Mencari Benang Merah Tamaddun Islam Aceh dan Malaysia

Senin, Maret 20, 2017 6 Comments A+ a-

Abu Rahman Kaoy, dan Radzi Sapiee saat penyerahan buku Berpetualang ke Aceh karya Radzie Sapiee.
Photo Doc Yell Saints
Minggu pagi biasanya aku ke Blangpadang untuk mengikuti senam jantung sehat. Tapi minggu ini aku memutuskan untuk ikut kegiatan diskusi budaya yang diadakan di Rumoh Cut Nyak Dien di Kampung Lam Pisang Kec. Peukan Bada, Kab. Aceh Besar.

Dalam pikiranku acara tersebut hanyalah diskusi biasa yang membahas tentang kebudayaan. Meskipun agak sedikit berat untuk menghadirinya, tapi aku memutuskan untuk pergi karena tidak enak sama teman yang sudah janji duluan.

Sesampai ke acara tersebut, aku melihat banyak wisatawan Malaysia lengkap dengan pakaian melayu, dan pernak perniknya. Tidak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Selain itu juga ada beberapa anak yang menggunakan pakaian adat Aceh, dengan membawa rapai. Aku yakin mereka adalah para pemain rapai.

Para pemain rapai dari Aceh yang siap untuk tampil
Photo Doc Yell Saints

Tapi, yang membuat aku gemas, ialah anak-anak yang menggunakan pakaian melayu dengan bahasa Upin Ipin itu. Mereka sangat nyaman menggunakan pakaian adat seperti itu.
Orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan juga menggunakan pakaian Melayu. Hanya aku, dan dua orang temanku yang menggunakan batik dalam acara itu.  Aku merasa seperti tamu di rumah sediri, malu rasanya salah kostum seperti ini.

Tapi aku tidak mau meninggalkan tempat ini, meskipun terlihat asing diantara mereka aku tetap berusaha ramah, dan PDKT alias pendekatan dengan mereka. Ternyata mereka ramah banget, meskipun ada beberapa penggalan kata yang aku tidak mengerti maksudnya. Pusenglah aku ni, ndak tahu apa yang mereka cakap. Lol :D

Aku terus mengikuti acara ini sampai selesai. Sungguh sangat menarik suasana diskusi kali ini, terasa berada di zaman kesultanan. Betapa tidak, kami diskusinya tepat di bawah rumah panggung Cut Nyak Dien, dengan menggelar tikar duduk lesehan. Disekelilingnya ada orang-orang yang menggunakan pakaian adat melayu, dan Aceh. 

Suasana acara diskusi di bawah Rumoh Cut Nyak Dien
Photo Doc Yell Saints
Pembahasan di Majelis

Kegiatan ini atau yang mereka sebut dengan majelelis mengangkat tema tentang “Muhibbah Tamaddun Islam Aceh-Malyasia”. Acaranya dimulai dari pukul 09.30 wib sampai tengah hari, dan dilanjutkan dengan makan siang, serta shalat dzuhur berjamaah.

Kegiatan HIKMAH yang ke 20 di Rumoh Cut Nyak Dien
Photo Doc Yell Saints

Diawal acara dibuka dengan seremonial berupa sambutan dari pihak panitia, dan  persembahan tarian Aceh, pembacaan puisi Cut Nyak Dhien, hikayat Aceh, serta pergelaran mini silat Aceh.

Persembahan Tarian Rapai
Photo Doc Yell Saints

Selanjutnya persentasi tentang sejarah Aceh-Malaysia yang disampiakan oleh Radzi Sapiee yang merupakan Presiden HIKMAH Malaysia. Beliau menjelaskan tentang benang merah antara Aceh dan Malaysia yang merupakan satu rumpun, yaitu rumpun melayu.

Beliau juga memperlihatkan letak geografis Aceh, dan Malaysia dengan bantuan Google Map untuk menjelaskan persebaran dunia islam di tanah Malaka, dan Aceh. Beliau menghubungkan antara Aceh, dan Malaysia yang mempunyai banyak persamaan.

Persentasi dari presiden Hikmah Razie Sapiee
Photo Doc Yell Saints

Dalam pikiranku, sosoknya mirip sultan-sultan melayu. Dengan rambut panjang sebahu, menggunakan pakaian melayu, lengkap dengan topi pada bagian kepala, sungguh unik, dan menarik menurutku.

Begitu juga dengan para audiensi yang menghadiri acara itu juga menggunakan pakaian tersebut. Mereka berdiskusi dengan khidmat membahas tentang benang merah Aceh dan Melayu.

