Tantangan Unsyiah Menghadapi Keseragaman Pendidikan Aceh
Ilustrasi Unsyiah dan Pendidikan Aceh |
Sebelum saya mengulas lebih lanjut mengenai tulisan ini, saya ingin bertanya kepada Anda semua. Apa tujuan akhir dari sebuah pendidikan yang kita jalani selama kurang lebih 14 tahun, sebelum akhirnya masuk ke perguruan tinggi?
Bagi yang beruntung setelah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat bisa melanjutkan kuliah ke universitas. Namun, bagaimana nasib mereka yang pendidikannya sebatas SMA? Bisakah mereka bertahan hidup dan mendapatkan pekerjaan yang layak?
Padahal sejak dari Taman Kanak-kanak (TK) mereka dididik selama dua tahun, Sekolah Dasar (SD)/sederajat enam tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat tiga tahun, dan SMA/sederajat tiga tahun. Bila ditotalkan sekitar 14 tahun mereka dididik di sekolah. Harusnya mereka bisa bekerja dan berpenghasilan untuk menghidupi kebutuhannya. Namun, kenyataannya banyak yang menjadi pengangguran.
Lantas bisakah lulusan universitas mengatasi masalah tersebut dengan membuka lapangan pekerjaan bagi mereka tamatan SMA? Ternyata sama saja, angka pengangguran terus meningkat karena ditambah oleh pengangguran terdidik dari lulusan universitas. Jadi, apa yang salah dari pendidikan kita di Aceh?
Wisuda Ners Fakultas Keperawatan Unsyiah Tahun 2017 |
Pengangguran di Aceh
Meskipun Pemerintah Aceh sudah menganggarkan begitu banyak biaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Aceh, tapi belumlah bisa mengatasi angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh.
Hasil kajian Institute for Development of Acehnese Society (IdeAS) berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) RI, Aceh menduduki tingkat pertama pengangguran tertinggi di Sumatera. Rekapan pada periode Februari 2017 tersebut menunjukkan jumlah pengangguran di Aceh mencapai 7,39% atau 172 ribu orang. Sedangkan jumlah kemiskinan pada periode September 2016 mencapai 16,43%.
Sumber; Beritakini.co |
Angka pengangguran tersebut menurun pada periode Februari 2018 mencapai 154 ribu orang. Namun, angka tersebut masih tergolong tinggi mengingat program Pemerintah Aceh untuk pendidikan menjadi prioritas ke-3 yaitu Aceh Carong setelah Aceh Seujahtera (JKA Plus) dan Aceh SIAT.
Pendidikan Aceh yang Diseragamkan
Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh tentunya sangat berhubungan erat dengan partisipasi sekolah masyarakat.
Berdasarkan Buku Data Statistik Terpilih Gender dan Anak Aceh Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2015 dan 2016 angka partisipasi sekolah pada kelompok umur 16-18 tahun mencapai lebih dari 80%. Sedangkan untuk kelompok umur 7-12 tahun hampir mencapai 100%.
Sumber; Buku Data Statistik Terpilih Gender dan Anak Aceh Tahun 2017 |
Sumber; Buku Data Statistik Terpilih Gender dan Anak Aceh Tahun 2017 |
Dari angka tersebut bisa kita lihat bahwa anak-anak Aceh sudah mendapatkan pendidikan di sekolah. Lantas kenapa bertahun-tahun dididik di sekolah masih ribuan orang yang menganggur? Padahal sumber daya alam di Aceh ini sangat melimpah, dengan luas wilayah 58.377 km2 tentulah banyak hal yang bisa dimanfaatkan dan diolah dari alam dan non alam.
Inilah yang menjadi masalah kita saat ini karena pendidikan Aceh yang ditempuh melalui jalan sekolah masih diseragamkan. Sejak Indonesia merdeka 73 tahun yang lalu pendidikan sekolah di Indonesia tunduk kepada Pendidikan Nasional.
Padahal sudah jelas Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai bahasa, budaya, kebiasaan, kearifan lokal, dan cara pemanfaatan sumber daya alam yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Kebutuhan pendidikan Aceh pun sangat jauh berbeda dengan Jakarta, Papua, dan daerah lainnya.
