Gaseh Sayang Prang
Oleh Yell Saints
Judul tulisan ini sengaja
diambil dari salah satu lagu Aceh, yang baru-baru ini aku dengar dari seorang
teman. Lagu yang dinyanyikan oleh Imum Jhon ini membuatku berfikir kenapa harus
ada perang di negri ini? Kenapa harus ada pertumpahan darah? Kenapa harus ada
orang-orang yang mati sia-sia? Dan kenapa harus ada orang yang dikasihi dan
disayangi kemudian ditinggalkan? Begitukah dampak perang?
Sebulan lalu saat melakukan kunjungan ke Rumah Sakit Jiwa
(RSJ) Aceh, aku menemukan salah seorang pasien dengan diagnosa waham kebesaran.
Waham merupakan salah satu jenis ganguan jiwa, yang isi pemikirannya tidak
sesuai dengan kenyataan. Beliau menganggap dirinya seorang tentara. Perkataannyapun
tidak terlepas dari perang. Sekilas aku melihatnya, dia termasuk salah satu
pasien maniak (perasan atau tingkah laku
yang melebihi batas wajarnya).
Bicaranya sangat kacau, intonasinya keras, dan sering
bertindak konyol yang membuatku tidak habis fikir kenapa dia seperti itu. Dia sering
menyebut tentang perang, ketidakadilan negri ini, dan menyebutkan bahwa dia
adalah seoarang anggota pejuang. Benarkah itu? ucapkku dalam hati. Terkadang dia
memperagakan gerakan ala tentara yang sedang memegang senjata, kemudian berlari
dan membunyikan suara tembakan melalui suara mulutnya. “dor.,dor,,dor., bla..bla..bla..bla..”.
Dia mengupat dengan menggunakan bahasa Aceh yang tidak ku mengerti apa maknanya
itu.
Saat kegiatan terapi lingkungan, dia merupakan orang yang
paling dominan diantara teman-temanya. Dengan menggunakan suara keras, dia
berbicara yang terkadang membuatku sedikit gemetar menghadapinya. Ketika diberi
kesempatan untuk maju ke depan, dia pun menyanyikan lagu Aceh yang dibuatnya
sendiri, setalah itu dia pun berpidato dan berorasi layaknya seorang pimpinan
perang. Sedikit aku pahami dari isi pembicaraannya, yang tidak lain ialah
tentang kekesalannya terhadap pemerintahan negri ini, perang dan ketidakadilan.
Apakah ada hati yang tersakiti dibalik tubuh laki-laki yang mengalami gangguan
jiwa itu? kataku dalam hati.
Kemudian disaat terapi musik pun, dia juga tidak bisa
tenang dan mendengarkan orang lain. Untungnya aku sudah memahami sedikit ilmu
komunikasi dalam menghadapi pasien maniak seperti itu. Sedikit menggunakan
suara keras dan tegas, aku menyuruhnya diam. Tidak lama kemudian diapun
berbicara lagi, panjang., panjang..,dan panjang, dengan intonasi yang lebih
tinggi. Setelah mendengarkannya, aku menyuruhnya diam dan mengatakan tolong
suaranya diperkcil saat bicara. Anehnya dia sadar dan mengakui kesalahannya,
malah dia meminta maaf kepadaku. Disitu aku berfikir bahwa dia masih mempunyai
hati dan jiwa yang bersih, karena kata maaf itu hanya bisa diucapkan oleh orang-orang
yang memiliki jiwa yang bersih. Namun sayang, pikirannya tidak bisa dikendalikan
oleh dirinya.
Terapi musikpun dilanjutkan. Seorang temanku yang
memainkan gitar, memetik gitarnya. Kamipun menyanyi bersama-sama. Pasien itu
pun bertingkah lagi, dia tidak suka lagu yang kami nyanyikan itu. Kebetulan kami
menyanyikan lagu Demasive “Jangan Menyerah”. Dia pun bernyanyi sekehendak hati, kami cuman
bisa diam, mendengarkannya selesai menyanyi. Lagi dan lagi, aku mengingatkannya
untuk tidak terlalu dominan. Aku sedikit senang, karena setiap kali aku menegurnya,
begitu pula dia mengatakan maaf kepadaku. Kemudian dengan nada pelan, dia
meminta untuk dibawakan lagu yang bejudul “GASEH SAYANG PRANG”. Kamipun bertanya
lagu siapa itu? Sontak dia pun mengupat dengan suara keras, “masak nggak tau
kalian lagu itu? Lagu yang dibawakan oleh Imum John. Semua lagu tentang Aceh,
perang, bendera, naggroe... bla.,bla.,bla..,bla”.
Ada kekesalan diraut wajahnya, dia melihat kami satu
persatu. Aku menenangkannya. Untunglah ada salah satu teman yang mengetahui
lagu itu, lalu di search ke Mr. Google mencari lirik lagu yang dimaksud. Temanku
pun memainkan gitarnya. Lairik demi lirik dinyanyikan oleh temanku itu. Aku kaget
melihat ekspresi dari pasienku itu. Dia tunduk, seolah mempunyai makna
tersendiri dari bait-bait lagu yang dinyanyikan. Sekilas terlihat linangan air
mata di ujung matanya. Apakah dia mempunyai kisah tersendiri di balik lagu
tersebut? Tanyaku dalam hati.
