Malaikat Tak Bersayap

Selasa, Februari 24, 2015 0 Comments A+ a-

Suara itu datang setiap hari saat aku tak berdaya membuka kedua mataku. Aku terkulai lemas, badan ku terasa berat, kepalaku seperti di tususk-tusuk seribu jarum pintul. Perasaan ini berkurang saat suara itu mendekatiku dan mulai berkata kepadaku. Meskipun aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa mendengar jelas semua perkataannya.
“Selamat pagi mbak Fatin, bagaimana kabarnya hari ini? Semoga Allah akan selalu melindungi mbak. Seperti biasa saya akan menyeka tubuh mbak, supaya tetap bersih dan segar, nanti saya akan minta bantu ibu untuk mengganti pakaian mbak”.
Dia terus berbicara kepadaku tanpa harus menunggu jawaban dariku. Setiap hari suara itu datang kepadaku dan berbicara kepadaku. Dia membersihkan tubuhku, mengganti pakaianku, menyisir rambutku dan mengubah posisiku setiap dua jam sekali. Setiap kali beliau akan melakukan tindakan, dia meminta izin dan mengatakan apa yang akan dilakukannya.
Aku terbaring di sebuah ranjang dalam ruangan dan ditemani alat-alat yang tidak ku ketahui apa fungsinya itu. Alat-alat tersebut tersambung dan dilekatkan ke tubuhku. Terkadang aku merasa takut di ruangan itu, aku memang tidak bisa melihat apa saja yang terdapat di ruangan tersebut, tapi aku bisa merasakannya terutama saat sesuatu dimasukkan ke dalam tubuhku. Aku tidak mengetahui apa itu, rasanya seperti air yang mengalir ke aliran darahku. Perih, benar-benar perih rasanya, tapi aku tidak bisa berteriak dan mengatakan itu perih. Hanya sebuah kata yang aku dengar, “mohon maaf mbak, ini obatnya memang perih, obat ini berfungsi untuk mencegah terjadinya infeksi”. Dia pun mengelus-elus tanganku.
Suara itu membuatku nyaman, karena kadang dia memberi semangat kepadaku, membacakan aku ayat suci dan selalu menganggap aku seorang yang masih hidup walaupun tubuhku terbujur kaku tak bergerak. Hidupku sangat bergantung dengan alat-alat itu, seperti sebuah robat yang dipenuhi kabel-kabel. Dalam hati kecilku terbesit sebuah keputusasaan, namun kembali bersemangat disaat kedatangannya. Suara itu seolah mepertahankan hidupku, dan menunjukkan bahwa aku layak untuk dipertahankan dan diperlakukan sebagai seorang individu yang mempunyai kebutuhan untuk hidup. Ibarat seorang malaikat yang membantu semua umat, suara itu yang membantu memenuhi setiap kebutuhanku. Aku tidak mengetahui suara siapa itu, yang aku tahu dia begitu baik kepadaku.
Selama 20 hari aku tidak sadarkan diri dan selama itu pula suara itulah yang menemani dan membantuku. Saat aku membuka mata seorang gadis muda berpakaian putih berada di hadapanku. Wajahnya begitu lembut, sesuai dengan baju yang dikenakannya. Disampingnya ada ibu dan suamiku. Aku hanya bisa diam menatap mereka, kondisiku masih begitu lemah tapi aku sudah sadar dari koma.
Aku didignosa terkena penyakit meningitis, yaitu peradangan di selaput meningen (selaput otak). Penyakit itulah yang membuatku tidak sadarkan diri hingga koma selama 20 hari. Ruangan yang selama ini ku tempati ialah ruangan orang-orang yang kritis sepertiku. Mereka menyebutnya Intensive Care Unit (ICU). Setelah sadar aku di pindahkan di sebuah ruang rawat inap yang terdapat beberapa orang pasien lainya. Ruangnnya berbeda dengan ruangan sebelumnya. Disini aku boleh ditemani oleh ibu dan suamiku, alat-alat yang terpasang ditubuhku pun juga tidak sebanyak ruangan sebelumnya. Hanya selang oksigen, dan infus yang digunakan disini. Katanya aku tidak perlu lagi dipantau seintensif ruangan ICU. Akan tetapi, aku sangat merindukan suara yang menemaniku selama aku koma. Dia begitu ikhlas membantuku. Sampai sekarang aku tidak mengetahui suara siapa itu, perasaanku mengatakan wajah yang ku lihat pertama kali saat aku tersadar dari komaku adalah orang yang biasa merawatku. Aku pun tidak sempat mengucapkan terimakasih kepadanya. Tapi aku yakin, beliau tidak pernah mengaharapkan balas kasih ataupun ucapan terimakasih dariku. Dialah malaikat tak bersayap yang membantu orang-orang yang sedang kritis sepertiku.
Yell Saints