Setelah pemaparan beliau, selanjutnya ada 3 orang panelis muda Aceh yang mebahas tentang Manuskrip Aceh oleh Herman Syah, M.Th.MA, Songket Aceh dari komunitas I Love Songket Aceh oleh Azhar Ilyas, SE, dan Ragam Batu Nisan Aceh dari Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) oleh Mizwar.

Panelis muda Aceh photo Doc Yell Saints

Sayangnya diantara tiga panelis itu satupun tidak menunjukkan identitas ke Acehannya dari segi pakaian. Meskipun itu bukan permasalahan sih, tapi jika ingin mengangkat tentang budaya, hendaknya kita membiasakan diri untuk mengenakan benda-benda yang melekat dengan budaya tersebut.

Benang Merah Tamaddun Aceh-Malaysia

Kuliah Penggulung yang disampaikan oleh Abu Rahman Kaoy
Photo Doc Yell Saints

Diakhir majelis ada kuliah penutup atau yang mereka sebut dengan kuliah penggulung yang disampaikan oleh Abu Rahman Kaoy. Beliau adalah sosok pendakwah Aceh yang kharismatik, dan sejarahwan Aceh yang juga merupakan mantan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry.

Terbukti dengan pembahasan beliau tentang Aceh Pusat Tamaddun Islam di ASEAN, mampu menghipnotis para audien yang sedang lapar menunggu waktu jam makan siang.

Dakwahnya begitu berapi-api dalam menjelaskan sejarah Aceh yang sebenarnya, karena banyak sejarah Aceh yang ditulis oleh orang-orang belanda namun salah, dan meyesatkan tentang keberadaan Islam.

Beliau menjelaskan bahwa Islam pertama kali datang dibawa oleh Said Maulana Abdul Aziz Syah, yang merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib pada tahun 225 H. Tepatnya berada di Perlak.

Kedatangan mereka awalnya hendak menuju negri China, namun ketika singgah di Perlak, dilihatlah hutan, dan tanahnya yang begitu subur dan indah, sehingga mengurungkan niat mereka untuk melanjutkan perjalanan ke China, dan tinggal di Perlak.

Masyarakat Perlak yang awalnya beragama Hindu tertarik dengan kebiasaan, dan kehidupan kafilah ini. Mereka sangat ramah, dan bersahabat, tidak hanya satu orang saja, tapi semuanya seperti itu, dan perlakuannya sama meskipun dengan mereka beragama Hindu.

Akhirnya mereka masuk agama Islam secara beramai-ramai, dan kerajaan Islam pertama ialah berada di Perlak. Selanjutnya Islam menyebar sampai ke daerah Pase sehingga terbentuklah kerajaan islam kedua di Pase.

Singkat cerita, berkat agama Islam yang bisa diterima oleh berbagai pihak dan kalangan, terbentuklah 7 kerajaan Islam, yaitu Perlak, Pase, Tamiang, Pidie, Lingga, Daya, dan Darussalam.

Sosok laki-laki yang sudah sepuh ini terus becerita dengan semangat, meskipun usianya sudah lanjut, gaya berceritanya mampu membangkitkan amarah, dan semangat kaum muda.

Beliau tidak ingin generasi sekarang buta terhadap sejarah, karena banyak sejarah Aceh yang dimanupulasi oleh orang-orang yang pernah menjajah Aceh. Salah satunya tentang permaisuiri Sultan Iskandar Muda.

Beliau menyebutkan ada sebuah buku yang ditulis oleh orang Belanda, dan menjadi buku acuan sehingga menjadi buku best seller di seluruh dunia. Dalam buku itu menyebutkan bahwa Ratu Safiatuddin ialah permaisurinya Sultan Iskandar Muda.

Ini ialah jelas pembodohan, karena Ratu Safiatuddin adalah anak Sultan. Sedangkan permaisurinya ialah Putri Kamaliah, atau yang biasa dikenal dengan Putroe Phang yang berasal dari Negri Pahang Semananjung Malaya.

Anak Sultan Iskandar Muda yaitu Ratu Safiatuddin kemudian nikah dengan Sultan Iskandar Sani yang juga berasal dari Malaysia. Jadi cukup terlihat jelas benang merah antara Aceh, dan Malaysia ini sebagai saudara satu bapak, dan ibu. Karena leluhur kita berasal dari kedua negri tersebut.

Penyelenggara Majelis

Photo bersama dengan pihak panitia Aceh-Malaysia selepas acara
Photo Doc Yell Saints

Aku banyak mendapatkan informasi tentang sejarah, dan budaya di majelis ini, terlebih suasana keakraban sangat terjalin. Namun aku masih penasaran dengan pihak penyelenggara acara ini, dan orang-orang yang bertindak dalam kegiatan ini.

