Cerita Mengikuti Online Gathering dari Tempat Bekas Hutan
“Kita masih bisa hidup tanpa jaringan internet,
tapi kita tidak bisa hidup tanpa hutan”
*Satya Winnie (Travel Blogger)*
Pernyataan dari Mba Satya tersebut yang disampaikan saat acara online gathering blogger dengan tema “Melestarikan Hutan Melalui Adopsi Hutan” memang benar adanya. Walau zaman sekarang kebutuhan akan internet menjadi kebutuhan pokok setiap orang, tapi hutan tetap menjadi kebutuhan prioritas bagi seluruh masyarakat di bumi.
Tanya kenapa? Nanti akan kujelaskan dalam tulisan ini. Namun, sebelumnya aku akan menceritakan sedikit tentang pengalamanku ketika mengikuti online gathering tersebut dari tempat bekas hutan.
Ya, seperti dijelaskan dalam tulisanku sebelumnya yang berjudul Aku, Leuser, dan Adopsi Hutan untuk Masa Depan bahwa tempat tinggalku berada di buffer zone Leuser. Bahkan rumahku sekarang ini, dulunya bekas hutan yang kini menjadi perkampungan. Jadi, masih banyak pepohonan yang menjulang tinggi dan sumber mata air ada di sekitar tempat tinggalku.
Perkarangan tempat tinggalku yang masih banyak ditumbuhi pohon besar
Satu jam sebelum gathering online dimulai pada hari Jumat, 2 Oktober 2020 pukul 14.00 WIB, saat itu terjadi angin kencang disertai hujan di tempatku. Seperti biasa, bila terjadi angin kencang disertai hujan, jaringan internet di daerahku terganggu. Namun, kami sudah maklum dengan hal itu, namanya saja tinggal di bekas hutan.
Kalau sudah seperti ini, maka aku segera naik ke lantai dua rumahku berharap jaringan internetnya lebih baik. Sudah menjadi kebiasaan di tempatku kalau ingin mendapatkan jaringan internet yang bagus, maka beradalah di tempat yang tinggi. Bahkan pada kondisi pandemi saat ini, di mana sistem belajar semuanya harus online, tak jarang anak-anak usia sekolah memanjat pohon atau berada di atap rumah demi mendapatkan jaringan internet yang bagus.
Dikarenakan waktu gathering online ini berlangsung selama dua jam, jadi semua benda-benda yang aku butuhkan dibawa oleh suamiku ke lantai dua rumahku yang kebetulan memang belum selesai dibangun. Termasuk makanan, ayunan, kasur, dan mainan bayiku ikut dibawa ke atas rumah. Maklum, saat ini aku mempunyai bayi usia 8 bulan yang selalu ingin dekat denganku.
Beginilah mom blogger saat gathering online, bayi tetap berada dipangkuan
Suamiku berusaha mencoba membuka link zoom meeting melalui laptop 30 menit sebelum acara dimulai, tapi jaringan internet belum juga bersahabat, bahkan untuk sekadar membuka link whatsapp saja tidak bisa. Berkali-kali ia mencobanya, tapi masih dalam keadaan loading, hingga akhirnya tepat pada pukul 14.00 WIB, jaringan internet bagus dan aku bisa masuk ke acara gathering online melalui aplikasi zoom meeting.
Namun, sayangnya suara yang terdengar putus-putus sehingga aku tidak bisa mendengarkannya secara jelas. Parahnya lagi, sebentar-sebentar aku keluar sendirinya dari zoom meeting akibat jaringan internet yang tidak stabil. Suamiku berusaha memperbaikinya, tapi keadaan tidak membaik hingga ia menyarankan agar kami pindah ke rumah Bundaku yang kebetulan di rumanya ada jaringan WiFi.
Aku pun berkemas sambil membawa barang-barangku dan perlengkapan anakku, Cahya untuk dibawa ke rumah Bunda. Memang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku, masih dalam kampung yang sama yaitu tempat bekas hutan.
Beberapa anak-anak usia sekolah juga sedang mengakses internet di sana sehingga aku harus berbagi jaringan WiFi dengan meraka. Akibatnya, materi yang disampaikan melalui zoom meeting tidak terlalu jelas karena suaranya putus-putus. Tambahnya lagi suara anak-anak di situ ribut, memecah konsentrasiku. Aku tidak bisa menyimak materi yang disampaikannya.
Akhirnya anak-anak tersebut pulang juga, barulah aku mendapatkan jaringan yang bagus sehingga bisa mendengarkan secara jelas apa yang dibahas di zoom meeting. Sayangnya saat itu sudah masuk ke sesi tanya jawab, lah aku mau tanya apa? ngerti saja nggak. Jadi, aku hanya menyimak beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh para peserta lainnya.
Saat jaringan internet sudah stabil
Beruntung acara zoom meeting ini juga ada live streamingnya di youtube Hutan Itu Indonesia, sehingga aku bisa menonton ulang materi yang disampaikan di acara Gathering Online tersebut dan menuliskannya lagi di tulisan ini.
