Cara Memperingati Tahun Baru HIJRIAH yang Perlu Kamu Lakukan
Tidak
terasa sekarang kita kembali memasuki tahun baru 1 Muharram 1438 H, yang bertepatan
dengan tanggal 2 Oktober 2016. Beda halnya dengan tahun baru masehi, tahun baru
hijriah disikapi dengan hal-hal yang biasa saja. Bahkan menyedihkannya lagi, ada yang tidak mengetahui kapan permulaan tahun baru hijriah.
Padahal dengan mengetahui masuknya awal tahun, dapat dijadikian sebagai cara untuk mengevaluasi diri selama setahun belakang. Tahun
baru merupakan moment yang tepat digunakan untuk melihat pencapain diri.
Namun sebagian orang tidak terlalu peduli
terhadap pergantian tahun hijriah, bahkan ada yang tidak tahu kapan jatuhnya
tanggal 1 Muharram yang merupakan Tahun Baru Hijriah bagi umat muslim seluruh
dunia.
Terkadang
kita sebagai umat islam, keliru dalam memperingati pergantian tahun baru. Tahun
baru masehi yang jelas bukan berasal dari islam, lebih ditunggu kedatangannya
dibandingkan tahun baru kita sendiri. Kenyataannya sekarang, pada saat
menyabut tahun baru masehi semua orang sibuk dalam perayaan yang mengarah ke
hal-hal yang tidak dianjurkan Islam.
Budaya
luar telah masuk tanpa disadari oleh kalangan muda kaum muslim, seperti
menyalakan kembang api, membakar lilin, berlibur dalam rangka menyabut tahun
baru dan sengaja membuat hal-hal yang istimewa pada hari itu. Sungguh hal yang
sangat memprihatinkan kalau generasi muda Islam tidak tau budaya keislamannya
dan lebih bangga dan senang mengadopsi budaya lain.
Dalam
menyambut tahun baru Islam juga tidak dibenarkan merayakannya dengan pesta
kembang api, mengkuhsuskan dzikir jama’i, mengkhsuskan shalat tasbih, pengajian
tertentu, membuat pesta makan dan sebagainya. Karena sesungguhnya hal semacam
ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan juga para sahabatnya.
Orang-orang
yang memeriahkan tahun baru Hijriah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun
baru masehi yang dirayakan oleh kaum non
muslim dan tanpa disadri telah menyerupai mereka (orang kafir). Dalam sabda
Rasulullah saw; ”Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR.
Ahmad dan Abu Daud).
Hijrah/Move On
Menurut bahasa
hijrah/move on berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha
mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam.
(An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi
ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total
dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariat
Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas
penduduknya beragama Islam (http://www.eramuslim.com).
Hijrah dalam
konteks kehidupan sekarang yaitu menghijrahkan diri kepada perubahan
kearah yang lebih baik, dari kebodohan kepada ilmu pengetahuan, dari masabodoh
menuju kepedulian, dari kemalasan menuju giat dan penuh semangat, dari kikir
menjadi dermawan dan dari amalan yang masih kurang ke amalan yang lebih baik.Yang
intinya bagaimana menghijrahkan hati (syu’uriyah), ucapan (lisaniyah) dan
pebuatan (fi’liyah) dalam kehidupan saat ini.
Pada masa
Rasulullah saw, kaum muslimin hijrah dikarenakan prilaku kaum kafir Quraisy
yang kejam terhadap kaum muslilmin yang memeluk agama Islam. Mereka disiksa dan
dianiaya sehingga Rasulullah memutuskan untuk berhijrah ke Habsyi atau
Ethiopia. Ini merupakan Hijrah pertama kaum muslimin dengan alasan agama.
Setelah itu diikuti dengan hijrah-hijrah berikutnya juga untuk mendapatkan
keamanan dan keleluasan dalam memeluk agama Islam.
Akan tetapi di
kehidupan sekarang tidak perlu khawatir dalam menjalankan dan melaksanakan
ritual keagaman apalagi harus berpindah, karena setiap agama diberikan
kebebasan dalam melaksanakan ibadahnya. Apalagi kaum muslimin yang merupakan
penganut terbesar di dunia, dengan dilengkapi fasilitas ibadah dan keamanan
beribadah tentunya ketakwaan kita lebih dibandingkan kaum yang hidup pada masa
Rasulullah. Tapi justru kitalah yang lalai dengan hal-hal yang duniawi sehingga
lupa dengan bekal untuk kehidupan akhirat.
Hendaknya kita
perlu memaknai tahun baru kali ini dengan Hijrah ke hal-hal yang mendekatkan
diri kepada Allah swt. Tidak mesti harus pindah seperti yang di lakukan kaum
muslimin pada masa lalu, tapi yang di perlukan ialah melakukan amalan kebaikan
yang bisa membantu kita di akhirat kelak.
Intropeksi Diri
Menyambut
pergantian tahun hendaknya perlu bagi kita meninjau kembali apa yang telah
dilakukan dalam setahun belakangan dan memikirkan apa yang hendak dilakukan di
tahun ini. Dalam memaknai tahun baru, masa lalu dapat dijadikan bahan
renungan atau intropeksi diri, bukan meratapi kegagalan atau terlena dengan
pencapaian yang sudah diperoleh. Dengan melihat catatan yang di torehkan di
masa lalu, kita akan mengetahui di mana posisi kita saat ini, seberapa dekat
dengan tujuan hidup yang kita buat, dan apa saja yang telah dilakukan. Inilah
yang disebut dengan muhasabah diri.
Intropeksi diri sebelum memasuki tahun baru,
penting untuk di lakukan supaya dapat dijadikan pelajaran dan menjadi sebuah
pengalaman ketika melangkah atau mengambil sebuah keputusan. Setidaknya ada
tiga pertanyaan yang harus dijawab dalam melakukan intropeksi diri. Pertama,
apakah perbuatan yang diiginkan mampu dilakukan atau tidak. Kedua, apakah
perbuatan itu sesuai syariat. Ketiga, apakah perbuatan itu akan dilakukan
ikhlas karena Allah.
Jadi di
pergantian tahun baru kali ini merupakan hal yang tepat utuk melakukan
intropeksi diri. Karena hanya dengan intropeksilah hati akan terjaga dari
kelalaian, mulut terhindar dari mengucapkan keburukan dan perbuatan akan
terpelihara dari segala maksiat dan kemungkaran serta tujuan pun lebih terarah
dan mudah tercapai.