“Nurse” Malaikat Atau Nek Lampir?
Hari ini tanggal 12 Mei merupakan Internasional Nurse Day (IND) atau kalau di indonesiakan Hari Perawat Sedunia. Hari ini juga merupakan hari pertamaku melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapan Perawat Dalam Pemberian Kemoterapi di salah satu rumah sakit yang terkenal di Aceh. Sejak pagi aku telah merencanakan jadwal untuk membagikan kuestioner kepada para perawat yang bekerja sebagai pemberi kemoterapi. List nama-nama perawat yang bertugas di ruangan tersebut sudah ada padaku, tinggal menargetkan siapa-siapa yang dapat shift pagi supaya aku bisa memberikan kuestioner langsung kepadanya.
Aku mencoba untuk memotivasi diri dengan menamkan semangat IND berharap perawat yang menjadi respondenku mau berbaik hati menjawab kuestioner yang telah beberapa kali direvisi oleh dosen pembimbing dan pengujiku. Apa yang temukan rupanya tidak seindah yang ku kubayangkan dan ku rencanakan. Butuh mental baja dan muka tembok untuk bisa berhadapan dengan para perawat. Aku mengerti beban kerja mereka cukup tinggi, bahkan untuk senyumpun mereka susah, entah karena emang lagi ada masalah, stres pekerjaan atau lagi sariawan? Hehehe.., Sepertinya opsi ke tiga bukan alasan yang tepat.
Saat aku bertemu dengan perawat dan mengutarakan maksud dan tujuanku, keluarlah ekpresi yang kurang menyenangkan dari mereka. Mungkin karena aku menambah beban kerja mereka dengan beberapa pertanyaan kuestionerku. Uh.., sorry bu perawat dan bapak perawat, aku butuh kalian untuk menyelesaikan skripsiku. Sebenarnya aku ingin menunggu mereka mengisi kuestionerku, tapi,.., ya apa boleh buat terpaksa aku meninggalkannya dikarenakan sanking sibuknya mereka. Meskipun sebelumnya ada sedikit perdebatan dengan mereka karena aku takut mereka tidak mengisinya sendiri melaikan kerja kelompok atau menyontek. Untuk urusan lain boleh.., tapi yang ini., pliss.., saya minta kejujurannya ya!
“dek, biasanya kalau orang yang lakuin penelitian disini, kustionernya di tinggalin
disini, nanti kami jawab sama-sama”
“lho.., bu saya nggak membutuhkan jawaban yang sama, tapi saya butuh jawaban ibu
sejujur-jujurnya dan apa adanya untuk keakuratan penelitian ini.
Rupanya perkataan saya itu memancing emosi mereka, “siapa kamu, menyuruh-nyuruh
saya, banyak tu tugas yang harus kami kerjakan, kamu nggak bisa memaksa kami kek
gitu.
Saya kan cuman ingatin supaya isinya jangan sama-sama, koq udah salah paham gine ya..,? akhirnya aku mendapat semprotan kata-kata yang tidak enak di dengar oleh telinga. Sabar ajalah.., demi mendapatkan data.
Aku pun meuju ke reuangan berikutnya, rupanya tak jauh beda dengan perawat di ruangan pertama. Susah kali senyum, padahal di kuliah aku diajari untuk selalu senyum pada saat berjumpa dengan orang, tapi mana ya senyum para perawat ini? Apa udah digantikan dengan kelelahan mereka? Aku pun memakai jurus senyum untuk memancing senyum mereka, tapi pancinganku meleset, dan digantikan dengan kata-kata yang sedikit agak keras menurutku. Setelah berbasa-basi akupun mulai ke topik pembahasan, yaitu ingin memberikan keustioner, sekali lagi ekspresi mereka berubah, persis seperti yang ku temukan di ruang pertama. Setelah beberapa kali menjawab patah demi patah kata dengan mereka, akhirnya aku memutuskan untuk menunggu ketua ruangan yang sedang berada di luar. Kata-katanya tak perlulah aku ucapkan.., cukuplah dua orang saksi yang mendengarkan ocehan tersebut. Mental bajaku sepertinya sudah mulai tumbuh, karena aku tidak merasa sakit hati sama sekali. Mungkin ini dikarenakan aku selalu menyuplai otakku dengan pikiran positif terhadap mereka. Akupun menunggu di ruang tunggu ruangan tersebut.