Pandemi Cara Alam Memperbaiki Diri
Materi pertama di acara zoom meeting tersebut disampaikan oleh Mas Christian Natali dari Hutan Itu Indonesia. Dari panjang lebar penjelasannya, kalimat yang paling aku ingat adalah “adanya pandemi ini merupakan cara alam untuk beristirahat” ujarnya.
Memang benar sih, selama pandemi udara jadi lebih bersih karena laju kendaraan bermotor dan aktivitas perpabrikan menurun, sehingga gas buangan dari keduanya tidak dibuang di alam. Iklim dan cuaca pun menjadi lebih baik selama pandemi ini.
Namun, karena banyak orang yang sibuk dengan pandemi, petugas keamanan seperti polisi luput memantau apa yang terjadi di hutan. Akibatnya hutan masih rawan terhadap para penjarah yang ingin mengeksploitasi hutan secara berlebihan. Oleh karena itu, perlu ada yang memantaunya agar hutan tetap selamat dari para penjarah tersebut.
Dalam hal ini, Mas Christian menjelaskan bahwa dana yang dikumpulkan dari Adopsi Hutan yang digagasnya pada tahun ini dalam rangka memperingati hari hutan Indonesia akan digunakan untuk patroli hutan tersebut.
Salah satu penerima manfaat dari dana yang dikumpulkan melalui Adopsi Hutan ialah Forum Konservasi Leuser (FKL) yang ada di Aceh. Mereka yang bertugas memantau Kawasan Ekosistem Leuser dinamai sebagai rangers. Para rengers inilah yang melakukan patroli di hutan agar terhindar para penjarah hutan dan juga menjaga satwa yang ada di dalamnya.
Nah, oleh karena itulah melalui adopsi hutan ini, kita diajak agar berpartisipasi dalam menjaga hutan. Tugas kami sebagai blogger yang diundang dalam acara gathering ini ialah menceritakan sisi positif tentang hutan Indonesia. Sebab selama ini media konvensional hanya memberitakan hutan ketika sedang ada bencana saja seperti banjir atau kebakaran.
Padahal banyak hal menarik yang bisa diceritakan di hutan, bukan hanya sekadar pohon, tapi juga keanekaragaman yang terdapat di dalamnya. Seperti sebelumnya yang kami lakukan saat mengikuti lomba yang diadakan di bulan Agustus lalu oleh Hutan Itu Indonesia bekerjasama dengan Blog Perempuan Network.
Kami menulis tentang keindahan, kekayaan, dan keanekaragaman yang ada di hutan dari presepektif masing-masing. Nah, 30 orang peserta yang diundang dalam acara gathering blogger ini adalah tulisan yang terbaik dari 200 orang lainnya yang ikut dalam lomba blog tersebut. Begitu kata Mas Christian.
Tentunya aku sangat bangga dong, karena terpilih menjadi bagian dari 30 orang blogger yang diundang di acara tersebut.
Aku menjadi bagian dari blogger yang terpilih
Kenapa Harus Menjaga Hutan?
Di sesi materi yang kedua disampaikan oleh Mas Irham Hudaya Yunardi dari Forum Konservasi Leuser (FKL). Ia banyak menceritakan tentang aktivitasnya dalam melakukan penjagaan hutan Leuser. Salah satunya di Stasiun Penelitian Soraya yang berada di Desa Pasir Belo, Kota Subulussalam, Aceh.
Stasiun tersebut berada di dalam Hutan Lindung Kawasan Ekosistem Leuser yang luasnya 500 hektar dan dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh. Selain itu, juga ada keterlibatan FKL dan KPH Wilayah VI Propinsi Aceh dalam pengelolaannya.
Berbagai aktivitas dilakukan di stasiun ini, seperti sebagai tempat penelitian mahasiswa, pengumpulan data etnologi dan satwa, serta edukasi masyarakat dan komunitas tentang pentingnya menjaga hutan Leuser.
Ya, hutan itu perlu dijaga karena merupakan paru-paru dunia. Bila hutan rusak, maka makhluk hidup yang ada di sekitarnya juga ikut rusak, termasuk kita manusia. Kok bisa?
Kamu tahu udara yang kamu hirup setiap hari dan air yang kamu minum tiap saat itu datangnya dari mana? Semua itu dari hutan yang masih bagus habitatnya, bukan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit atau hutan yang sudah gundul.
Sebab, banyak hutan di Indonesia yang demikian, termasuk di Leuser. Menurut Mas Irham pemalakan hutan secara liar dan pemburuan satwa liar merupakan masalah utama yang terdapat di Leuser. Oleh karena itulah, ia dan timnya harus ekstra menjaga hutan Leuser ini dari ancaman para penjarah tersebut.
Ada sekitar 26 rangers yang dikerahkah untuk menjaga Leuser. Selama 15 hari setiap bulan mereka melakukan patroli ke kawasan Leuser. Selama patroli tersebut mereka sudah menghancurkan lebih sekitar 5000 ranjau satwa yang dipasang oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan aktivitas illegal loging pun menjadi menurun.
