Bukan Kapuas di Kalimantan, ini Lawe Melang di Menggamat Aceh
Naik stempel menuju hulu Lawe Melang Foto doc. pribadi |
Aku begitu bersemangat tiba di tepian sungai Lawe Melang. Teringat akan cerita Borneo dalam novel Tere Liye Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah yang menjadi bacaanku minggu ini.
Sungai Kapuas menjadi jalan transportasi air di Pontianak, mereka menggunakan sempit (sejenis sampan motor) untuk menyebrangi Kapuas. Aku hanya bisa membayangkan di dalam ceritanya Borne si pengemudi sempit dan berbagai aktifitas warga setempat menggunakan sempit.
Kali ini imajinasiku seolah menjadi nyata ketika berada di Lawe Melang, Menggamat Kluet Tengah, Aceh Selatan . Mereka yang tinggal di desa penghujung Menggamat menggunakan sempit yang mereka sebut stempel sebagai alat transportasi mereka.
Transportasi warga Menggamat Foto doc. pribadi |
Ada empat desa yang harus menggunakan stempel untuk menuju ke sana, yaitu Sarah Baru, Alur Kejerut, Siurai-Urai, dan Kotok Indarung. Butuh waktu berjam-jam lamanya untuk tiba ke dasa mereka, karena memang desa ini terisolir dan akses ke desa tersebut hanya bisa menggunakan stempel.
Sebagian warga menggunakan stempel untuk pergi ke kebun mereka. Di sepanjang pinggiran sungai terdapat hamparan tanah dan pegunungan yang dijadikan lahan perkebunan dan pertanian oleh warga setempat.
Aku dan teman-teman perempuan peduli leuser mencoba untuk menaiki stempel tersebut. Bukan karena kami hendak pergi ke desa terisolir itu atau pergi ke perkebunan warga, tapi hanya ingin merasakan sensasi naik stempel.
Baca juga Sensasi Menaiki Sampan Dayung
Stempel dengan panjang 6 meter itu, muat menampung 12 orang. Aku sedikit deg-degan saat duduk di dalam stempel. Ruangnya cukup terbatas, kita tidak bisa berputar-putar atau pun celengak-celenguk, karena tempat duduknya hanya pas seukuran badan dengan bobot kurang dari 60 kg.
Untungnya porsi badan kita tidak terlalu besar-besar, jadi muatlah 12 orang di stempel. Foto doc. pribadi |
Satu orang pun tidak menggunakan baju pelampung, termasuk pengemudi stempel. Bukan karena kami tidak mau menggunakannya, tapi memang tidak tersedia fasilitas tersebut di sini. Berpuluhan tahun sudah mereka menggunakan stempel ini tanpa dilengkapi alat pelindung diri.
Aku was-was ketika stempel itu mulai dijalankan oleh pengemudinya. Bagaimana tidak khawatir di tengah derasnya arus sungai Lawe Melang, stempel itu melaju dengan 11 orang penumpang, ditambah satu orang pengemudi tanpa alat pelindung diri.
Sempat sekilas terpikir kalau stempel ini terbalik, habislah kami semua. Air sungai begitu dalam, dengan warna seperti susu coklat tentu sangat sulit kalau berenang. Meskipun aku bisa berenang, bagaimana teman-temanku ini?
Ternyata kegundahan itu hilang melihat ekspresi teman-temanku yang begitu senang, sampai selfie-selfie-an segala. Stempel itu sering oleng ketika ada temanku yang mengubah posisi duduknya.
Selfie di atas stempel dengan kecepatan 20km/jam Sumber foto : @susi_gayo11 |
Aku menahan nafas tiap kali stempel itu bergoyang, takut stempelnya terbalik. Tapi wajah pengemudinya santai-santai saja, sepertinya dia memang sudah berpengalaman mengemudi, bahkan ketika membawa orang-orang yang super narsis seperti kami. Terima kasih bapak pengemudi stempel.
Kebahagian dan Keromantisan di Stempel
Satu, dua stempel berpapasan dengan stempel kami. Stempel tersebut membawa penumpang yang hendak pergi ke desa dan perkebunan atau sebaliknya. Setiap kali ada stempel lewat, aku mendadahkan tangan, seolah aku kenal dengan warga tersebut.
Stempel lain yang berpapasan dengan kamiSumber foto: @siska_aidarahmi |
Padahal satu orang pun tidak aku kenal, tapi dengan santainya aku melambai-lambai tangan ke mereka. Teman-temanku pun mengikutinya, jadi lah kami seperti turis yang sok kenal dengan warga setempat.
Penumpang yang ada di stempel lain, tertawa melihat tingkah kami. Bagi yang mengerti dia membalas mendadah kami sambil tersenyum dan diikuti tawa. Tapi, ada juga yang menatap kami heran, siapa pula orang yang sok kenal mendadah-dadahku. Mungkin mereka berfikiran seperti itu, hahaha.
Stempel terus melaju, meninggalkan beratus-ratus meter dermaga kecil di belakangnya. Aku mulai beradaptasi dan menikmati suasana ini.
Kupejamkan mata dan kubiarkan wajah ini dibelai lembut oleh terpaan angin. “Terima kasih Tuhan, Engkau telah membawaku kemari, menyaksikan keindahan alam dan aktifitas warga setempat. Semoga aku bisa datang lagi kemari dengan orang tersayangku.” Hatiku mulai berdoa tanpa menuggu mulut untuk melafalkannya.
