PENARI yang Menjadi PEGAWAI
Putri
mengambil satu buku yang tergeletak di atas meja yang bertaburan buku itu.
“hmm.., Bertahan Dalam Badai?”
Lama dia memandangi buku tersebut, sembari
menunggu koneksi internet di laptopnya. Dibukanya halaman buku tersebut,
dibacanya kalimat per kalimat, kemudian dibaliknya lagi, hingga dia menemukan sebuah
judul yang membuatnya tertarik membaca cerpen tersebut.
Di
bab 18 tertulis judul cerpen “menari”, Putri melihat sampul bukunya yang
bewarna merah maron. Tertulis “Darul Qutni Ch, Bertahan Dalam Badai, Kumpulan
Cerpen dan Puisi”.
Tidak asing nama itu menurutnya, dia mulai membaca beberepa
kalimat dari penggalan cerpen tersebut. Rupanya settingan tempat di cerpen
tersebut ada di Kota Singkil dan Tapaktuan, daerah yang tidak asing lagi bagi
Putri, tentulah ini daerah tanah kelahirannya.
Dia
mulai tertarik untuk membaca kelanjutan cerpen tersebut. Dipertengahan cerita,
teringatlah dia akan nama “Darul Qutni Ch”. Barulah dia menyadari bahwa penulis
buku tersebut adalah orang Tapaktuan.
Nama itu sering didengarnya saat duduk di
bangku sekolah dasar, karena buku-bukunya sering ia baca saat dia berusia 8
tahun, salah satunya buku tentang “Legenda Tapaktuan”
Kemudian
Putri melanjutkan bacaanya itu, dalam cerpen tersebut mengisahkan seorang anak
dari Kota Singkil yang ingin melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) yang ada di Tapaktuan.
Ternyata cerpen itu terbitan 1987 di Surat Kabar
Mercu Suar. Putri membayangkan sejenak bagaimana kondisi Kabupaten Aceh Selatan
kala itu.
Dalam
cerpen tersebut tergambar bagaimana sulitnya transportasi antara Kota Singkil
dengan Kota Tapaktuan. Pendidikan pun juga masih terbatas, hanya ada di Kota
Tapaktuan, sedangkan di Kota singkil hanya ada sekolah tingkat dasar, itupun
sangat minim guru.
Putri makin tertarik untuk membaca cerpen tersebut, hingga
sampai ke sebuah penggalan yang membuatnya berulang-ulang kali dibacanya.
Dalam
percakapan Sakir (tokoh dalam cerpen) dengan seorang bapak yang ditemuinya
saat sebelum testing;
Bapak : Kalau
uang tidak cukup dan bekingan pun tidak ada, lebih baik pulang saja engkau kembali
ke Singkil.
Sakir :“Mengapa begitu, Pak?”. Sakir heran,
orang itu ditatapnya dengan tajam.
“Nilai NEM saya kan sudah memenuhi syarat, Pak?”
Bapak : Betul kamu itu, Nak. Tapi engkau tidak
pandai menari!
Sakir : “Menari?” Sakir nampak kebingungan
Bapak : Ya, tahukah engkau menari?
Sakir : “Oh, tentu Pak. Di Singkil saya pernah
belajar menari yaitu tari
Dampeng pakai selendang, Payung dan Piring. Bahkan saya juga bisa
tari pakai lilin”. Sakir
menjawab dengan penuh keyakinan.
“Apa salah satu syarat testing
SPG itu kita disuruh menari, Pak?”
Mendengar pertanyaan Sakir, bapak di
depannya tertawa terpingkal-pingkal. Sakir semakin heran melihat tingkah bapak
itu.
Bapak : Gendang tarimu itu tidak sama dengan
gendang tari disini.
Sakir : “Apakah gendang disini bukan terbuat
dari kulit kerbau dan kambing, Pak?”
Sakir
begitu polosnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan si bapak. Namun, bapak tersebut
semakin tertawa terpingkal-pingkal.
Bapak : Siapa namamu, Nak?
Sakir : Nama saya Sakir
Bapak : O.., bukannya fakir bin miskin?
Sakir : “Bukan, Pak. Tapi saya memang anak orang
miskin dan ayah saya tidak ada lagi. Ayah saya sudah meninggal tiga tahun yang
lalu”.
Bapak : Nah, jika demikian pasti engkau tidak
mampu mengikuti tari gendang Tapaktuan.
Sakir : “Saya tidak mengerti maksud Bapak”.
Sakir semakin bingung.
Bapak : Sudahlah, nanti engkau sendiri pasti bisa
menjawabnya.
Namun hingga kini Sakir tidak pernah mengerti bunyi sebuah peribahasa
"Bagaimana bunyi gendang, demikian pula tarinya’”.
Sakir yang menaruh harapan tinggi karena nilai NEM mencukupi untuk ikut testing masuk
ke SPG, harus pulang dengan rasa kecewa karena tidak pandai menari.
Putri tertegun sesaat, setelah membaca isi cerpen tersebut. Tidak terbayangkan olehnya 30
tahun lalu orang di Tapaktuan sudah pandai ‘menari'.
Wajarlah hasilnya sekarang orang orang yang terlibat di dalam pemerintahan saat ini
merupakan cetakan dari penari penari yang mahir dahulunya.
Laptopnya yang dari tadi mencoba menyambung ke jaringan internet, masih proses
loading. Sudah hampir setengah jam dia berada di Ruang Referensi Pustaka Daerah Aceh
Selatan.