Hingga akhirnya aku bertemu salah seorang penderita kanker payudara stadium 3. Banyak hal yang beliau ceritakan kepada saya, samapailah ke arah pembicaraan tentang presepsi seorang perawat.
“ dek, giman ya prosedur kemo disini? Saya baru pertama kemo disini, jadi banyak
yang nggak tau”.
“Kenapa nggak ibu tanya kepada perawat yang ada disitu aja?”
“Aduh dek.., saya takut dengan perawat disini, perawatnya agak galak”
“emang anjing apa galak? Kataku dalam hati, akupun menjelaskan tentang prosedur
kemo sesuai yang aku tau.
Kemudian ibu tersebut mengeluhkan tentang pelayanan yang didapatkanya di RS ini kurang menyenangkan. Berbeda dengan salah satu RS di Jakarta yang sebelumnya pernah beliau kunjungi. Beliau begitu kaget dengan perbedaan sikap perawat yang ada di RS Jakarta yang beliau maksud dengan RS di Aceh. Perawat disana ramah-ramah dan selalu senyum saat akan melakukan tindakan. Mereka bagai malaikat bagi para pasiennya, tapi jika dibandingkan dengan perawat disini seperti nenek lampir yang bertemu musuhnya.
Aku mencoba mengungkit tentang presepsi seorang perawat dimatanya, rupanya dia memiliki kisah yang kurang menyenangkan dengan seorang perawat. Dengan kondisi dia sekarang, sebenarnya dia butuh support dari para perawat, tapi perawat tersebut menjust ibu tersebut dengang menyalahkan pola makan ibu tersebut yang tidak benar. Ibu tersebut sempat stres dengan keadaan tersebut, tapi untunglah kondisi spiritualnya lumayan bagus sehingga dia tidak terpancing emosi dengan perkataan perawat tersebut.
Lagi asyik-asyiknya kami berbincang, tiba-tiba seorang perawat memanggil nama ibu tersebut, dengan segera beliau bergegas untuk menemui ssumber suara. Sayapun mengobsrevasi bagaimana komunikasi antara kedua orang tersebut.
Perawat : siapa yang sakit bu? (dengan nada suara agak keras)
Pasien; saya bu yang akan kamu kemoterapi.
Perawat; kamu? (dengan wajah sedikit dikerutkan tanpa ada senyuman)
Saya tidak dapat mendengar jelas perbincangan mereka karena saya duduk sekitar 10 m dari tempat mereka bicara. Satelah percakapan itu ibu tersebut kembali duduk di samping saya, wajahnya terlihat pucat dan cemas seprti baru saja ketemu dengan nek lampir.
“saya cemas dek, mana ya hp.., saya telpon suami dulu”
“ kenapa bu? Kok bisa kekgitu?
“ saya takut dengan perawatnya..,
“lho.., kok bisa kekgitu ya..,?
“mungkin karena perawatnya agak galak dan susah sanyum kali”.
Sungguh fenomena yang aneh bagi saya, banyak pasien yang takut karena perawatnya yang judes dan susah senyum. Entah karena apa senyum mereka mahal sekali, padahal itukan hal yang kecil tapi koq sulit ya bagi mereka? Tidak seperti cerita-cerita beberapa dosenku yang pernah berobat di Penang ataupun di Singapura, perawatnya sungguh ramah-ramah dan menyenangkan. Sehingga melihat perawatnya saja sudah menjadi sebuah obat bagi pasiennya, perawat bagaikan malaikat yang selalu diinginkan kedatangannya. Lah.., kalau disini, malah pasiennya yang takut dengan perawat, bahkan untuk sekedar bertanyapun agak segan, lain lagi dengan nada dan suara yang ditinggikan membuat para pasien bertambah takut.
