Mengenal Lebih Dekat Krisis Kemanusiaan Muslim Rohingya Myanmar Bagian 2

Senin, September 18, 2017 0 Comments A+ a-

Setelah pemateri pertama menyampaikan penjelasannya, banyak yang mengangguk-angguk tanda mengerti tentang permasalahan konflik di Rakhine Myanmar ini. 


Kemudian dilanjutkan oleh pemateri kedua Cek Lilianne Fan. Dari gaya bahasanya aku menebak dia berasal dari Malaysia, karena logat melayunya yang sangat kental. Rupanya beliau adalah Direktur Internasional dan Co Founder dari Yayasan Geutanyoe

Lilianne Fan sedang menyampaikan materi
tentang pengunsi Rohingya

Menurutnya sejak tahun70-an penduduk Rohingya telah melarikan diri ke luar negri akibat diskriminasi dari pemerintah Myanmar. Mereka melarikan diri ke Malaysia dan Bangladesh, karena daerah itulah yang paling dekat dengan mereka.

Nah, kalau ke Indonesia baru-baru aja ne, setelah negara lain menolak kedatangan para pengunsi Rohingya. Untungnya Aceh berbaik hati mau menerima para pengunsi ini, sehingga menyelamatkan ribuan jiwa pengunsi yang terombang-ambing di lautan.


Penjajahan yang dilakukan terus menerus oleh pemerintah Myanmar kepada masyarakat sipil, memunculkan kelompok bersenjata di Rakhine. Mereka menamai diri dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Pemerintah Myanmar menyebut mereka teroris, namun mereka sebenarnya bukanlah teroris karena mereka menuntut hak-hak asasi rakyat Rohingya. 

Siapa sih yang sanggup menahan penderitaan yang terus menerus? Aceh saja dulu juga ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), begitu juga dengan Rohingya. Untungnya Aceh bisa ditempuh dengan jalan damai, sehingga konflik pun usai.

Lalu kenapa konflik di Rakhine ini tidak pernah usai? Bukankah sama-sama telah angkat senjata?

Konflik Myanmar bukan sekedar konflik bersenjata tapi juga kegagalan pemerintah dalam menjalani sistem pemerintahannya. Ada pihak yang tidak menginginkan perdamaian dari konflik ini, sehingga dibuatlah kebijakan yang dijalankan secara terus menerus. Meskipun para pemerintahnya sudah berganti, namun kebijakan terus berlanjut. 

Akhirnya ya, begitu-begitu saja, tidak ada upaya dalam penyelesaian konflik ini. Padahal bisa sajakan pemerintah Myanmar meminta bantuan kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), tapi itu juga tidak dilakukan.

Mendengar penjelasan dari pemateri kedua ini, aku sempat terpikir apakah ada upaya pelenyapan etnis Rohingya dari Rakhine di Myanmar? Lalu penjelasan dari pemateri ketiga pun datang, melanjutkan tentang permasalahan krisis kemanusiaan di Rakhine.

Daniel Awgira menjelaskan tentang
krisis kemanusiaan Muslim Rohingya

Pemateri ketiga ini bernama Daniel Awgira, seorang laki-laki berkewarganegaraan Indonesia. Dia adalah Program Manager ASEAN Human Rights Working Group di Sekretariat ASEAN – Jakarta.

Ada tiga krisis besar yang terjadi di Myanmar, yaitu krisis pembangunan, hak asasi manusia, dan keamanan. 

Dari tiga krisis itu muslim Rohingyalah yang mendapatkan perlakuan paling kejam, tidak adil, ditindas, dalam jangka waktu yang sangat lama. Mereka menyebutnya dengan istilah persekusi. Hal ini dikarenakan perbedaan agama, pilhan politik, dan etnis.

Jika ditinjau dari level komunitas, maka ada pemisahan antara dua kelompok minoritas seperti Rohingya dan mayoritas pemeluk Buddha Myanmar. Kelompok mayoritas inilah yang mengakui diri sebagai penduduk Rakhine asli. 



Karena pemisahan ini telah terjadi puluhan tahun silam, maka sangat sulit dipersatukan kembali. Untuk membuat Myanmar ini bersatu, tentunya harus ada landasan dan falasah yang lahir dari bangsa itu sendiri. Seperti halnya Indonesia yang beda-beda tapi tetap satu. 

Baiklah, sepertinya cukup penjelasan dari Bapak Daniel. Sekarang kita beralih ke pemateri terkahir yaitu Mr. Kyaw Win, Direktur Eksekuitif Burma Human Rights Working Group yang berbasis di London.

Mr. Kyaw Win menjelasakan situasi konflik Myanmar

Sepertinya posisi dudukmu harus dibenarkan terlebih dahulu, supaya enak untuk membaca, karena banyak fakta menarik disampaikan oleh laki-laki yang sangat aktif memantau kasus-kasus yang terjadi di Wilayah Rakhine ini.

Dipenjalasan sebelumya kita telah mengetahui bahwa penyebab dari konflik Rakhine ialah adanya keinginan dari pemerintah elit dan militer untuk menguasai daerah tersebut.

Sehingga dibuatlah sebuah kebijakan yang menyulitkan masyarakat Rakhine. Kebijakan pertama ialah bahwa orang muslim tidak diperbolehkan menjadi militer, polisi, anggota parlemen, berpendidikan tinggi, dan pengusaha. Kebijakan ini berlaku semenjak tahun 1963.

