Wah, di dapat darimana pasokan pelet kayu sebanyak itu ya? Lagi dan lagi kita harus mengorbankan hutan alami untuk membuka hutan buatan.
Berdasarkan prediksi Trend Asia, jumlah bahan baku biomassa seperti itu akan membutuhkan lahan Hutan Tanaman Energi paling sedikit 2,33 juta hektare atau sebanyak 35x luas daratan ibukota Jakarta.
Itu artinya program Hutan Tanaman Energi ini akan berpotensi menimbulkan deforestasi besar-besaran. Parahnya lagi, jika belajar dari kesalahan Program Hutan Tanaman Industri, potensi hutan alam yang terdampak juga besar loh.
Imbasnya habitat satwa liar, hewan dan tumbuhan endemik yang ada di hutan alami bisa rusak. Tidak hanya berdampak pada hewan dan tumbuhan saja, deforestasi juga akan menimbulkan konflik lahan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal karena menghilangkan hutan alam sebagai warung hidup dan apotek hidup masyarakat.
Trend asia juga menghitung seluruh proses ini berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton, setara karbondioksida pertahun. Jadi, alih-alih emisinya berkurang seperti yang diklaim pemerintah, metode co-firing atau oplos batubara dengan biomassa ini malah akan terus menambah emisi pada tahun 2023. Ujungnya ini semua berdampak ke situasi krisis iklim di Indonesia yang semakin parah. Omong kosong bukan, kita bisa mengurangi emisi energi.
Kenapa Ini Bisa Terjadi?
Karena kebutuhan energi khususnya listrik terus meningkat setiap tahunnya. Mau tidak mau, PLN sebagai satu-satunya perusahaan listrik negara harus memenuhi kebutuhan tersebut. Jadi, kita sehari-hari sebagai pengguna listrik harus sadar diri. Jangan tahunya berkoar-koar untuk mendesak pemerintah melakukan energi terbarukan, tapi kita malah boros energi dalam penggunaan barang-barang rumah tangga.
Jadi, bila sudah tahu kondisinya begini, kembalilah ke budaya menghemat listrik, seperti yang diterapkan oleh orang tua kita dulu. Gunakan seperlunya dan matikan listrik selebihnya. Itu aksi kecil yang bisa kita lakukan saat ini.
Selain itu kita juga bisa mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan program co-firing ini. Tapi meminta pemerintah agar tidak egois mengelola listrik seluruh rakyat Indonesia sendiri. Harusnya pemerintah memberi kesempatan bagi masyarakat mengeluarkan ide dan cara mereka untuk menghasilkan energi secara mandiri.
Sebab, banyak masyarakat yang sudah mulai menggunakan energi terbarukan untuk menghasilkan listrik seperti panel surya. Andaikan kebutuhan listrik masyarakat di kelola oleh masyarakat sendiri, bukan sepenuhnya oleh negara, aku rasa itu lebih baik. Seperti zaman dahulu yang menggunakan energy listrik sesuai kebutuhan bukan karena kemudahannya.
13 comments
Write commentsWaktu traveling ke Eropa dan tinggal menumpang di rumah host, aku ngeliat sendiri betapa mereka begitu sayang sama energi. Kalau meninggalkan ruangan ya lampu dimatikan. Bahkan di salah satu rumah host, mereka bikin peraturan tertulis yang ditempel di kamar tamu. Agak syok, kesannya mereka sangat pelit dan banyak aturan tapi itu sesuatu yang memang harus dilakukan. Dan alhamdulillah pelan-pelan gaya hidup itu kebawa ke Indonesia setelah pulang.
ReplyBaca tulisan ini, semakin ngeh kalau PLN butuh kurang lebih 10.2 juta ton pertahun biomassa pelet kayu. Dan ya, lama kelamaan akan habis kan? :(
Walaupun akses listrik sekarang lebih mudah daripada dulu, tetap saja kita harus menghemat sumber daya energi. Aku inget banget dulu di Pekanbaru sering mati listrik, mau ngapa2in jadi susah. Jadinya sekarang aku lebih menghargai pemakaian listrik hehe.
ReplyDilematis ya?
ReplySebagai masyarakat modern, sulit banget melepas ketergantungan dari listrik
Sementara Indonesia masih memproduksi listrik yang menyebabkan gas rumah kaca
Yang muda yang berkarya memang bener ya. Apalagi mau berkarya untuk lingkungan dan bumi. Semangat untuk kaum muda yang mau peduli pada krisis iklim. Tulisan yang bagus, menambah wawasan, khususnya tentang co-firing.
ReplyYup saya pun menunggu kapan masanya pengelolaan listrik tidak sepenuhnya dikuasai oleh PLN.
ReplySaya baru tahu tentang rencana co-firing yang akan dilakukan PLN ini. terus kebayang berapa lama menunggu tanaman homogen di hutan tumbuh dan bisa ditebang untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu?
Senang dengan banyaknya yang peduli dan mengarahkan ke hal-hal yang lebih ramah lingkungan. Dengan begitu tinggal konsistennya semua pihak menerapkan hal ini ya
ReplySeluruh pengguna listrik di Indonesia harus mengetahui fakta tentang co-firing ini.
ReplySetidaknya tindakan menghemat listrik dilakukan semua orang di setiap rumah tangga, tentunya juga melakukan inovasi untuk mendapatkan energi terbarukan yg paling cocok di Indonesia.
Yups benar kak bukan pelit ibunya tapi memang harus hemat ya, yuks bisa yuk
ReplyAku sekarang lagi berusaha untuk gak lupa nyabut kabel cas handphone kalau lagi gak dipake mba. Itu terlihat sepele tapi ternyata ngaruh juga ke pemakaian listrik.
ReplyAku belum merasakan hidup tanpa listrik sama sekali (kecuali saat naik gunung). Tapi ingat betapa damainya hidup kita dulu di dekade `1990-an dan 2000an ketika satu-satunya produk teknologi yang menyita waktu adalah televisi.
ReplyYup, co-firing ternyata tidak se-terbarukan itu karena ia masih menggunakan energi fosil dan memicu deforestasi. Mari fokus dengan transisi sumber energi ke tenaga angin, air, uap, gelombang, surya, dan bioenergi yang lebih aman.
Mantap.. Semangat Menulisnya.
ReplySemangat Menulisnya
ReplyDi rumah, saya yang termasuk cerewet kalau masalah penggunaan listrik. Saya yang hemat energi banget dan keponakan yang boros. Gak bisa membayangkan kalau saya hidup tanpa listrik. Oleh karena ini berhemat merupakan solusi untuk membantu menyelamatkan bumi
Reply