Untuk para perawat masa depan, terapkanlah ilmu komunikasi terapuetik yang didapat dari selama masa perkuliahan, bukan hanya sekedar singgah di oatak dan setelah itu berlalu tanpa pengaplikasiannya. Buatlah dirimu menjadi seorang malaikat untuk pasien-pasienmu bukan menjadi nek lampir yang menakuti mereka. Maju terus perawat Indonesia., tunjukkan bahwa kita ada dan kita bisa menjadi malaikat bagi orang-orang yang membutuhkan kita.
Aku mencoba untuk memotivasi diri dengan menamkan semangat IND berharap perawat yang menjadi respondenku mau berbaik hati menjawab kuestioner yang telah beberapa kali direvisi oleh dosen pembimbing dan pengujiku. Apa yang temukan rupanya tidak seindah yang ku kubayangkan dan ku rencanakan. Butuh mental baja dan muka tembok untuk bisa berhadapan dengan para perawat. Aku mengerti beban kerja mereka cukup tinggi, bahkan untuk senyumpun mereka susah, entah karena emang lagi ada masalah, stres pekerjaan atau lagi sariawan? Hehehe.., Sepertinya opsi ke tiga bukan alasan yang tepat.
Saat aku bertemu dengan perawat dan mengutarakan maksud dan tujuanku, keluarlah ekpresi yang kurang menyenangkan dari mereka. Mungkin karena aku menambah beban kerja mereka dengan beberapa pertanyaan kuestionerku. Uh.., sorry bu perawat dan bapak perawat, aku butuh kalian untuk menyelesaikan skripsiku. Sebenarnya aku ingin menunggu mereka mengisi kuestionerku, tapi,.., ya apa boleh buat terpaksa aku meninggalkannya dikarenakan sanking sibuknya mereka. Meskipun sebelumnya ada sedikit perdebatan dengan mereka karena aku takut mereka tidak mengisinya sendiri melaikan kerja kelompok atau menyontek. Untuk urusan lain boleh.., tapi yang ini., pliss.., saya minta kejujurannya ya!
“dek, biasanya kalau orang yang lakuin penelitian disini, kustionernya di tinggalin
disini, nanti kami jawab sama-sama”
“lho.., bu saya nggak membutuhkan jawaban yang sama, tapi saya butuh jawaban ibu
sejujur-jujurnya dan apa adanya untuk keakuratan penelitian ini.
Rupanya perkataan saya itu memancing emosi mereka, “siapa kamu, menyuruh-nyuruh
saya, banyak tu tugas yang harus kami kerjakan, kamu nggak bisa memaksa kami kek
gitu.
Saya kan cuman ingatin supaya isinya jangan sama-sama, koq udah salah paham gine ya..,? akhirnya aku mendapat semprotan kata-kata yang tidak enak di dengar oleh telinga. Sabar ajalah.., demi mendapatkan data.
Aku pun meuju ke reuangan berikutnya, rupanya tak jauh beda dengan perawat di ruangan pertama. Susah kali senyum, padahal di kuliah aku diajari untuk selalu senyum pada saat berjumpa dengan orang, tapi mana ya senyum para perawat ini? Apa udah digantikan dengan kelelahan mereka? Aku pun memakai jurus senyum untuk memancing senyum mereka, tapi pancinganku meleset, dan digantikan dengan kata-kata yang sedikit agak keras menurutku. Setelah berbasa-basi akupun mulai ke topik pembahasan, yaitu ingin memberikan keustioner, sekali lagi ekspresi mereka berubah, persis seperti yang ku temukan di ruang pertama. Setelah beberapa kali menjawab patah demi patah kata dengan mereka, akhirnya aku memutuskan untuk menunggu ketua ruangan yang sedang berada di luar. Kata-katanya tak perlulah aku ucapkan.., cukuplah dua orang saksi yang mendengarkan ocehan tersebut. Mental bajaku sepertinya sudah mulai tumbuh, karena aku tidak merasa sakit hati sama sekali. Mungkin ini dikarenakan aku selalu menyuplai otakku dengan pikiran positif terhadap mereka. Akupun menunggu di ruang tunggu ruangan tersebut.
Hingga akhirnya aku bertemu salah seorang penderita kanker payudara stadium 3. Banyak hal yang beliau ceritakan kepada saya, samapailah ke arah pembicaraan tentang presepsi seorang perawat.