Susahnya koneksi internet yang ada di Samadua, mengharuskan Putri untuk pergi ke
pustaka untuk mendapatkan jaringan WiFi. Tapi hasilnya sama saja, laptopnya masih
dalam proses loading.
“Susahnya hidup di kampung, teringat bagaimana mudahnya fasilitas yang ada di kota
Banda Aceh”. Putri mengeluhkan nasibnya.
Kemudian dia menanyakan ke pegawai ruangan itu, apakah ada komputer yang bisa
digunakan pengunjung? Laki-laki seperuh baya penjaga ruang referensi itu, menunjuk ke
ruang baca.
Putri menuju ke ruang baca, komputer tersebut hanya terdapat dua buah dan digunakan
oleh pegawai yang ada disitu. Rupanya para pegawai tersebut sedang menonton youtube
yang isinya seputar gosip selebritis.
Putri mendesah, merasa kesal melihat para pegawai itu
“Pantaslah internetnya lola (Loading lama), rupanya dipakai pegawai menonton youtube.
Putri mengurungkan niatnya untuk memakai komputer tersebut. Ruangan itu dipenuhi oleh
gelak tawa para pegawai, sembari bergosip tentang kelahiran anak seorang aktor yang
terkenal di negri ini.
“Inikah hasil dari penari dua puluh delapan tahun silam?”
Putri melihat sinis para pegawai itu.
“Isi sendiri dek buku yang dipinjam” kata pegawai tersebut.
“nghaaaa..? saya yang isi, Buk, jadi Ibu tugasnya Apa?"
Namun hingga kini Sakir tidak pernah mengerti bunyi sebuah peribahasa
"Bagaimana bunyi gendang, demikian pula tarinya’”.
Sakir yang menaruh harapan tinggi karena nilai NEM mencukupi untuk ikut testing masuk
ke SPG, harus pulang dengan rasa kecewa karena tidak pandai menari.
Putri tertegun sesaat, setelah membaca isi cerpen tersebut. Tidak terbayangkan olehnya 30
tahun lalu orang di Tapaktuan sudah pandai ‘menari'.
Wajarlah hasilnya sekarang orang orang yang terlibat di dalam pemerintahan saat ini
merupakan cetakan dari penari penari yang mahir dahulunya.
Laptopnya yang dari tadi mencoba menyambung ke jaringan internet, masih proses
loading. Sudah hampir setengah jam dia berada di Ruang Referensi Pustaka Daerah Aceh
Selatan.
Susahnya koneksi internet yang ada di Samadua, mengharuskan Putri untuk pergi ke
pustaka untuk mendapatkan jaringan WiFi. Tapi hasilnya sama saja, laptopnya masih
dalam proses loading.
“Susahnya hidup di kampung, teringat bagaimana mudahnya fasilitas yang ada di kota
Banda Aceh”. Putri mengeluhkan nasibnya.
Kemudian dia menanyakan ke pegawai ruangan itu, apakah ada komputer yang bisa
digunakan pengunjung? Laki-laki seperuh baya penjaga ruang referensi itu, menunjuk ke
ruang baca.
Putri menuju ke ruang baca, komputer tersebut hanya terdapat dua buah dan digunakan
oleh pegawai yang ada disitu. Rupanya para pegawai tersebut sedang menonton youtube
yang isinya seputar gosip selebritis.
Putri mendesah, merasa kesal melihat para pegawai itu
“Pantaslah internetnya lola (Loading lama), rupanya dipakai pegawai menonton youtube.
Putri mengurungkan niatnya untuk memakai komputer tersebut. Ruangan itu dipenuhi oleh
gelak tawa para pegawai, sembari bergosip tentang kelahiran anak seorang aktor yang
terkenal di negri ini.
“Inikah hasil dari penari dua puluh delapan tahun silam?”
Putri melihat sinis para pegawai itu.
Kemudian
dia mengambil buku “Bertahan Dalam Badai”
dan bermaksud
untuk meminjamnya. Sesampainya di meja peminjaman buku, pegawai
perempuan yang
berumur separuh baya itu menyodorkan buku tebal dan pulpen.“Isi sendiri dek buku yang dipinjam” kata pegawai tersebut.
“nghaaaa..? saya yang isi, Buk, jadi Ibu tugasnya Apa?"
Putri sedikit terkejut dan heran dengan sistem di pustaka ini. Sangat berbeda dengan pustaka kampusnya yang ada di Kota Banda Aceh, begitu juga dengan Pustaka Wilayah, pelayanannya jauh berbeda dengan pustaka yang ada di daerah.
Saat perjalanan pulang, Putri terus terpikir tentang kata 'menari'. Dia berniat mendatangi penulis buku tersebut. Disepanjang jalan beliau bertanya kepada orang Tapaktuan, dimana rumah Pak Darul Qutni. Hingga akhirnya dia menemukan rumahnya yang berada tidak jauh dari Perpustakaan Daerah.
Putri mengetuk pintu rumah yang terlihat sederhana itu dari luar. Setelah menunggu beberapa menit, keluarlah seorang laki-laki tua memakai baju koko dan peci, lengkap dengan sorban putih yang disandang di bahunya.
Putri sedikit terkaget karena photo yang ada di buku genggamannya, jauh berbeda dengan orang yang ditemui itu. Terbayang olehnya sosok penulis novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yaitu Buya Hamka.
Bersambung....
4 comments
Write commentsDitunggu cerita sambungannya Yelli. :)
Replypart 2.... mana? cepat-cepat.. hhehe
ReplyOk.., cari inspirasi dulu untuk buaat lanjutannya.., hahahaha
ReplyOk.., masih mikir ne, cari ide yg pas untuk nulisnya!
Reply