Setelah lagu tersebut dinyanyikan, kamipun bertanya
kenapa dia sangat menghayati lagu itu? Sampai-sampai menunduk dan melinangkan
air mata. “Aku tidak bisa menceritakannya kepada kalian, semua karena nagroe
ini. Nyoe mandum..,, bla..bla.. bla..bla..dor.,dor., dor”. Dia kembali mengupat
menggunakan bahasa Aceh. Kali ini dia menyebut-nyebut nama pemimpin negri ini. Dengat
raut wajah kesal, mata merah, nafas tersenggal-senggal dia mengeluarkan
kekesalannya. Emosinya memuncak. Akupun semakin penasaran, apa yang
melatarbelakangi dia dibawa ke RSJ ini?
Sebulan setelah kejadian itu, akupun membaca buku tentang
“Teuntra Atom, Kesaksian Seorang Kombatan”. Dari buku itu sedikit tergambar
olehku bagaimana nasib pejuang pada masa konflik. Aku teringat kepada pasienku.
Apakah benar yang dikatakannya dia seorang anggota pejuang? Aku bertanya dalam
hati.
Kemudian
aku mencari daftar lagu di laptopku, ada folder lagu Aceh. Tujuanku ialah
mencari lagu yang dinyanyikan oleh temanku saat terapi musik di RSJ. Nah.,
akhirnya dapat, judulnya “Gaseh Sayang Prang”. Aku hidupkan lagu tersebut, aku
pahami bait demi bait, aku coba mengartikannya, walau aku tidak paham arti
secara keseluruhanya. Ternyata lagu itu mengisahkan tentang sepasang kekasih
yang harus berpisah karena perang. Begini penggalan bait-bait lagunya.
Angen peu bapot lam rimba tuhan
meu ho keuh intan ulon ba hate
hate loen seudeh meusyen ngoen sayang
dak jeut hai intan bek meupisah le
meu ho keuh intan ulon ba hate
hate loen seudeh meusyen ngoen sayang
dak jeut hai intan bek meupisah le
#saleh pat mantoeng uloen jak
meuprang
do'a keu uloen keu jantoeng hate
adak pi reubah lam rimba tuhan neubri le tuhan syiruga tinggi
do'a keu uloen keu jantoeng hate
adak pi reubah lam rimba tuhan neubri le tuhan syiruga tinggi
Terbesit
di pikiranku, apakah pasienku mengalami hal yang sama seperti yang diceritakan
lagu itu? Apakah dia gila karena orang yang dikasihi dan disayangi meninggal
karena ulah perang? Benarkah dia seorang pejuang yang tersakiti oleh perang? Meskipun
perang sudah berakhir, gejolak jiwanya tidak pernah berakhir. Akupun meneteskan
air mata. Begitukah nasib para pejuang?
Kemudian
aku melanjutkan membaca buku “Teuntra Atom” bagaimana Irfan dalam toko tersebut
harus kehilangan Elli juga karena perang. Lewat puisi-puisinya, menceritakan tentang
hati yang tersakiti karena perang. Begini salah satu puisi yang aku kutib dari
buku tersebut.
“ Perdamaian datang terlambat!
Setelah budaya dan peradaban kami luruh,
Terlambat sama dengan tak tepat waktu,
Tak tepat waktu sama dengan tak berguna
Tapi itu perasaanku, hanya perasaan seorang pejuang
Yang dilempar perjuangnya sendiri,
Entalah! Terimakasih untuk para pencinta perdamaian!
Kemarin, keksasihku mendekapku
Kala senja menaung taman jeumpa
Berbaring aku dan kekasihku
Atas hamparan bunga tanjung
Melirik sepasang merpati putih
Bercinta di tepi kolam harapan,
(Teuntra Atom, p.337-338).
Aku
tidak peduli sosok Irfan itu siapa. Dan juga tidak peduli cerita yang di tulis
oleh novelis “Thayeb Loh Angen” itu benar atau tidak adanya. Yang aku saksiakan
sekarang ada orang yang terganggu jiwanya karena perang, banyak hati yang
tersakiti karena ditinggal orang yg dicintai, terdapat banyak anak-anak yang
kehilangan ayah, istri kehilangan suami, dan hancurnya cinta sepasang kekasih sebelum
membangun istana cinta mereka dalam mahligai rumah tangga.
Oh..
perang, kenapa kamu harus ada? Wujudmu tidak bisa dilihat, tapi kamu membunuh
sacara fisik dan mental banyak orang. Oh.., negriku tercinta, harukah ada
perang? Sampai kapan hidup dalam perang. Tidak ingatkah kau, kita selalu dijajah,
mulai dari kaphe-kaphe Belanda, Jepang, Indonesia, bahkan sampai sekarang pun
juga masih hidup dalam perang. Secara luar memang sudah damai, tapi, tidakkah
kau tau masih ada praktek perang yang kau jalankan. Aku tau negri ini belum
damai, aku tau sedang ada perang politik, Aceh menjajah bangsa sendiri.
Ah..
aku tidak mau terlalu ikut campur dalam hal itu. Yang ingin ku sampaikan dalam
tulisan ini, banyak orang yang mengalami gangguan jiwa karena perang. Aku tak
sempat menanyakan tentang kisah pasien ku yang begitu menghayati lagu “Gaseh
Sayang Prang” itu. Tapi aku bisa mengerti kenapa orang bisa mengalami gangguan
jiwa, saat Irfan kehilangan Elli (kekasihnya) dibantai oleh teman seperjuangannya
sendiri. Temannya tersebut mendapatkan tangguan hidup dari pemerintah,
sedangkan dia hanya mendapatkan cap penghianat setelah damai ini berlangsung.