Keluarga Griya Schizofren Aceh

Minggu, Juni 14, 2015 0 Comments A+ a-



Oleh Yell Saints
"GS Aceh ; Bekerja Karena Hati, Bukan Karena Gaji"
Kunjungan ke dua Griya Schizofren Aceh
Masih terlalu singkat disebut sebuah keluarga, kalau kebersamaan baru dilalui selama dua bulan. Waktu 2 bulan tersebut cukup bagiku ketika menemukan orang-orang se-visi dan se-ide dengan kita. Seiring berjalannya waktu kebersamaan terpupuk di dalam sebuah keluarga yang menamai diri mereka sebagai Griya Schizofren (GS) Aceh.
Aku tidak menyangka hanya dalam waktu dua bulan, bisa membuat berbagai kegiatan kecil dan besar tanpa didanai oleh sponsor atau instansi mana pun. Kalaulah sebelumnya tertanam mindset bahwa kalau tidak ada uang, maka kegiatan tidak akan jalan. Namun teori tersebut terbantahkan oleh semangat para pemuda. Begitu juga perencanaan dalam sebuah kegiatan, kalaulah tidak ada sistematis atau prosedur yang terinci, kegiatan juga tidak jalan. Sekali lagi berkat semangat dan jiwa sosial yang tinggi, para pemuda ini mampu membuktikan mereka bisa melakukannya. Bangsa ini merdeka karena semangat juang pemuda, atas dasar inilah kami bertindak untuk mealkukannya.
Awalnya aku tidak mengetahui bagaimana konsep dari komunitas ini dan kemana arahnya. Dua orang yang ku sebut founder GS Aceh, ku ajak datang berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Mungkin karena mereka merasa tidak enak menolak ajakan ku itu, mereka ikut bersamaku. Tapi aku tau, mereka sebenarnya merasa takut dan was-was terhadap orang-orang yang berada di dalam sana. Sampai-sampai salah satu teman ku itu, searching di Google tentang hal-hal yang harus diperhatikan saat berkunjung ke RSJ.
Aku cukup salut dengan usahanya, karena itu juga penting untuk menjaga diri dari sesuatu yang sebenarnya asing baginya. Namun sayang, mesin pencarinya tidak menemukan keyword yang dimasukkan. Kemudian akupun menjelaskan kepada mereka tentag hal-hal yang harus diperhatikan saat mereka nanti bertemu dengan pasien jiwa.
Pada mulanya mereka mempresepsikan bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), menakutkan, memukul dan bahkan tidak bisa diajak bicara. Pemikiran tersebut seketika terbantahkan saat mereka bertemu langsung dengan pasien jiwanya. Dua orang yang aku ajak saat itu, menceritakan pengalamannya ke teman-teman, hingga pada kunjungan ke dua lebih banyak yang ikut ke RSJ, lantaran penasaran.
Kegiatan yang dilakukan awalnya hanya perkenalan, main games, bernyanyi dan sebagainya. Ternyata kegiatan itu membuat mereka senang, bukan hanya pasien jiwanya tapi juga teman-teman yang diajak saat berkunjung. Terbesik lah ide untuk membuat kegiatan rutin untuk memperkuat komunitas ini. Karena kita tau banyak komunitas di luar sana yang memberikan perhatian kepada satu kalangan sperti, pemerhatai anak, peendidikan, orang miskin, perempuan dan sebagainya. Tidak ada yang peduli terhadap mereka yang ada di balik jeruji besi tua di RSJ sana. Oleh karena itulah, kami merasa perlu adanya komunitas yang memperhatikan mereka, sehingga lima orang pemuda merumuskan konsep kegiatan GS Aceh ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami mencari anggota lain untuk membantu kegiatan ini. Selain itu kamipun mencari dukungan dari berbagai pihak untuk mempertahankan komunitas ini. Kemana-kemana topik pembicaraannya tidak lepas dari ODGJ. Sehingga ada yang menamai kami komunitas pencinta orang gila. Bagi saya tidak masalah, anjing menggonggong kafilah berlalu, anggap saja begitu.
Kegiatan kami mulai dipertanyakan dikalangan pihak bekerja di RSJ. Wajarlah setiap kedatangan kami selalu bikin heboh dan ditanyakan pasien karena kegiatan yang kami buat menarik. Sedangkan kami tidak mempunyai surat izin kegiatan, bagiku saat semangat itu muncul lakukan saja sesuai apa yang diperintahkan otak kanan. Tidak seribet otak kiri yang serba sistematis.