Kemudian mereka mempertanyakan asal dari penduduk muslim di Rakhine. Jika mereka tidak dapat membuktikan asal usulnya sejak tahun 1824, maka kewarganegaraannya akan dicopot, sehingga mereka tidak mempunyai identitas diri.

Hal ini tentunya tidak mungkin, karena tidak ada dokumen resmi yang mencatat kependudukan seseorang pada masa itu. Jadi diciptakanlah sejarah baru yang menyatakan bahwa orang Rohingya adalah buruh migran dari India yang dibawa oleh Inggris untuk depekerjakan diperkebunan.

Sekarang sejarah itulah yang dipahami oleh banyak orang. Cukup menyedihkan bukan, sejarah leluhurnya direkayasa. Kebijakan ini dibuat untuk mengusir muslim Rohingya dari tempat tinggalnya. 

Hal ini terlihat dari adanya migrasi paksa besar-besaran warga Rohingya ke Bangladesh. Ratusan ribu orang pada tahun 1991 hijrah menuju Bangladesh. Sesampainya di sana, para militer ini tidak tinggal diam. Mereka menuduh bahwa para migran Rohingya adalah orang-orang ilegal.

Para pengunsi Muslim Rohingya melarikan diri
dengan menggunakan kapal kayu

Tentunya dalam situasi ini muslim Rohingya semakin terjepit karena diserang dari dua belah pihak, sehingga ruang gerak mereka terbatas. 

Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga dibatasi, sehingga dituduhlah orang muslim di Rakhine bodoh-bodoh. Kemiskinan yang ada di Rakhine disebabkan oleh orang muslim, merekalah yang mengarahkan orang –orang Buddha di Rakhine untuk marah kepada orang muslim.

Daerah sebenarnya kaya dengan unsur alam, tapi didiami oleh orang-orang miskin dan bodoh. Ya, iyalah mereka aja tidak diberi kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi bagaimana mau pintar?

Mereka menggunakan strategi politik ‘Devide et impera’ yaitu politik pecah belah atau adu domba. Kemudian mereka menggunakan isu agama untuk menjalankan strategi tersebut. 

Mereka juga menempatkan tentara di wihara sebagai tokoh pemecah belah antara Budhha dan Muslim.

Kebencian masyarakat Buddha pun semakin meningkat kepada muslim Rohingya, sehingga seluruh akses pelayanan publik tidak diberikan kepada mereka. Sehingga banyak Muslim Rohingya tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja.

Yang paling parahnya, mereka membatasi makanan untuk anak-anak sehingga banyak anak yang kekurangan nutrisi dan gizi buruk. Mereka tahu bahwa dengan membatasi nutrisi pada anak-anak Rohingya, maka akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Sehingga tidak ada perlawanan nantinya untuk menumbangkan rezim yang berkuasa.

Dulunya Muslim Rohingya ada sekitar tiga juta jiwa, sekarang hanya tinggal 1,1 jiwa lagi pada tahun 2012. Sebagian ada yang masih menetap di Rakhine dan ada juga yang lari meninggalkan daerah mereka.

Tak hanya itu, militer Myanmar juga membuat jebakan dengan menggaung-gaungkan jihad. Ketika ada pemberontakan dari pihak Muslim Rohingya maka mereka akan dituduh kelompok ISIS, sehingga militer Myanmar akan mendapatkan bantuan dari negara adidaya seperti Amerika dan Uni Eropa untuk menumpas ISIS.

Cukup picik bukan? Strategi perang yang mereka buat, sudah disusun sedemikian rupa untuk mengusir Muslim Rohingya dari daerahnya. Sehingga kesempatan untuk damai pun susah tercapai.

Jadi, menurut Mr. Kyaw Win yang kita inginkan sekarang bukan perang senjata, tapi berperang dengan pengetahuan. 

Caranya dengan menerima para pemuda-pemudi muslim Rohingya masuk di universitas terbaik di seluruh dunia untuk belajar. Dengan beginilah mereka akan bisa menyelamatkan bangsanya.

Selanjutnya pesan beliau kepada seluruh para hadirin dan masyarakat Indonesia, agar terus mengirimkan surat ke pemerintah. Mendesak untuk diberikannya status kewarganegaraan bagi muslim Rohingya.

“Terus, dan teruslah berkirim surat sampai mereka bosan membacanya dan akhirnya membalas suratmu.” Begitu yang diungkapakan Mr. Kyaw Win.

Terpikir pula oleh penulis untuk membuat surat masal dengan menghimpun para penulis Indonesia, mendesak supaya Muslim Rohingya diberikan status kewarganegaraannya. 

Apalagi sekarang zaman sudah canggih, dengan memanfaatkan media digital kita himpun seluruh masyarakat dunia untuk menaikkan isu Muslim Rohingya. Baik itu di twitter, facebook, instagram, dan media lainya.

Sepertinya cara seperti itu lebih ampuh ketimbang demo bawa-bawa spanduk. Karena zaman sekarang berbeda dengan 20 tahun silam yang masih menggunakan cara manual. 

Tapi, zaman sekarang dengan satu hestek saja dinaikkan sebagai trending topik bisa menjadi isu pembicaraan dunia.

Benar apa yang dikatakan Mr Kyawn bahwa kekerasan tidak lah selalu dilawan dengan jalan perang, tapi dengan ada pengetahuan kita kan bisa menyelesaikan konflik dengan jalan damai.

Pesan tersebut sangat ditegaskan oleh Mr. Kyaw melalui penerjemahnya yaitu Shadia Marhaban selaku Mediator Beyond Borders.

Shadia Marhaban penerjemah Mr. Kyaw Win