Karena Ibu, Aku Jadi Perawat
Aku saat melakukan kunjungan ke rumah pasien di Kuta Malaka, Aceh Besar |
Suaranya meninggi, dia bertanya untuk kedua kalinya memastikan kabar yang baru kusampaikan. Meskipun aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya, dari suaranya aku bisa memastikan dia sangat senang mendengar kabar baik dariku.
“Alhamdulillah, Ibu akan puasa nazar besok untuk melaksanakan janji karena Yel diterima di sekolah perawat.” Ibu sedikit terisak menahan tangis bahagia, karena kabar yang baru kusampiakan melalui telpon seluler.
Aku pun ikut bahagia dengan kabar baik itu, walau aku dan ibu terpisah jarak 500 km karena aku sedang berada di Kota Banda Aceh, kami masih bisa berkomunikasi dengan baik seolah kami berada di tempat yang sama.
Ibu terus berucap syukur atas keberhasilanku masuk di universitas ternama di Jurusan Keperawatan. Sebuah pendidikan yang menuntunku menjadi seorang perawat nantinya, seperti yang diimpikan ibu sejak lama.
Aku dan ibu yang selalu merawatku sejak kecil |
Dari kecil ibu memang menginginkanku menjadi seorang perawat, bahkan nama yang diberikan kepadaku bukan sekadar nama biasa. Di situ terselip sebuah doa supaya aku menjadi seorang perawat sebagaimana yang diharapkan ibu.
Ibu menyebut suster bagi tim medis perempuan dan dokter bagi laki-laki. Dia mengetahuinya dari televisi hitam putih di siaran kesehatan yang ditontonnya. Iklan kesehatan yang menampilkan sosok perempuan, berpakaian putih-putih, dan berkerja di rumah sakit atau puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, membuat ibu jatuh cinta dengan profesi tersebut.
Saat memandikan bayi pasien yang merupakan tugas mandiri perawat |
Ibu sangat berharap aku menjadi seorang suster sebagaimana yang dia lihat di televisi, sehingga saat aku lahir diberi nama Yelli Sustarina. Secara harfiah nama itu tidak mempunyai arti apa pun, bahkan aku mencari arti namaku di kamus aceh, arab, inggris, dan latin, namun tidak ada arti dari nama tersebut.
Namaku memang tidak mempunyai arti, tapi kata ibu mempunyai makna yang mendalam baginya. Ibu berharap aku menjadi seorang suster, karena tidak banyak orang yang menjadi suster saat itu, bahkan saat aku lahir pun tidak ditolong oleh tenaga medis. Aku lahir berkat pertolongan bidan kampung yang mempunyai pengalaman menolong persalinan bagi perempuan yang akan melahirkan.
Akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang ditangani langsung oleh orang – orang yang mempunyai ilmu di bidang kesehatan, saat itu susah dijangkau. Selain jumlah tenaga medis yang terbatas, jarak rumahku ke pelayanan kesehatan juga sangat jauh.
Alternatifnya, jika aku sakit hanya diobati oleh tabib kampung dengan bacaan doa dan dedaunan yang dianggap bisa menyembuhkan. Oleh karena itulah ibu sangat berantusias menyekolahkanku di keperawatan, walau dia hanya sebatas tamatan sekolah dasar.
Akan tetapi, Ibu mempunyai pemikiran jauh lebih maju dibandingkan ibu-ibu lainnya di kampungku. Saat itu sekolah taman kanak-kanak (TK) belum familiar di tahun 90-an, apalagi di kampungku itu tidak mempunyai TK, ibu memasukkan aku ke sekolah TK di kampung tetangga.
Ibuku lah yang mulanya berani menyekolahkan anaknya di TK dan harus menempuh jarak 2 km setiap harinya untuk mengatarkanku ke sekolah. Saat ada acara karnaval meyambut 17 Agustus, ibu memilihkanku pakaian perawat. Dia sendiri yang menjahitkan baju perawat untukku.
Aku yang berusia 4 tahun saat mengikuti karnaval 17 Agustus 1996 mengenakan pakaian perawat |
Di wajahnya terukir senyum indah penuh harapan, ketika melihatku mengenakan pakaian perawat lengkap dengan tas P3K dan stetoskop tergantung di leher. Aku masih ingat betul kenangan itu, padahal sehari sebelum karnaval aku terguling sakit di rumah karena demam tinggi.
Berkat semangat ibuku yang senantiasa merawatku dan juga karena harapannya itu, akhirnya aku bisa mengikuti kegiatan karnaval tersebut. Tubuhku memang sakit, tapi karena ibu selalu menemaniku, jiwaku terasa tentram dan nyaman hingga sakit itu pun terlupakan. Aku bersemangat mengikuti karnaval dengan menggunakan pakaian perawat.
Sekarang impian ibuku benar menjadi kenyataan. Awal tahun 2017 lalu, aku di wisuda dan diambil sumpah sebagai perawat profesi dengan gelar Ns. Yelli Sustarina, S.Kep. Pada akhir tahun 2017, aku menerima surat tanda registrasi perawat (STR) yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan.
Karena ibu, sekarang aku menjadi seorang perawat. Berkat doa, usaha, dan impiannya Allah swt mengabulkan cita-citanya. Semoga aku bisa menjadi perawat yang menjalankan fungsi, tugas, dan peran serta tanggung jawab sebagai seorang perawat profesional.
Kompetisi Blog Saliha.id “Karena Ibu” |
16 comments
Write comments500 KM itu kaya jakarta - surabaya,, jauh sekali,,,
Replybtw setiap Ibu memang selalu mendukung apa yang diinginkan anaknya :)
Sukses menitikkan airmata. I believe your mom very proud of you. A best daugther.
ReplyInspiring!
ReplyIya Mbak, aku kuliah di Banda Aceh, orang tuaku tinggal di Aceh bagian Selatan.
ReplyAlhamdulillah, satu tahap aku telah menyampaikan impian ibuku.
Alhamdulillah, semoga saja begitu.
ReplyTerima kasih sudah membacanya :)
ReplySalut kak !
ReplySukses terus ya say, good luck buat lombanya
Replywahh luar biasa ya, bahkan aku berpikir dgn segala ilmuku tak mungkin bs menyaingi kehebatan mamak
Replywah.. keren ya, selamat ya kak, dari dulu aku kagum sama profesi-profesi di bidang kesehatan, seperi perawat, bidan, dokter.. mereka stronggg banget ya gak kenal kata hari libur.. wah salut ya
ReplyTerima kasih :)
ReplyAmin ya Allah, terima kasih mbak sudah berkunjung :)
ReplyIya, Ibu luar biasa, karena dia lah kita bisa menjadi lebih baik, mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan juga karir yg lebih baik. Semua karena Ibu.
ReplyIya, Alhamdulillah masih ada orang yang menghargai profesi ini, karena perawat yang baik ialah perawat yang bahagia ketika orang lain tetap sehat dan hidup bahagia.
Replywaaaah, selamat mbak, luar biasa ya kekuatan doa seorang ibu :)
ReplyIya doa ibu tidak ada hijab untuk anaknya, begitu pula sebaliknya.
Reply