“Kenapa Harus Aku yang Gila?”
Oleh
Yell Saints
Pagi
itu aku melihat seorang pasien baru, pindahan dari ruangan sebelah. Tampilannya
lumayan rapi, parasnya tampan dan sangat beda dengan pasien-pasien lain.
Usianya sekitar 24 tahun dan benar saat aku melihat buku statusnya dia
kelahiran 1991. Penasaran, akupun menulsuri lebih dalam siapa sosok yang aku
lihat tadi.
Di
balik jeruji besi putih dia duduk dengan tenang menatap ke arah luar,
pandangannya kosong, namun dia menyadari saat aku menghampiri dan menyapanya.
“Assalamualaikum, selamat pagi”
“Waalaikumsalam, ya Kak, selamat pagi”
sebuah senyuman terlihat diwajahnya.
“Baru ya di sini..?”. “iya Kak, tadi
malam dipindahkan dari ruang sebelah”.
Aku
mulai menggali informasi tentangnya. Walaupun pada awalnya dia sedikit menutup
diri, namun setelah tiga hari melakukan pendekatan, akhirnya dia mau
menceritakan tentang kisahnya yang berakhir di Rumah Sakit Jiwa.
Pasien yang sedang ku hadapi ini
berinisial AZ. Baru kali ini aku menemukan pasien yang benar-benar bagus
komunikasinya. Biasanya banyak pasien yang sulit untuk membedakan antara
halusinasi, waham dan gangguan proses pikir lainnya, sehingga saat
berkomunikasipun mereka sulit memahami isi percakapan. Namun, tidak untuk
pasien yang satu ini, dia cukup tenang dan terlihat seperti orang normal
lainnya.
*****
Siang itu, aku mengajak AZ untuk
berbincang-bincang. Sebelumnya aku sudah membuat daftar pertanyaan yang harus
ditanyakan sesuai dengan format pengkajian keperawatan. Dalam diskusi singkat
itu, aku bertanya tentang banyak hal mengenai dirinya.
“Sudah berapa lama di sini?”
“Sudah hampir 4 bulan”
“Kamu tau, kenapa di bawa kemari?”
“Tau Kak, karena saya sakit jiwa kata
orang”
“Apa yang menyebabkan kamu dibawa kemari?”
“Saya sering mengamuk dan marah-marah,
kemudian pergi berhari-hari dari rumah”
“Apa yang menyebabkan kamu marah dan
sering pergi dari rumah?”
“Ada suara-suara yang membisikkan itu
kepadaku dan menyuruhku melakukannya”
“Sejak kapan suara-suara itu sering
mengganggumu?”
Diapun terdiam sejenak dan memalingkan
wajahnya kearah lain. Aku pun mengulang pertanyaan yang sama. “Sejak kapan
suara-suara itu sering mengganggumu?”. Suasanapun hening sejenak, kemudian dia
berusaha menarik nafas panjang dan melihatku. “aku pemakai Kak, sejak umur 17
tahun. Suara-suara yang aku dengar ini baru sejak satu tahun terakhir, tapi
kata dokter itulah penyebab yang membuat emosiku susah dikontrol dan sering
mendengar suara-suara aneh”.
Raut wajahnya terlihat sedih saat menceritakan
hal itu. Aku berusaha untuk menghiburnya dengan mengatakan bahwa masa depannya
masih panjang, dan cobalah memulai dari awal. Sepertinya kata-kataku itu tidak
berefek baginya. Kemudian dia melanjutkan ceritanya.
“Lingkungan tempat tinggalku rata-rata
pemakai semua, dan teman-temanku juga pemakakai. Tapi, kenapa aku yang harus
gila? Kenapa mereka tidak, dan masih bisa menikmati barang haram itu?” pasien
dihadapanku ini mulai sedikit gelisah,
ekspresinya menunjukkan rasa kekesalan pada dirinya. Aku pun berusaha
menenangkannya dan mengatakan kata-kata motivasi pada dirinya.
Kemudian diapun mengucapkan kata maaf
kepadaku karena telah larut dalam emosinya. Emosinya selalu terganggu saat dia
mulai menceritakan kisahnya yang terjebak di dunia hitam narkoba. “Apa kita
cukupkan perbincangan ini?” tanyaku kepadnya, karena khawatir dia tidak mampu
menahan emosinya. “Saya tidak apa-apa Kak, lanjutkan saja, apa yang mau Kakak
tanyakan lagi?”
“Jenis narkoba apa yang biasa Kau
gunakan?” tegasku untuk mencari informasi lebih lenjut tentang keterlibatannya
di dunia hitam tersebut. “Aku biasa mengunakan sabu-sabu Kak, kadang-kadang
juga ganja”. “Dari mana kamu mendapatkan barang haram tersebut?” sidikku lebih
jauh. “Dibelilah Kak, dari seorang teman. Harganya bervariasi, biasanya saya
sering beli ganja dan sabu-sabu di Medan. Saya seorang sopir truk kelapa sawit,
jadi saat saya mengantar muatan ke Medan, saya membelinya”.
“Bagaimana perasaanmu saat memakainya?”
mencoba menggali lebih dalam informasi mengenai dirinya. Hahahah.., dia tertawa
kepadaku, yang sebenarnya menurutku tidak ada yang lucu. “Rasanya enak Kak,
setelah menggunakannya, rasanya kepengen lagi dan lagi. Saya susah untuk
menghentiknnya, walaupun sebenarnya saya tidak menginginkan barang itu lagi”.
