Mengenal Lebih Dekat Krisis Kemanusiaan Muslim Rohingya Myanmar Bagian I
Mereka disiksa, dibunuh, perempuannya diperkosa, anak-anak dibiarkan kelaparan, harta bendanya dirampas, dan bahkan mereka diusir paksa dari tanah kelahirannya.
Awalnya aku mengira konflik yang terjadi di Myanmar ini karena faktor agama dan etnis, seperti yang diberitakan di media massa bahwa ada keterlibatan biksu dalam pembantaian muslim Rohingya.
Bahkan sebuah breaking news yang dikeluarkan media ternama di Aceh menulis berita, “Vihara Budha di Peunayong Banda Aceh Didemo, Ini Foto-Fotonya.” (Serambi Indonesia, 04/09/2017). Sontak masyarakat awam pun terprovokasi dengan berita ini.
Setelah berita itu diterbitkan, kolom komentar dari media tersebut dipenuhi dengan komentar yang menyetujui aksi tersebut sebagai solidaritas. Anehnya mereka menyetujui aksi kekerasan, ya jika dibakar balas dengan aksi dibakar, bunuh ya, harus dibunuh kembali.
“Apabila kafir Budha memulainya, maka kita siap fisabilillah, tumpas habis Budha-Budha yang ada di Aceh, bumi hanguskan kelenteng mereka.” Akun Maulana Subh’hi (Puksi Universitas Serambi Mekkah).
“Bikin jadwal demo seluruh Aceh berkumpul di Banda Aceh bakar semua Buddha di situ.” Khaiirulla (S1 Pertanian).
Dan banyak komentar anarkis lainnya yang munyulut api konflik akibat ketidaktahuan mereka. Bisa baca beritanya di sini.
Aku rasa tidak ada satu pun agama yang mengajarkan untuk menindas kelompok lain, apa lagi membunuh kecuali dengan alasan tertentu. Bahkan mereka yang beragama Hindu dan Buddha juga merasakan dampak konflik di wilayah Rakhine Myanmar.
Beruntung aku tidak terpengaruh dengan berita itu dan memilih untuk diam, walaupun banyak teman-teman lain nyinyir di akun media sosialnya terkait hal ini.
Alhamdulillah aku mendapatkan penjelasan langsung dari para narasumber terpercaya, di kegiatan konferensi internasional yang bertema “Peran Pemuda Aceh dalam Memahami dan Menanggulangi Krisis Kemanusiaan Minoritas Muslim Myanmar” pada Selasa, 12 September kemarin.
Acara yang berada di Aula Pasca Sarjana Universitas Islam Negri (UIN) Ar-Raniry ini dihadiri oleh berbagai komunitas pemuda yang ada di Banda Aceh. Aku mewakili komunitas Gam Inong Blogger (GIB).
Sebagai seorang pemuda yang konsen dibidang kepenulisan, sepertinya aku akan menuliskan kembali tentang fakta yang disampaikan oleh empat narasumber tersebut supaya para pemuda lainnya mengetahui tentang krisis kemanusiaan minoritas muslim Myanmar.
Prof Dr Syamsul Rijal Mag menyampaikan sambutannya kepada audiensi |
Acara ini dibuka oleh Wakil Rektor III UIN Ar-Raniry, Prof Dr Syamsul Rijal Mag. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa tragedi kemanusiaan tidak bisa dilihat secara emosional apalagi karena faktor human interest, tapi lihatlah secara komprehensif. “Misalnya tarik duta besar (Dubes) Indonesia dari Myanmar dan tutup dubes Myanmar di Indonesia, nah kalau itu ditarik dan ditutup bagaimana kita membantu mereka karena tidak ada lagi diplomasi yang bisa dilakukan?”
Yang perlu diselesaikan ialah penyebab bukan akibat. “Emosional Anda terbangun karena melihat akibat-akibat itu, tapi itu tidak menyelesaikan tragedi kemanusiaan tanpa menyelesaikan penyebabnya” ujarnya.
Sebagai penutup beliau berharap setelah konferensi ini akan melahirkan kesadaran dan pikiran-pikiran jernih dalam menyelesaikan tragedi kemanusiaan. Tentunya harus bisa memilah mana yang dikatakan sebab dan mana akibat, karena jika kita tidak bisa membedakannya, ditakutkan nanti tidak hanya di Myanmar yang terjadi bentrok, tapi juga sesama kita antar umat beragama di Indonesia.
Aku langsung mendapatkan sedikit benang merah dari apa yang disampaikan Pak Rektor tadi. Aksi tempo hari yang dilakukan oleh Masyarakat Aceh Peduli Rohingya dengan mendatangi Vihara Penayong, akankah menumbuhkan benih konflik diantara kita?
Diskusi ini semakin menarik saat empat narasumber tersebut memaparkan fakta dari tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.
Para narasumber yang akan memberikan pemahaman terkait konflik Myanmar |
Dipandu oleh Musdawati seorang dosen Sosiologi Agama UIN-Ar-Raniry, masing-masing narasumber secara terbuka menjelaskan tentang konflik ini berdasarkan sudut pandang pengalaman dan keilmuannya.