Para rangers yang bertugas menjaga Hutan Leuser
Patroli tersebut tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar karena mengingat begitu luasnya kawasan ekosistem Leuser. Mungkin ada dana pemerintah yang menyokong kegiatan mereka, tapi itu tidak cukup. Maka dari itu perlu adanya dana bantuan seperti yang dilakukan oleh Hutan Itu Indonesia untuk membiayai kegiatan mereka. Nah, dana yang kamu donasikan melalui Adopsi Hutan alirannya kemari.
Cerita dari Leuser
Di sesi yang ketiga ini ada Mba Satya Winnie, seorang travel blogger yang menceritakan tentang Leuser. Tentu kamu semakin penasarankan dengan Leuser? Yuk, datang saja ke tempatku. Hehehe.
Baik, aku akan menceritakan Leuser dari kacamata Mba Satya. Menurutnya Leuser itu adalah paket komplit, di mana kita bisa merasakan banyak hal seperti melihat orang utan dan beberapa satwa lainnya, pohon yang umurnya ratusan tahun, merasakan pemandian air panas, minum dari sumber mata air dan sebagainya.
Ya, saat itu mba Satya mengajak kami jalan-jalan virtual dengan foto-foto yang diambilnya saat berkunjung ke Leuser. Ia masuk melalui Desa Ketambe yang berada di Aceh Tenggara. Di situ ia merasakan pengalaman yang lur biasa saat bertemu dengan orang Aceh.
Stigma orang Aceh yang dianggap kasar, pemarah, dan sadis sebagaimana yang dipikirkannya luntur seketika karena di sana ia menemukan orang-orang yang sangat ramah dan bawaannya senyum selalu. Begitu kata Mba Satya.
Baru tahu kan, bagaimana orang Aceh. Makanya jangan lihat dari luar dan dengar apa yang dikatakan orang saja, tapi cobalah berkunjung ke Aceh seperti Mba Satya. Akhirnya ia berkali-kali datang ke Aceh dan mengunjungi Leuser melalui Ketambe.
Ya, begitulah orang Aceh bila kita baik, maka mereka akan lebih baik lagi dibandinkan tersebut. Terlebih dengan tamu luar sehingga ada prinsip "Pemulia jamee, adat gutanyoe" yang maknanya memuliakan tamu merupakan sudah menjadi adat bagi orang Aceh, bahkan ada yang namanya tari ranup lampuan yang berfungsi menyambut tamu dengan menyuguhkan sirih sebagai tanda kemuliaan.
Selama tamu-tamu tersebut bersikap sopan dan mengharagai nilai-nilai adat yang terdapat dalam masyarakat Aceh, mereka akan dihargai.Begitu juga saat memasuki ke hutan, ada nilai dan etika yang harus dijaga ketika bertamu di sana.
Kata Mba Satya ketika memasuki Leuser, kita harus benar-benar menjaga etika, seperti tidak boleh teriak-teriak dan ngomong terlalu keras supaya satwa yang ada di dalam sana tidak terkaget-kaget dengan kedatangan kita.
Bila kita ingin mengambil foto orang utan, kita pun juga harus mengambilnya secara pelan-pelan. Tidak boleh menggunakan flash atau suara yang membuat mereka terganggu. Intinya kita harus benar-benar menjaga etika tersebut dan mengikuti aturan yang disampaikan oleh guide lokal yang memandu perjalanan ke Leuser.
Begitulah cerita dari Mba Satya tentang pengalamannya ketika traveling ke Lueser. Nah, bagaimana denganmu tertarik mengunjugi Leuser?
Cerita Mba Satya itu bagian Leuser dari Aceh Tenggara, ia benar-benar masuk ke dalam rimbanya Leuser yang sangat dilindungi dan dibiarkan tetap asri. Otomatis di sana tidak ada sama sekali jaringan telekomunkiasi, apalagi internet karena hutan belantara.
Sedangkan tempat tinggalku ini merupakan bagian zonasi Leuser tradisional, di mana yang dulunya hutan belantara kini sudah menjadi perkampungan. Walaupun demikian masih terdapat beberapa pohon di dalamnya. Nah, karena itu pula kadang jaringan internet susah diakses di sini.
Namun, jangan tanya bagaimana keadaan sumber mata airnya, berlimpah ruah pastinya. Begitu juga dengan aneka macam buah-buahan, seperti durian, kuini, mangga, rambutan, kelapa, dan sebagainya, sangat mudah ditemukan karena memang masih tumbuh secara alami.
Gampong Air Sialang Hilir, Samadua, Aceh Selatan
Begitulah keadaanya, kami masyarakat perkampungan masih sangat bergantung dengan hutan yang menjadi sumber pangan buat kami. Memang, kami juga butuh akses internet yang bagus, tapi kami tidak ingin hutan kami ditebang demi membangun tower telkom atau apalah yang menggantikan pohon-pohon kami. Itulah cara kami menjaga dan melestarikan hutan yang ada di sekitar kami.