Lantas aku menelusuri pihak panitia penyelenggara yang diketuai oleh Fadhlan Amini, untuk mendapatkan penjelasan terkait event tersebut.

Rupanya event ini merupakan event yang ke 20, berarti sudah banyak event lain yang dilakukan sebelumnya di Malaysia. Dan di Aceh merupakan kali keduanya dari agenda HIKMAH, setelah event yang ke 10 diadakan pada tahun 2014 di Rumoh Aceh.

HIKMAH yang merupakan singkatan dari Himpunan Kedaulatan Melayu Akhir Zaman, adalah kumpulan orang-orang pecinta sejarah, dan budaya Islam terkait negara-negara Melayu.

Cek Nor Afidah Yusuf yang sedang memaparkan isi buku Berpetualang ke Aceh
Photo Doc Yell Saints

HIKMAH ini mulanya terbentuk di tahun 2012, yang diketuai oleh Radzie Sappie alumni University College of London, yang juga mantan dari wartawan The New Straits TimesTujuan acara ini ialah sebagai media silaturahmi antar masyarakat melayu dalam dakwah Islam. Mereka yang tergabung dalam komunitas ini ialah voluntering yang berasal dari berbagai daerah dalam rumpun melayu.

Konsepnya ialah mereka mengadakan mejelis atau pertemuan diberbagai daerah untuk membahas seputar Tamaddun Islam, dan budaya melayu. Kegiatannya sharing tentang sejarah dengan mendatangkan pakar sejarah, dan budaya dari daerah dimana tempat mereka buat acara.

Seperti kegiatan di Aceh ini misalnya, mereka menghadirkan para penggiat budaya, dan sejarah Aceh untuk memperkenalkan budaya, dan sejarah kepada generasi muda, dan para pengunjung yang datang.

Mereka hijrah ke berbagai daerah untuk mensosialisasikan tentang hal ini, Dan yang membuat unik ialah mereka menggunakan pakaian melayu kemanapun mereka pergi.

Mereka sangat cinta dengan budaya mereka, dan mereka juga cinta Aceh yang merupakan bagian dari keluarga mereka kata Kak Nor Afidah Yusuf, anggota HIKMAH dan juga istri dari Mohd Fahrrulrazie, persiden HIKMAH.

Menurutku kegiatan seperti ini sangat menarik, dan unik, bahkan di Aceh sendiri tidak ada hal yang seperti ini. Mereka benar-benar ingin menunujukkan jati diri mereka sebagi bangsa Melayu yang merupakan bangsa yang pernah berjaya pada masa lalu, bahkan melebih bangsa barat.

Nah, kenyataannya generasi sekarang tidak mengenal hal itu bahkan lebih bangga mengikuti trend dan budaya bangsa barat. Padahal kita dari bangsa melayu mempunyai budaya yang besar.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi akhir zaman menghidupkan kembali budaya melayu yang pernah gemilang. 

Cek Nor Aidah Yusuf dengan Aku Yelli yang menggunakan batik :D Lol

6 comments

Write comments
23 Maret, 2017 00:36 delete

Kita Harus Cinta dan Bangga pada Kebudayaan serta Nilai-Nilai Bangsa kita sebagai Jati Diri .... !!!

Reply
avatar
23 Maret, 2017 07:00 delete

Benar sekali, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Terima Kasuh sudah berkunjung!

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
23 Maret, 2017 07:06 delete

Setuju mbak.. Harus bangga dengan segara sendiri.. Setelah ada budaya indonesia yang dicuri negara lain baru dah berkoar2 kebakaran jenggot.. Kemaren2 kemana aja sih..

Reply
avatar
23 Maret, 2017 07:41 delete

Iya Mbak, kita tahunya marah2 aja kalau sudah di Claim sama orang, untuk melestarikannya sendiri kita lupa, malah cinta dan bangga dengan budaya luar.

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
23 Maret, 2017 16:04 delete

yang melestarikan budaya sudah jarang kita temukan padahal ini adalah aset negara yang harus tetap ada , kalo dari aceh saya paling suka dengan tari saman karena identik dengan nilai islam yang menekankan kebersamaan ,, semoga semuanya tetap lestari yah ,,,,

Reply
avatar
Santi Dewi
AUTHOR
23 Maret, 2017 18:00 delete

saya jadi tahu ttg kedatangan Islam di tanah Aceh. Makasih sharing nya ya... :)

Reply
avatar