Di sekolah kita diajarkan berbagai mata pelajaran yang jauh dari kebutuhan di lapangan. Misalnya semua anak diharuskan menguasai mata pelajaran Metematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia karena mata pelajaran tersebut yang nantinya akan diujian nasionalkan.
Ilustrasi Ujian Naional |
Sedangkan pelajaran keterampilan seperti bercocok tanam, membuat kue, menjahit, dan keterampilan lainnya sedikit sekali waktu yang diberikan. Bahkan pelajaran tersebut hanya perlajaran selingan yang disebut sebagai muatan lokal. Padahal saat di masyarakat tidak banyak rumus-rumus kimia, fisika, dan metematika yang digunakan. Meskipun ada, hanyala sekadar hitungan dasar yang tidak begitu rumit.
Pendidikan sekolah juga menyeragamkan semua anak harus mengusai semua pelajaran. Padahal setiap anak mempunyai potensi mereka masing-mesing dan bintang bagi dirinya sendiri. Sehingga sekolah pun mengotak-ngotakan anak dalam peringkat. Sekolahlah yang melebelkan anak pintar, bodoh, dan nakal karena penyeragaman pendidikan ini. Bisa jadi anak yang dianggap bodoh dalam pelajaran metematika mempunya bakat seni yang dapat menghasilkan karya luar biasa. Atau anak yang dianggap nakal sebenarnya mempunyai potensi dalam kewirausahaan.
Sayangnya pendidikan di Aceh terlalu kaku melihat potensi anak hanya sebatas mengausai mata pelajar yang sebenarnya tidak begitu berperan besar dalam masyarakat. Akibatnya tamatan SMA belum bisa berpenghasilan yang akhirnya menjadi pengangguran.
Bagi anak yang orang tuanya mampu secara finansial, maka universitaslah tempat berikutnya. Sedangkan bagi anak yang pintar secara akdemisi, beasiswa pun pilihan terbaik untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Lantas bagaimana anak-anak yang orang tuanya tidak mampu secara finansial dan akedemis? Inilah yang menjadi permasalahan kita karena tamatan SMA minim keterampilan yang membuat mereka bisa bekerja dan menghasilkan.
Permasalahan lain muncul bagi calon mahasiswa yang melanjutkan pendidikan ke universitas. Banyak yang bingung memilih jurusan karena kurang pahamnya mereka terhadap kemampuan diri sehingga memilih jurusan asal-asalan. Walau tidak semua calon mahasiswa seperti itu.
Sejauh ini universitas masih menyeragamkan tes masuk perguruan tinggi dengan menguji mata pelajaran yang sama. Akibatnya banyak orang yang ingin menuju satu jurusan, tapi terkendala saat menjawab soal yang diujiankan mengakibatkan mereka tidak lulus di universitas.
Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng sedang memantau pelaksanaan ujian tulis masuk perguruan tinggi Sumber; http://www.fkep.unsyiah.ac.id/berita/peserta-umb-di-unsyiah-sebanyak-3783-orang |
Ini sama saja seperti cerita sekawanan binatang yang terdiri atas harimau, gajah, monyet, kambing, dan kerbau yang sama-sama disuruh memanjat pohon. Tentu hasilnya tidak bisa disamakan karena masing-asing mereka mempunyai kemampuan berbeda. Begitu halnya universitas yang melakukan seleksi mashasiswa dengan menguji mata pelajaran yang sama walau di jurusan yang berbeda.
Saat memasuki Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) tahun 2010 lalu, teman saya mempunyai kemampuan bermain badminton yang luar biasa. Dia berkeinginan untuk masuk di jurusan olah raga, tapi dia lemah dalam bidang hitung menghitung sehingga nilai tes potensi akedemiknya tidak mencukupi. Akhirnya dia pun tidak lulus di Unsyiah.
Supaya tetap kuliah, dia pun mengambil jurusan pendidikan guru sekolah dasar di Universiatas Teuku Umar (UTU) Meulaboh. Namun, sayangnya kemampuan bermain badmintonnya tidak pernah terasah lagi hingga keinginannya menjadi atlet badminton terlupakan begitu saja.
Tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang kuliah di universitas mengalami nasib yang sama seperti teman saya. Bahkan saya pun juga terjebak di jurusan yang tidak saya inginkan di Unsyiah.