Baru saja aku membaca kisah Borneo si pengemudi sempit dan kini aku sudah merasakan naik stempel di Lawe Melang. Ini sesuatu yang luar biasa menurutku, bahkan aku menjulurkan tangan ke sungai merasakan dinginnya air menyentuh tangan hangatku.
Naik sempit itu penuh kebahagiaan dan keromantisan Foto doc. pribadi |
Hmmm, memang romantis jika suasana ini dirasakan oleh dua insan yang sedang kasmaran, seperti Bornoe dengan gadis sendunya. Bahkan Bornoe rela menunggu di antrian sempit nomor 13 supaya gadisnya bisa menumpang sempitnya.
Sungguh transportasi air ini penuh keromantisan. Sungai besar menjadi saksi, air dan hutan sebagai penonton sejati ketika dua sejoli mengarungi sungai dengan sempit atau stempel.
Ingin sekali aku membawa dirinya kemari merasakan pesona alam yang begitu indah. Wahai lelaki berlesung pipi, maukah Kau datang kemari?
“Cinta sejati laksana sungai besar, mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar sungainya, karena semakin lama semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu.” Tere Liye.
Mengenang Masa Konflik
Perjalanan kami semakin jauh ke hulu sungai Lawe Melang. Kekhawatiran akan terbaliknya sampan ini mulai berkurang. Apalagi saat Eva menceritakan tentang masa lalunya di sungai ini.
Eva temanku yang asli penduduk Menggamat sudah hafal betul dengan daerah ini. Dia tahu setiap nama tempat yang kami lalui.
Daratan dan pegunungan yang ada di pinggir sungai mempunyai namanya masing-masing Foto doc. pribadi |
Ada 12 nama tempat yang disebutkan kepadaku, yaitu Arim Baba, Tanjung Bubung, Batu Sumbang, Simbali, Pahok, Ari Keliat, Batu Puht, Semerih, Are Ketepang, Batu Selayat, Alur Keserut, dan Senaba. Deareh ini merupakan perkebunan warga tapi tidak ada perkampungan di situ.
Kata Eva, dulunya semasa konflik, tempat ini dijadikan tempat latihan militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“... Kami dulu harus berjalan melewati pinggir sungai dan menyebrangi sungai dengan bantuan kayu besar. Semua wanita dan anak-anak, karena laki-lakinya lari ke gunung. Ini pengalaman yang cukup mengerikan, karena berhari-hari harus berjalan dan bertahan hidup di antara, hutan dan sungai. ” Tutur Eva.
Aku ngeri mendengar cerita masa lalu Eva, sungguh konflik Aceh dan Republik Indonesia telah menimbulkan duka dan lara. Eva yang kuyakin usianya baru 10 tahun saat itu, pasti trauma mengalami situasi seperti itu.
Untungnya perdamaian datang tepat waktu, sehingga sungai Lawe Melang yang dulunya mengerikan, menjadi tempat yang menyenangkan dan romantis.
Tempat latihan militer GAM semasa konfflik Aceh Foto doc. pribadi |
Semoga tidak ada lagi perang dan pertempuran, sehingga generasi sekarang dan mendatang bisa merasakan keindahan tempat ini.
Ini lah sungai Lawe Melang yang aku saksikan dengan nyata. Bukan seperti Kapuas yang berada di Kalimantan dalam sebuah novel. Hal yang terpenting ialah bagaimana kita bisa menjaga keasrian dua sungai ini sehingga tidak mendatangkan bencana, namun bisa menjadi ekowisata.
Bahagianya bisa naik sempit, ehh, stempel maksudnya. :D
8 comments
Write commentsSemoga tidak ada lagi perang dan pertempuran, sehingga generasi sekarang dan mendatang bisa merasakan keindahan tempat ini. <-- amiiin
ReplyHabis lihat videonya serasa dibawa naik sampan nih aku..hehe
ReplyBtw, gak takut kah, Teh, naik sampannya?
Aku terkadang naek prahu takut kalau airnya besar, atau gak si prahunya goyang-goyang gitu..he
Amin, ya Allah. Kita masyarakat Aceh berharap perdamaian ini tetap terjaga untuk selamanya.
ReplyYa, ngeri-ngeri sedap juga sih, takut sampannya terbalik, alhamdulillah nggak apa2, kami pun selamat tanpa kurang satu pun
ReplyJadi sedih kalau mengingat konflik itu. Gak kebayang gimana rasanya jadi Eva. Semoga gak ada lagi konflik seperti itu di negeri ini.
ReplyIya, beruntung dia tidak larut dengan kisah pilu masa konflik, sekarang dia menjadi gadis periang dan menjadi guide kami saat menjelajah di Menggamat. :D
Replypemandangan di sekelilingny masih kelihatan asri banget y mbak
Replyseger buat manjain mata yg setiap harinya cuma lihat tiang listrik dan hewan baja beroda
Iya, di sini dulu tempat basisnya GAM dan setelah 12 tahun Aceh berdamai, tempat ini juga masih terisolir dari pembangunan, makanya kelihatan asri begini.
Reply