Siapa Yang Gila?
Foto bersama Griya Schizofren Aceh dengan ODGJ |
Gila, kata yang terdiri
dari empat huruf tapi mempunyai banyak makna. Apa yang terbayang jika seseorang
disematkan atau disebut dengan panggilan gila? Marah, sedih, kecewa, yang
tentunya tidak enak didengar jika disandingkan dengan nama aslinya. Lantas
pernahkah terpikir oleh kita apa yang dirasakan mereka yang pernah gila atau
mengalami gangguan jiwa?
Dalam presepsi masyarakat gila atau orang gila adalah
orang tidak bisa lagi diajak komunikasi, sampah masyarakat, pembawa aib, tidak
berguna, jahat, membunuh dan memukul orang, berkeliaran di jalanan sambil tidak
berbusana. Itukah pemikiran kita tentang orang yang mengalami gangguan jiwa?
Dan kenyataannya mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi, dikurung,
dikucilkan, dihina, dimusuhi bahkan diusir dan tidak diterima lagi dalam
kehidupan dimsayarakat. Siapa sebenarnya yang gila disini?
Saat seseorang terkena penyakit mematikan seperti kanker
misalnya, banyak orang yang bersimpati terhadap penyakitnya. Mereka diperhatikan,
diberi motivasi sehingga menculah pemerhati kanker seperti Yayasan Kanker
Indonesia. Begitu juga dengan penyakit-penyakit lainnya, lihatlah betapa
setianya keluarga merawat orang-orang sperti ini dami kesembuhan keluarga yang
sakit. Akan tetapi bagaimana jika ada salah satu dari anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa? Bukankah itu juga penyakit, yaitu penyakit jiwa.
Kunjungan kedua Griya Shizofren Aceh ke RSJ |
Perlakuan terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa
masih bersifat deskriminasi oleh sebagian orang. Padahal orang dengan gangguan
jiwa juga sedang sakit yaitu sakit jiwa. Kita merasa sedih melihat orang sakit
secara fisik yang tidak mampu bergerak ditempat tidur, dan bahkan kita sering
meneteskan air mata ketika ada orang yang bertahan melawan penyakitnya.
Kemudian bagaimana dengan mereka yang menglami penyakit jiwa. Secara fisik
mereka memang kelihatan sehat, namun kenyataan sebenarnya hati jiwa mereka
sedang terguncang, menangis menahan rasa sakit.
Mereka ingin sembuh dari sakit ini, tapi sayang., banyak
orang-orang disekitarnya yang tidak mengingnkannya sembuh. Presepsi masyarakat
terhadap orang dengan gangguan jiwa masih terlihat sinis. Mereka selalu
dianggap gila walaupun sebenarnya sudah sembuh. Akibatnya apa, saat mereka
dikeluarkan dari rumah sakit jiwa mereka masih diperlakukan seperti orang gila,
sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk sembuh di mata orang lain.
Terapi Lingkungan |
Apa yang saya lihat langsung dari orang gila yang ada di
rumah sakit jiwa jauh berbeda dengan apa yang saya prespsikan tentang orang
gila sebelumnya. Dulunya saya mengira orang gila tidak mampu melakukan apa-apa
dan hanya berperilaku menyimpang dari kebiasaan orang normal. Akan tetapi
setelah saya berinteraksi dengan orang gangguan jiwa yang berada di rumah sakit
jiwa, ternyata mereka mempunyai kemampuan yang luar biasa.
Sebut saja namanya Mr X, beliau suka dengan bahasa jepang
dan bisa mempraktekkan bahasa jepang sepatah dua patah kalimat. Saat ada
seseorang yang mengajaknya berbahasa jepang, dia sangat antusias menjawab dan
berbicara menggunakan bahasa jepang. Beliau sangat tertarik dengan embel-embel
jepang, terutama tentang kedisiplinan. Pernah salah seorang teman praktek saya
terlambat datang dan beliau langsung menegur mahasiswa tersebut sambil
menjelaskan kenapa kita harus disiplin terutama masalah waktu.
Keakraban Relawan Griya Schizofren dan ODGJ |
Saat
dikaji lebih dalam Mr X pernah sekolah dan bekerja di jepang, lantaran ada
konflik yang tidak terselesaikan dengan keluarga membuatnya deprsi hingga masuk
rumah sakit jiwa. Saat ini, beliau sudah sembuh dan ingin pulang, namun sayang
keluarganya belum menjemputnya. Entah kapan keluarga akan menjemput Mr X,
beliau berharap bisa keluar dari rumah sakit jiwa dan saat ini uang yang
terkumpul padanya baru 70 ribu. Dia berharap dengan uang tersebut dia bisa
pulang menemui keluarganya.
Beliau
sudah hampir 10 kali bolak balik masuk rumah sakit jiwa, bukan karena dia tidak
bisa disembuhkan lagi, tapi masyarakat disekelilingnyalah yang sulit menerima
keberadaanya. Beliau mengeluh sangat susah untuk mencari pekerjaan, apalagi
dengan cap GILA yang sudah melekat pada dirinya membuat orang-orang
disekitarnya tidak mempercayai terhadap apa yang dilakukannya. Beliau tidak
dianggap keberadaannya dimasyarakat dan apapun yang dilakukannya selalu salah
dimata orang lain.
Sebenarnya
di rumah sakit jiwa mereka sudah mandiri dan tidak kelihatan lagi gejala
gilanya. Mereka melakukan aktivitas makan, minum mandi secara mandiri, senam,
olah raga dan ada sebagian yang bekerja sebagai juru parkir rumah sakit jiwa.
Kondisi merekapun jauh membaik, terlibat dalam kegiatan olahraga seperti tarik
tambang, lari karung, bisa dilakukannya. Naumun saat dia kembali kekeluarga
mereka selalu dibatasi dan jarang diberikan kesempatan apapun.
Relawan Griya Schizofren sedang mealakukan terapi sharing |
Mungkin
kisah Mr X, satu dari sekian banyak kisah pilu orang yang mengalami gangguan
jiwa. Sulit masyarakat menerima kembali keberadaan orang yang mengalami
gangguan jiwa ini. Bahkan ada yang dibiarkan tinggal di rumah sakit jiwa hingga
akhir hayatnya. Bukankah sebenarnya mereka juga punya mimpi terhadap masa
depannya, seperti Mr. A misalnya yang ingin melanjutkan kuliah, Mr. Y yang ingin
kembali bekerja sebagai sopir dan meninggalkan dunia hitam narkoba, Mr. S yang
ingin mempunyai kebun dan banyak keinginan-keinginan mereka lainnya yang
terhalang lantaran mereka di cap GILA. Nah, sekarang siapa yang gila sebenranya?
Jarang
sekali kita memperhatikan orang-orang sepeti ini, bukan karena tidak peduli tapi
prespsi yang melekat pada kebanyakan orang bahwa orang dengan gangguan jiwa
tidak berguna dan menjadi beban bagi masayarakat. Namun sebenarnya mereka mempunyai
kemampuan. Mereka adalah orang-orang dengan kelebihan yang tidak disoroti,
namun kekurangannya penuh caci. Sekali lagi, saya ingin mencaci mereka yang tak
punya hati, yang tak bisa melihat bahwa mereka manusia yang sama, memiliki hati
dan seperti hal nya kita, memiliki kekurangan dan kelebihan yang ingin di
hargai.