Saya dinyatakan lulus di Fakultas Kedokteran, Jurusan Keperawatan Unsyiah tahun 2010. Ini adalah pilihan pertama saya dan pilihan kedua adalah Jurusan Fisika di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Padahal saya menginginkan jurusan kedua, tapi karena great Fakultas Kedokteran lebih tinggi, maka saya meletakkan pilihan itu yang pertama. Ini juga atas saran senior yang sudah lulus di Unsyiah karena kebanyakan pilihan yang kedua diluluskan. Ternyata saat pengumuman saya lulus di pilihan pertama yang membuat saya harus menyelesaikan kuliah di jurusan yang tidak saya inginkan.
Hal yang sama juga dialami oleh teman-teman saya. Ada yang menginginkan kuliah di jurusan A misalanya, dapat di jurasan B. Ada yang kemampuannya di jurusan C, tapi lulus di jurusan D dan begitulah kenyataannya karena penyeragaman tes masuk perguruan tingggi.
Itulah gambaran keseragaman pendidikan di Aceh, bahkan saat memasuki perguruan tinggi pun belum ada pengkategorian potensi seseorang sesuai dengan bakat, kebutuhan daerah, dan lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini.
Peran Unsyiah
Dikarenakan pendidikan di Aceh sudah diseragamkan sejak dari mula masuk sekolah dasar, maka ini merupakan tantangan bagi Unsyiah yang disebut sebagai kampus jantung rakyat Aceh. Apa yang bisa dilakukan Unsyiah untuk menerima jebolan dari sekolah-sekolah yang pendidikannya di seragamkan?
1. Sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan jurusan yang ada di Unsyiah
Mahasiswa Unsyiah harus gencar melakukan sosilasisi kepada siswa SMA/sederajat tentang jurusan dan fakultas yang disediakan Unsyiah. Termasuk apa tujuan akhir dari sebuah jurusan itu sehingga memberi gambaran akan menjadi apa dan siapa nantinya mereka setelah selesai kuliah di Unsyiah.
2. Memetakan mahasiswa sesuai daerah kabupaten/kota dan melihat apa kebutuhan daerah tersebut yang bisa dilakukan oleh jebolan mahasiswa Unsyiah.
Para akedemisi Unsyiah harus melakukan survey untuk pemetan daerah kabupaten/kota mana yang membutuhkan tenaga dari para sarajana Unsyiah. Misalnya daerah Gayo yang terkenal dengan kebun kopi dan palawija maka putra/putrinya diarahkan untuk fokus mengambil jurusan yang berhubungan dengan pengelolaan perkebunan.
Atau daerah lintas barat selatan yang terkenal dengan pesona bahari dan hasil lautnya. Seharusnya ada putra/putri daerah yang diarahkan untuk bisa mengelola sumber daya dari daerah setamatnya dari Unsyiah.
Daerah terpencil dan tertinggal yang masih kekurangan guru dan tenaga kesehatan juga diprioritaskan putra/putri dari daerah tersebut untuk masuk ke jurusan keguruan atau kedokteran dan keperawatan. Dengan begitu Unsyiah dapat menjadi wadah bagi daerah tersebut untuk memberdayakan putra/putri daerah.
3. Tes masuk perguruan tinggi hendaknya dilakukan per jurusan
Sebaiknya tes masuk perguruan tinggi di Unsyiah tidaklah diseragmakan untuk semua jurusan. Masing-masing jurusan di fakultas yang ada di Unsyiah membuat standar uji sesuai dengan jurusan tesebut.
Tentu hal ini lebih mudah mendeteksi calon mahasiswa yang benar-benar mempunyai kemampuan dan keinginan belajar di fakultas tersebut. Calon mahasiswa pun juga tidak dipusingkan harus belajar semua mata pelajaran yang kurang ada kaitannya dengan jurusan yang mereka inginkan.
4. Membuat hubungan kerja sama dengan instansi pemerintah, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat, sekolah dan masyarakat.
Unsyiah sebagai universitas jantung rakyat Aceh jangan hanya menjadi tempat singgah sementara bagi para penuntut ilmu. Namun, juga bertanggung jawab atas para sarjana yang dijebolkan dari kampus ini.
