Siapa Yang Gila?

Sabtu, April 18, 2015 0 Comments A+ a-


Foto bersama Griya Schizofren Aceh dengan ODGJ

Gila, kata yang terdiri dari empat huruf tapi mempunyai banyak makna. Apa yang terbayang jika seseorang disematkan atau disebut dengan panggilan gila? Marah, sedih, kecewa, yang tentunya tidak enak didengar jika disandingkan dengan nama aslinya. Lantas pernahkah terpikir oleh kita apa yang dirasakan mereka yang pernah gila atau mengalami gangguan jiwa?
            Dalam presepsi masyarakat gila atau orang gila adalah orang tidak bisa lagi diajak komunikasi, sampah masyarakat, pembawa aib, tidak berguna, jahat, membunuh dan memukul orang, berkeliaran di jalanan sambil tidak berbusana. Itukah pemikiran kita tentang orang yang mengalami gangguan jiwa? Dan kenyataannya mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi, dikurung, dikucilkan, dihina, dimusuhi bahkan diusir dan tidak diterima lagi dalam kehidupan dimsayarakat. Siapa sebenarnya yang gila disini?
            Saat seseorang terkena penyakit mematikan seperti kanker misalnya, banyak orang yang bersimpati terhadap penyakitnya. Mereka diperhatikan, diberi motivasi sehingga menculah pemerhati kanker seperti Yayasan Kanker Indonesia. Begitu juga dengan penyakit-penyakit lainnya, lihatlah betapa setianya keluarga merawat orang-orang sperti ini dami kesembuhan keluarga yang sakit. Akan tetapi bagaimana jika ada salah satu dari anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa? Bukankah itu juga penyakit, yaitu penyakit jiwa.
Kunjungan kedua Griya Shizofren Aceh ke RSJ
            Perlakuan terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa masih bersifat deskriminasi oleh sebagian orang. Padahal orang dengan gangguan jiwa juga sedang sakit yaitu sakit jiwa. Kita merasa sedih melihat orang sakit secara fisik yang tidak mampu bergerak ditempat tidur, dan bahkan kita sering meneteskan air mata ketika ada orang yang bertahan melawan penyakitnya. Kemudian bagaimana dengan mereka yang menglami penyakit jiwa. Secara fisik mereka memang kelihatan sehat, namun kenyataan sebenarnya hati jiwa mereka sedang terguncang, menangis menahan rasa sakit.
            Mereka ingin sembuh dari sakit ini, tapi sayang., banyak orang-orang disekitarnya yang tidak mengingnkannya sembuh. Presepsi masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa masih terlihat sinis. Mereka selalu dianggap gila walaupun sebenarnya sudah sembuh. Akibatnya apa, saat mereka dikeluarkan dari rumah sakit jiwa mereka masih diperlakukan seperti orang gila, sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk sembuh di mata orang lain.
Terapi Lingkungan
            Apa yang saya lihat langsung dari orang gila yang ada di rumah sakit jiwa jauh berbeda dengan apa yang saya prespsikan tentang orang gila sebelumnya. Dulunya saya mengira orang gila tidak mampu melakukan apa-apa dan hanya berperilaku menyimpang dari kebiasaan orang normal. Akan tetapi setelah saya berinteraksi dengan orang gangguan jiwa yang berada di rumah sakit jiwa, ternyata mereka mempunyai kemampuan yang luar biasa.
            Sebut saja namanya Mr X, beliau suka dengan bahasa jepang dan bisa mempraktekkan bahasa jepang sepatah dua patah kalimat. Saat ada seseorang yang mengajaknya berbahasa jepang, dia sangat antusias menjawab dan berbicara menggunakan bahasa jepang. Beliau sangat tertarik dengan embel-embel jepang, terutama tentang kedisiplinan. Pernah salah seorang teman praktek saya terlambat datang dan beliau langsung menegur mahasiswa tersebut sambil menjelaskan kenapa kita harus disiplin terutama masalah waktu.
Keakraban Relawan Griya Schizofren dan ODGJ
Saat dikaji lebih dalam Mr X pernah sekolah dan bekerja di jepang, lantaran ada konflik yang tidak terselesaikan dengan keluarga membuatnya deprsi hingga masuk rumah sakit jiwa. Saat ini, beliau sudah sembuh dan ingin pulang, namun sayang keluarganya belum menjemputnya. Entah kapan keluarga akan menjemput Mr X, beliau berharap bisa keluar dari rumah sakit jiwa dan saat ini uang yang terkumpul padanya baru 70 ribu. Dia berharap dengan uang tersebut dia bisa pulang menemui keluarganya.
Beliau sudah hampir 10 kali bolak balik masuk rumah sakit jiwa, bukan karena dia tidak bisa disembuhkan lagi, tapi masyarakat disekelilingnyalah yang sulit menerima keberadaanya. Beliau mengeluh sangat susah untuk mencari pekerjaan, apalagi dengan cap GILA yang sudah melekat pada dirinya membuat orang-orang disekitarnya tidak mempercayai terhadap apa yang dilakukannya. Beliau tidak dianggap keberadaannya dimasyarakat dan apapun yang dilakukannya selalu salah dimata orang lain.
Sebenarnya di rumah sakit jiwa mereka sudah mandiri dan tidak kelihatan lagi gejala gilanya. Mereka melakukan aktivitas makan, minum mandi secara mandiri, senam, olah raga dan ada sebagian yang bekerja sebagai juru parkir rumah sakit jiwa. Kondisi merekapun jauh membaik, terlibat dalam kegiatan olahraga seperti tarik tambang, lari karung, bisa dilakukannya. Naumun saat dia kembali kekeluarga mereka selalu dibatasi dan jarang diberikan kesempatan apapun.
Relawan Griya Schizofren sedang mealakukan terapi sharing
Mungkin kisah Mr X, satu dari sekian banyak kisah pilu orang yang mengalami gangguan jiwa. Sulit masyarakat menerima kembali keberadaan orang yang mengalami gangguan jiwa ini. Bahkan ada yang dibiarkan tinggal di rumah sakit jiwa hingga akhir hayatnya. Bukankah sebenarnya mereka juga punya mimpi terhadap masa depannya, seperti Mr. A misalnya yang ingin melanjutkan kuliah, Mr. Y yang ingin kembali bekerja sebagai sopir dan meninggalkan dunia hitam narkoba, Mr. S yang ingin mempunyai kebun dan banyak keinginan-keinginan mereka lainnya yang terhalang lantaran mereka di cap GILA. Nah, sekarang siapa yang gila sebenranya?
Jarang sekali kita memperhatikan orang-orang sepeti ini, bukan karena tidak peduli tapi prespsi yang melekat pada kebanyakan orang bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak berguna dan menjadi beban bagi masayarakat. Namun sebenarnya mereka mempunyai kemampuan. Mereka adalah orang-orang dengan kelebihan yang tidak disoroti, namun kekurangannya penuh caci. Sekali lagi, saya ingin mencaci mereka yang tak punya hati, yang tak bisa melihat bahwa mereka manusia yang sama, memiliki hati dan seperti hal nya kita, memiliki kekurangan dan kelebihan yang ingin di hargai.