Kemudian dia menunduk, dan memuyu kedua matanya dengan tangan kanannya.
Dari pembicaraan itu, aku dapat
menangkap bahwa emosinya masih labil dan mudah untuk berubah-ubah dalam
seketika.
*****
Rantai besi yang pernah melilit kaki
AZ masih terlihat jelas bekasnya. Dia menarik bagian bawah celananya untuk
menutupi bekas luka tersebut. Saat aku bertanya kenapa dengan kakinya, dia
hanya menunduk dan merapikan celana panjangnya. Aku tau bahwa itu ialah bekas
rantai, karena bekas tersebut sangat jelas terlihat.
“Sebelum di bawa ke rumah sakit
jiwa, apakah kamu pernah berobat di tempat lain?” memulai pembicaraan yang dari
tadi diam beberapa menit saat aku memperhatikan luka yang ada di kakinya.
Ternyata beliau menyadari itu. “Aku pernah di bawa ke pesantren untuk berobat”.
Dahi ku sedikit berkerut, terheran kenapa orang yang mengalami gangguan jiwa di
bawa ke pesantren.
“Kenapa di bawa ke pesantren?” aku
mengambil pulpen dan kertas untuk menulis setiap peryataan yang akan keluar
dari mulutnya. Dia menghela nafas panjang, kemudian melihatku dan tersenyum.
“Aku di bawa ke pesantren yang ada tempat pengobatan orang gilanya. Di sana
terdapat orang-orang sepertiku, gila karena orang menganggapnya gila. Aku
sempat di rantai di sana, lantaran aku sering mengamuk dan marah-marah. Tapi
itu semua tidak bisa aku kendalikan. Pikiranku kacau, aku sendiri mendengar
bisikan-bisikan yang tidak tau siapa yang mengatakan itu kepadaku. Aku juga
sering berbicara sendiri, kata bapakku. Tapi sebenarnya aku melihat ujud lawan
bicaraku itu. Namun saat aku mengatakan kepada orang lain tentang itu, tidak
satupun yang mempercayainya. Mereka menyebutku gila. Aku sangat tersinggung
saat mereka mengatakan aku gila, dan aku sempat membenci diriku dan tidak
terima dengan keadaan ini, kenapa aku yang harus gila?”
Aku terhanyut dalam ceritanya.
Sebagai seorang perawat tidak seharusnya aku ikut bersedih dalam ceritanya,
tapi harus memberi motivasi kepadanya supaya tidak larut dalam kesedihan.
Ternyata AZ dirawat selama dua bulan di pesantren. Dia diobati dengan
menggunakan doa-doa supaya jin yang ada di dalam tubuhnya pergi. Namun
perlakuan yang diberikan di sana, memberi bekas luka di hati AZ. Sama halnya dengan
bekas lilitan rantai yang terdapat di kakinya.
Masa-masa sulitnya dilalui di
pesantren. Kakinya dirantai, dan saat makan atau buang air besarpun harus tetap
disitu karena keterbatasan geraknya. Sesekali dia sadar dari halusinasinya,
namun dia sedih dengan keadaannya itu. Batinnya tersiksa, dia ingin didengarkan
tapi mereka mengabaikannya. Memang saat sakitnya kambuh, dia sering berbicara
sendiri dan berperilaku aneh, tapi sebenarnya ada saat-saatnya beliau sadar
dari sakitnya. Keadaan seperti ini lah yang membuat orang dengan gangguan jiwa
mengalami trauma berkepanjangan. Bukan karena penyakit kejiwaannya, tapi lebih
kerena perlakuan buruk orang-orang sekitar yang menambah beban mental pada
dirinya.
Selama dua bulan AZ dirawat di
pesantren, namun tidak mengalami perubahan. Hingga akhirnya dia di bawa ke
Rumah Sakit Jiwa Aceh yang berada di ibu kota. Mereka harus menempuh jarak
sekitar 12 jam dari Kota Cane daerah tempat tinggal AZ. Beliau menceritakan
baru pertama kali dia ke Banda Aceh dan melihat bagaimana pusat kota Aceh.
“Saya melihat kota Banda Aceh dari jendela mobil saat perjalanan menuju rumah
sakit. Kaki dan tangan saya diikat, tapi hati saya senang karena bisa pergi ke
ibu kota walupun melihatnya hanya sepintas lalu”.
Pertanyaan tentang kenapa aku yang harus gila, terjawab
saat AZ mendapatkan perawatan di rumah sakit. Beliau merasa lebih dihargai saat
menjalani perawatan di sana. Sikap perawat yang ramah, yang mengajarkannya cara
mengendalikan halusinasi dan emosinya, membuatnya merasa diperhatikan. “Di sini
saya banyak mendaptkan perubahan, mungkin ini sebuah renungan bagi saya saat
berada di rumah sakit jiwa. Mungkin kalau saya tidak gila, saya tidak akan
pernah terlepas dari jeratan narkoba”.
Kata-katanya itu membuat saya
terharu, dan menyadari bahwa mereka itu, perlu perhatian dan dukungan.
Sayangnya tidak semua orang mengerti dengan keadaan dan posisi mereka. Stigma
masyarakat yang buruk terhadap orang dengan gangguan jiwa, menghambat
kesembuhan mereka. Padahal mereka tidak menginginkan seperti itu dan ingin
sembuh dari penyakit mentalnya. Akan tetapi perilaku dari orang-orang
sekitarlah yang menghambat proses penyembuhannya.