Oleh karena itu Unsyiah perlu membuat kerja sama dengan instansi pemerintah, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat, sekolah, dan masyarakat kampung supaya lulusan Unsyiah bisa melanjutkan kerjasama tersebut.
Masing-masing jurusan yang ada di Unsyiah memikirkan kerjasama apa yang bisa dibuat sehingga lulusan mereka bisa diarahkan ke sana. Jangan jadikan kampus jatung rakyat Aceh ini terpisah dari masyarakatnya sendiri.
Dengan adanya kerjasama seperti itu masalah-masalah yang terjadi di masyarakat bisa sedikit terselesaikan karena ada sumbangsing dari para sarjana ini. Terutama pada bidang pendidikan yang sejak lama diseragamkan mulai dari tingkat dasar.
Inilah saatnya Unsyiah menjawab tantangan keseragaman pendidikan Aceh dengan tidak meyeragamkan mahasiswanya. Dari segi pakaian mahasiswa Unsyiah memang tidak perlu lagi menggunakan seragam seperti sekolah. Jadi, proses masuknya pun jangan diseragmkan lagi. Dengan begitu, maka akan terdeteksi orang-orang yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Bukankah Tuhan memang menciptakan keberagaman, bukan keseragaman? Maka pendidikan pun juga harus diragamkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
Referensi
Aryani Nevi, dkk. (2017). Buku Data Statistik Terpilih Gender dan Anak Aceh Tahun 2017. Banda Aceh : Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh
Analisa. (8/5/2018). Jumlah Pengangguran Aceh 154 Ribu Orang. Diakses dari http://harian.analisadaily.com/aceh/news/jumlah-pengangguran-aceh-154-ribu-orang/. Pada tanggal 20 September 2018, pukul 10.45 WIB.
Beritakini.Co. (6/5/2017, 18.16 WIB). Jumlah Pengangguran di Aceh Masih Tertinggi di Sumatera. Diakses dari http://beritakini.co/news/jumlah-pengangguran-di-aceh-masih-tertinggi-di-sumatera/index.html. Pada tanggal 20 September 2018, pukul 10.24 WIB.
6 comments
Write commentsSemoga pendidikan di Aceh lebih baik ya.
ReplyAmin, ya Allah. Terima kasih sudah mampir bg Ubai.😁
ReplyYel, tulisan ini seakan membaca pikiran Aku tentang kekhawatiran pendidikan Aceh yang tidak sesuai dengan peminatan dan bakat yang pada akhirnya salah jurusan. Lalu, benar kata Yelli, pendidikan pada jenjang perguruan tinggi tidak diimbangi dengan pendidikan keahlian secara maksimal. sehingga saat wisuda saya miris melihat mereka begitu bahagianya bisa lulus tapi ketika ditanya setelah itu mau ngapain, maka jawabannya umumnya mencari kerja, bukan menciptakan lapangan pekerjaan.
ReplyBeberapa karyawan tokoku dulunya sarjana, jujur aku belum bisa menggaji sesuai UMR di Aceh, tapi aku izinkan mereka untuk membuat peluang usaha baru atau mencari kerja sambil kerja di tokoku. Dari karyawan yang sarjana tersebut, ketika ditanya mengenai pendalaman keahlian untuk pengembangan diri tanpa harus bergantung dengan bekerja untuk orang lain, mereka seakan kalah sebelum berperang.
Peran orang tua pun, Aku lihat menjadi hal yang sangat penting dalam mendorong anak-anaknya memilih dan mendorong potensi anak agar lebih baik.
Semangat ya Yel.
Ya, begitulah kondisinya kak. Miris memang, makanya mindset kita yg sudah mengerti tentang hal ini harus diedukasikan kepada keluarga terdekat bahwa potensi setiap orang berbeda dan tentunya kebutuhannya juga berbeda.
Replymemang sangat komplek ay , kita gak bisa menyalahkan di satu sisi karena yang berpengaruh banyak
ReplyJadi, sudah seharusnya kita ubah sedikit demi sedikit konsep keseragaman itu dari sekarang. Termasuk keseragaman pendidikan yang harusnya diberikan berbeda sesuai dengan kebutuhan.
Reply