“ dek, giman ya prosedur kemo disini? Saya baru pertama kemo disini, jadi banyak
yang nggak tau”.
“Kenapa nggak ibu tanya kepada perawat yang ada disitu aja?”
“Aduh dek.., saya takut dengan perawat disini, perawatnya agak galak”
“emang anjing apa galak? Kataku dalam hati, akupun menjelaskan tentang prosedur
kemo sesuai yang aku tau.
Kemudian ibu tersebut mengeluhkan tentang pelayanan yang didapatkanya di RS ini kurang menyenangkan. Berbeda dengan salah satu RS di Jakarta yang sebelumnya pernah beliau kunjungi. Beliau begitu kaget dengan perbedaan sikap perawat yang ada di RS Jakarta yang beliau maksud dengan RS di Aceh. Perawat disana ramah-ramah dan selalu senyum saat akan melakukan tindakan. Mereka bagai malaikat bagi para pasiennya, tapi jika dibandingkan dengan perawat disini seperti nenek lampir yang bertemu musuhnya.
Aku mencoba mengungkit tentang presepsi seorang perawat dimatanya, rupanya dia memiliki kisah yang kurang menyenangkan dengan seorang perawat. Dengan kondisi dia sekarang, sebenarnya dia butuh support dari para perawat, tapi perawat tersebut menjust ibu tersebut dengang menyalahkan pola makan ibu tersebut yang tidak benar. Ibu tersebut sempat stres dengan keadaan tersebut, tapi untunglah kondisi spiritualnya lumayan bagus sehingga dia tidak terpancing emosi dengan perkataan perawat tersebut.
Lagi asyik-asyiknya kami berbincang, tiba-tiba seorang perawat memanggil nama ibu tersebut, dengan segera beliau bergegas untuk menemui ssumber suara. Sayapun mengobsrevasi bagaimana komunikasi antara kedua orang tersebut.
Perawat : siapa yang sakit bu? (dengan nada suara agak keras)
Pasien; saya bu yang akan kamu kemoterapi.
Perawat; kamu? (dengan wajah sedikit dikerutkan tanpa ada senyuman)
Saya tidak dapat mendengar jelas perbincangan mereka karena saya duduk sekitar 10 m dari tempat mereka bicara. Satelah percakapan itu ibu tersebut kembali duduk di samping saya, wajahnya terlihat pucat dan cemas seprti baru saja ketemu dengan nek lampir.
“saya cemas dek, mana ya hp.., saya telpon suami dulu”
“ kenapa bu? Kok bisa kekgitu?
“ saya takut dengan perawatnya..,
“lho.., kok bisa kekgitu ya..,?
“mungkin karena perawatnya agak galak dan susah sanyum kali”.
Sungguh fenomena yang aneh bagi saya, banyak pasien yang takut karena perawatnya yang judes dan susah senyum. Entah karena apa senyum mereka mahal sekali, padahal itukan hal yang kecil tapi koq sulit ya bagi mereka? Tidak seperti cerita-cerita beberapa dosenku yang pernah berobat di Penang ataupun di Singapura, perawatnya sungguh ramah-ramah dan menyenangkan. Sehingga melihat perawatnya saja sudah menjadi sebuah obat bagi pasiennya, perawat bagaikan malaikat yang selalu diinginkan kedatangannya. Lah.., kalau disini, malah pasiennya yang takut dengan perawat, bahkan untuk sekedar bertanyapun agak segan, lain lagi dengan nada dan suara yang ditinggikan membuat para pasien bertambah takut.
Untuk para perawat masa depan, terapkanlah ilmu komunikasi terapuetik yang didapat dari selama masa perkuliahan, bukan hanya sekedar singgah di oatak dan setelah itu berlalu tanpa pengaplikasiannya. Buatlah dirimu menjadi seorang malaikat untuk pasien-pasienmu bukan menjadi nek lampir yang menakuti mereka. Maju terus perawat Indonesia., tunjukkan bahwa kita ada dan kita bisa menjadi malaikat bagi orang-orang yang membutuhkan kita.