Penyampaian pertama oleh Joanne Lauterjung Kelly tentang persepektif beliau saat bekerja di Myanmar sejak tahun 2011. Perempuan yang juga berperan sebagai fasilitator dialog lintas etnis dan agama, konflik, mitigasi, dan pembangunan kapasitas untuk pemuka agama dan pelaku perdamaian, mengambil bagian untuk menjelaskan sejarah muslim Rohingya di Myanmar.
Joanne Lauterjung Kelly menyampaikan materinya |
Myanmar merupakan bagian anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang terletak di Asia Tenggara. Daerah ini sangat strategis karena berbatasan langsung dengan China dan India pada bagian utara, Teluk Benggala dan Thailand pada bagian selatan. Sedangkan sebelah timur berbatasan dengan wilayah China, Laos, dan Thailand serta di wilayah barat berbatasan dengan Teluk Benggala dan Bangladesh.
Penduduknya berjumlah 52 juta jiwa dan 135 entnis yang diakui tersebar di wilayah Myanmar, namun muslim Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Myanmar secara resmi mengeluarkan etnis Rohingya dari daftar resmi, melalui konstitusi dan Undang-Undang Kewarganegaraan sejak tahun 1980.
Padahal di masa-masa awal kemerdekaan Myanmar, Rohingya termasuk salah satu etnis yang diakui bahkan pada tahun 1960 ada siaran radio yang menggunakan bahasa Rohingya. Sekarang mereka dipertanyakan kewarganegaraannya dan dibatasi akses pelayan publik di negaranya sendiri.
Pihak militer dan pemerintahan Myanmar mempersoalkan tentang asal muslim Myanmar ini. Hal ini dikarenakan daerah Rakhine yang ditempati muslim Rohingya merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Hampir mirip dengan Aceh, jika di Indonesia gerbang perdagangan dunia masuk melalui jalur barat yaitu Aceh, maka di Myanmar jalur masuknya melalui Rakhine.
Sehinga banyak pemain baik itu dari Myanmar maupun dari luar yang ingin menguasai daerah ini. Mulanya dijajah oleh Inggris pada 1824 M, kemudian setelah merdeka pada 4 Januari 1948, rezim yang berkuasa pun juga menindas masyarakat yang ada di wilayah Rakhine, tidak hanya Muslim tapi juga Hindu dan Buddha.
Terdapat dua pemerintahan yang berjalan paralel, satu dari pihak militer dan satunya lagi dari pihak sipil. Kekuatan terbesar berada pada pihak miliiter, pihak sipil hanya 25% sehingga setiap kebijakan yang ada dipertanyakan dulu pada pihak militer.
Mereka menguasai empat kementrian besar yaitu perdagangan, pertahanan, urusan luar negri, dan urusan vital lainnya di Myamar. Jadi, mereka lah yang berkuasa dan membuat kebijakan sesuai kepentingan kelompok mereka.
Selama ini kita salah sangka dengan menuduh masyarakat sipil yaitu kaum Buddha melakukan diskriminasi ini. Justru pihak militer inilah biang keroknya, akar dari semua permasalahan yang ada di Myamar. Nanti akan aku paparkan di tulisan berikutnya.
Desakan nasional oleh demonstran yang selama ini dilakukan seperti di Jakarta misalnya, mengarah pada masyrakat sipil. Sehingga timbul prasangka bahwa ini murni konflik antar agama dan etnis. Apa jadinya nanti para penganut Buddha yang ada di seluruh dunia? Pasti akan disalahkan atas trgedi kemanusiaan muslim Rohingya.
Di tulisan pertama dari konferensi ini, aku ingin mengajak para pemuda untuk memahami dulu titik permasalahan dari konflik ini. Seperti apa yang disampaikan oleh Ms. Joanne Lauterjung Kelly bahwa dia sangat berharap masyarakat muslim yang ada di Myanmar bisa dipersatukan seperti Indonesia.
“Bhineka Tunggal Ika”, meskipun berbeda, tapi tetap satu berbangsa Indonesia, bahasa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
Tunggu tulisan berikutnya dari tiga narasumber lainnya yang menemukan benang merah dari konflik Myanmar.
Paparan dari Joanne Lauterjung Kelly Diterjemahkan oleh Ilham Munawar Siddiq |
6 comments
Write commentsditunggu kelanjutannya yelli
ReplyBaik, terima kasih suadah berkunjung :)
Replysuka nggak tega baca berita ttg mereka :(
ReplyIya mbak, tapi kita harus tahu tentang itu supaya ada upaya kita berbuat untuk mereka. Meskipun tidak dengan materi melalui tulisan dan penjelasan seperti ini, siapa tahu bisa menggugah orang lain yang membaca untuk membantu.
ReplyD tunggu mbak tulisannya. Jadi sama asal mula konfliknya karena kepentingan suatu golongan aan daerah yang kaya mbak. Tetapi kenapa harus menggunakan propaganda agama ? sehingga selalu membuat perpecahan dimana-mana. Kita harus bijak dala membaca, melihat dan menonton berita semakin hari kita harus tau berita yang berimbang terimakasih telah menulis mbak membuka cakrawala saya tentang Rohingya. Selama ini saya tahu mereka hanya ingin menindas islam ternyata ada maksud terselubung karena alamnya yang kaya
ReplyYa begitulah, politik bisa memproganda semuanya sehingga terkesan benar adanya.
Reply