Kisah Korban Tsunami Dibalik Jeruji Besi Putih
Gambar Ilustrasi Jeruji Besi Putih |
Bunga, begitu panggilannya. Bukan nama asli, karena tidak
ada satupun yang tau latar belakangnya. Usianya sekitar 27 tahun, tapi
tingkahnya sepeti anak usia 7 tahun. Aku sangat terkejut saat dia menyapaku
dengan sebutan ibu, dengan ramah dia menyalamiku sambil mencium tanganku.
Sontak aku terkejut, orang yang usianya lebih dewasa dariku mencium tanganku
saat bersalaman.
“Ibu,ibu, nama saya
bunga, nama ibu siapa?
Ambil Bunga saja ya jadi pasien ibu,
bunga orangnya baik”.
Aku pun heran mendengar perkataannya, ternyata dia sudah
duluan tau bahwa setiap mahasiswa praktik akan mengambil salah satu dari mereka
untuk dijadikan pasien kelolaan. Aku pun membalas sapaannya dengan sikap penuh
bersahabat.
“Perkenalkan saya Arin,
senang berkenalan dengan Bunga”.
Kesempatan inipun tidak aku sia-siakan, aku langsung
melakukan pengkajian untuk memperoleh data darinya.
Bunga sudah tinggal di Rumah Sakit Jiwa Sejak 10 tahun lalu,
tepatnya setelah tsunami Aceh. Tidak ada satupun yang tahu siapa keluarganya
dan darimana asalnya. Setiap kali ditanya jawaban berbeda-beda. Dia sering
memanggil-manggil pamannya, dan berharap pamanya akan datang menjemputnya.
Penasaran dengan sosok bunga, akupun melihat datannya di
status pasien. Dia adalah salah satu korban tsunami Aceh 2004, yang masuk
karena gangguang mental yang disebut sebagai skizofrenia.
Bunga sering terlihat berbicara sendiri, tersenyum, dan
bahkan tertawa dengan halusinasinya. Namun terkadang dia mengalami ketakutan
sehingga membuatnya menangis sejadi-jadinya. Dia juga sering mencium bau darah,
bahkan darah itu mengikutinya kemana-kemana.
Keluarganya meninggal dunia dalam musibah besar Tsunami Aceh,
selebihnya tidak ada status jelasnya, siapakah bunga, dan bagaimana
kehidupannya sebelum bencana besar itu datang.
Aku melihat sosok anak kecil dalam tubuh orang dewasa
seperti bunga. Dia sangat rindu kasih sayang, rindu akan keluarganya. Sempat
suatu hari dia bercerita kepadaku tentang keluarganya. Katanya dia berasal dari
Simeulue, ayah dan ibunya sudah meninggal dunia, dan dia tinggal dengan
pamannya.
Dia sangat yakin pamannya akan menjemput dirinya, setiap
hari dia bertanya kepada perawat, apakah pamannya sudah datang? Dan setiap hari
terus dengan pertanyaan yang sama. Kadang dia menangis memanggil pamannya,
tingkahnya tak ubah seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Tak ada satupun
yang tahu siapa paman yang dinanti-nantikan bunga.
Setiap hari dia hanya duduk di balik jeruji besi putih yang
berkarat, terkadang dia senyum sesekali dengan mahasiswa-mahasiwa praktik
sepertiku. Setelah itu dia asyik berbicara dengan halusinasinya, dengan tingkah
yang menurutku aneh.
Kadang dia terlihat asyik mengobrol sendiri, duduk dengan
posisi seperti orang bertapa sambil memejamkan matanya, dan kemudian tersenyum
sambil melirik ke kiri ke kanan, lalu dia teriak-teriak dengan mengatakan “”Ada darah, ada darah”.
Aku mencoba berkomunikasi dengannya, palng tidak 15 menit
setiap hari. Meskipun apa yang diomonginya tak tentu arah, dan berputar-putar (sirkumtansial).
Diapun sudah mulai dekat denganku. Pertanyaan yang tak
bosan-bosanya ditanyakan kepadaku ialah kapan pamannya datang. Aku tak tahu mau
jawab apalagi, setiap hari dia mempertanyakan hal yan sama. Kapan pamanku
menjemputku.
Pernah suatu ketika Bunga disangka memukul temannya.
Akibatnya dia harus dipindahkan ke ruang isolasi. Paginya ketika aku sampai ke
tempat dinas, dia langsung memangilku sambil menangis dan berteriak.
“Bu Arin.., Bunga
nggak salah!
Bunga nggak bermaksud memukul teman Bunga, Bunga nggak mencuri!
Tolong lepasin Bunga Bu Arin!
Bunga janji nggak akan mengulanginya lagi,
Bu Arin, tolong lepasin Bunga”.
Aku melihat Bunga di ruang isolasi dengan matanya yang
sembab, ujung bibirnya bengkak dan biru. Suara tangisanya bertambah kencang
saat darah segar keluar dari hidungnya.
Bunga terlibat perkelahian dengan temannya, karena dituduh
mencuri uang. Benar atau tidaknya kejadian itu, aku tidak tahu pasti karena
kejadiannya semalam, dan aku baru masuk paginya.
Aku mendekati Bunga sambil membersihkan darah dari
hidungnya. Matanya masih basah karena air matanya yang tak sanggup ditahan.
Dengan terisak dia menceritakan kepadaku dia tidak mecuri uang itu, hanya
mengambilnya sabagian dan akan mengembalikannya nanti.
“Bunga.., mengambil
sesuatu tampa sepengetahuan pemiliknya, itu disebut dengan mecuri. Meskipun
kita berniat untuk mengembalikannya”.
Aku mencoba menasehati Bunga. Mengerti atau tidak tentang
penjelasanku, Bunga hanya terdiam. Dia berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya itu. Lagi dan lagi dia bertanya kapan pamannya akan menjemput
dirinya?
Sungguh, bunga yang malang, jauh dari kasih sayang!
10 comments
Write commentsSedih kali cerita nya.. terbawa perasaan membaca cerita nya dan sungguh merefleksi kan diri..
ReplyBunga Semangat ya
Hmm malang sekali nasib Bunga. Semangaaat mbak arin yaa, semoga bunga bisa merasakan kasih sayang dr sosok mbak arin 😊 Aamiin... Tfs yaaak. Salam kenaal. .
ReplySedih banget aku membayangkan jadi mba bertemu sosok bunga pasti iba yang ada y mba :) semoga mba selalu sabar menghadapinya ^^
ReplyMemang sedih, begitulah segelintir kisah dari mereka yang berada di balik jeruji besi putih, dan masih banyak kisah lain yang cukup memilukan lagi! Semoga Allah selalu bersama mereka!
ReplyIya mabak, semoga saja! Hanya itu yang bisa saya lakukan! Salam kenal juga mbak Lucky!
ReplyIya mbak.,! Terima kasih doanya!
ReplySedih :'(
ReplyApakh dalam nyata juga ada kisah seperti ini mbak ...
Ya Allah
Iya., ini memang kisah nyata Mbak, pengalamanku saat praktik di RSJ Aceh.
ReplySemoga menjadi ladang pahala juga buat mba ya. Nggak mudah bisa hidup di lingkungan spt itu 😊
ReplyAMIN..,! Ini sudah tugas kami sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa mbak
Reply