Akan tetapi, pihak rumah sakit mana mau dia seperti itu. Yang instansi pemerintahan harus ada surat menyurat atau perizinan. Urusannya itu ribet banget, mulai dari mempersiapkan surat, menunggu panggilan, audiensi dan bla bla bla., ini itu harus dipersiapkan. Padahal kami sudah jalan selama lima minggu dan harus ditunda dulu kegiatan selama dua minggu untuk mengurus perizinan. Baik sih tujuannya untuk mengantispasi keadaan yang tidak memungkinkan. Tapi, terkadang menghabiskan banyak waktu, ya., begitulah kalau terlibat dengan orang-orang tua.
Semnagat para anggota GS Aceh sudah mulai terbentuk. Mereka bersama-sama mendoakan perizinannya cepat selesai dan bisa melakukan kegiatan lagi. Ternyata di ruangan tempat kami melakukan kegiatan, kedatangan kami selalu diharpkan. Senang rasanya saat pergi ke RSJ, disambut oleh mereka. Namun saat aku mengatakan kegiatan kami dihentikan selama beberapa saat, karena perizinan yang belum selesai, ada sedikit kesedihan tampak di raut di wajah mereka. Namun yang salautnya aku, mereka ikut mendoakan perizinannya dimudahkan dan kami bisa kembali lagi melakukan kegiatan.
Tepat tanggal 31 Mei 2015, kami melakukan hari kreativitas di RSJ. Dengan mengangkat tema “Menghias Kaligrafi dari Pasir”. Hasil karya mereka luar biasa menabjubkan, dan kami akan memamerkan saat acara seminar kesehatan jiwa di tanggal 10 Juni mendatang. Persiapan selama seminar hanya berlangsung selama satu minggu. Semua bahu membahu membantu menyukseskan acara ini. Padahal tidak ada satupun yang mensponsori kegiatan seminar ini.
Pernah kami meminta propsal ke dinas sosial, tapi apa yang kami terima..? hanya kata-kata yang membuat kami kesal. “Masak biaya pulsa saja dimasukkan ke proposal? Berkorban sedikitlah, kalian kan pekerja sosial, masak nggak mau mengeluarkan duitnya?” kesal sih, saat beliau mengatakan seperti itu, tapi ya mau gimana lagi. Seorang temanku mengatakan begini pak “Bapak kan kerja di dinas sosial? Kenapa harus digaji, bukankah ini kerjaan sosia?” begitulah kira-kira. Akhirrnya kami pulang dengan tangan kosong, kedepan nanti kami tidak akan meminta lagi dan membuktikan baha pemuda itu bisa.
Akhirnya kami membuat kegiatan seminar dari uang belanja yang kami sisihkan dari pemberian orang tua. Mayoritas anggota GS Aceh adalah mahasiswa, tentu keuangan mereka ditanggung oleh orang tua. Di Sinilah aku melihat jiwa-jiwa sosial tertanam di diri para pemuda ini. Tanpa harus diminta, mereka mau sendiri mengajukan diri untuk menanggung ini dan itu, hingga terlaksanalah kegiatan ini. Padahal kalau dipikir-pikir, untuk apa semua ini, waktu habis, tenaga terkuras, pikiran capek apa lagi saat itu musim final. Namun sekali lagi berkat jiwa kemanusiaan dan sosial mereka semua terlewati dengan sukses.
Di saat kegiatan seminar berlangsung para penitiapun juga berganti-gantian untuk mengurus acara, karena lantaran harus beradu dengan final. Alhamdulillah semua itu bisa terlaksankan dengan baik. Bahkan kami membuat kegiatan ini tanpa dipungut biaya bagi peserta, dan yang awalnya tidak ada makanan tapi saat hari-H tersedia makanan ala kadarnya di atas meja peserta. Bayangkan coba, darimana semua itu? 
Panitia Seminar Kesehatan Jiwa "Bersahabat dengan ODGJ"
Itulah semangat para relawan muda yang mau berkorban untuk orang-orang yang tidak diperhatikan banyak orang. Kami juga berhasil membawa dua orang pasien binaan GS Aceh, ke acara seminar dan menjadi pembicara/narasumber saat seminar. Begitu juga yang membacakan ayat suci Al-uran dari pasien binaan GS Aceh. Sungguh luar biasa prestasi yang dicapai selam dua bulan ini. Waktu dau bulan telah membuat para anggota GS Aceh menjadi sebuah keluarga. Selamat bagi angkatan pertama GS Aceh, kalian sungguh luar biasa. Sampai ketemu di angkatan kedua.