Haruskah JKA Diperebutkan?

Sabtu, Februari 04, 2017 6 Comments A+ a-

Debat kandidat putaran terakhir pasangan calon gubernur Aceh, pada tanggal 31 Januari lalu banyak membahas program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Padahal tema yang diangkat pada debat kali ini ialah Mewujudkan Pelayanan Birokrasi Berkualitas

Namun yang menjadi perdebatan malah siapa pencetus JKA sebenarnya, sampai ada pengulangan pertanyaan yang sama satu kandidat kepada kandidat lain tentang asal usul JKA.

Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang apakah JKA telah menjadi solusi untuk meningkatkan kesehatan rakyat Aceh? Apa pernah dievaluasi program yang menjadi rebutan para kandidat ini? Harusnya ini menjadi pertimbangan para calon yang mengklaim bahwa dirinya sebagai pencetus lahirnya JKA.

Antrian Pasien di RSUD ZA Banda Aceh

Rakyat Aceh memang sepantasnya bersyukur, dengan adanya program JKA sejak 2010 lalu pelayanan kesehatan digratiskan. Tapi terlepas dari itu, ada beberapa hal yang harus dikaji lagi tentang standar pelayanan kesehatan yang diberikan. Semua ini tentunya mencakup birokrasi dari sebuah pelayanan kesehatan tersebut.

Ketika saya sedang praktek profesi di salah satu rumah sakit ternama di Aceh, saya banyak menerima keluhan dari pasien yang berobat gratis. Mulai dari proses pendaftaran yang lama, sikap dari tenaga pelayanan kesehatan yang kurang bersahabat, ketidakjelasan informasi mengenai penyakit yang diderita, bahkan tak jarang yang menjadi malpraktek

Semua keluhan itu hanya bisa disampaikan pasien kepada pasien lainnya, atau antar pasien kepada mahasiswa CoAss seperti saya. Nah, apakah pengagas JKA mengetahui hal ini?

Gratis Bukan Solusi

Karena pelayanan kesehatan digratiskan, sakit sedikit langsung ke rumah sakit, padahal masih bisa dirawat di rumah. Kemudian juga saat di rumah sakit, seharusnya tindakan bedah merupakan pilihan terkahir, namun sekarang sedikit-sedikit operasi. Banyak pasien yang sudah  dioperasi di rumah sakit daerah, kemudian ketika dirujuk ke rumah sakit propinsi, dokter mengatakan tidak perlu seharusnya dioperasi.


Kasus seperti itu pernah saya jumpai ketika ada pasien yang mengalami pembengkakan pada gendang telinga. Tindakan operasi sudah dilakukan di rumah sakit daerah, namun harus dirujuk lagi ke rumah sakit propinsi karena kondisi pasien tidak membaik. 

Setelah diperiksa dokter di rumah sakit propinsi, sungguh disayangkan karena tindakan operasi tersebut merusak salah satu saraf yang mengakibatkan mulut pasien merot sehingga susah untuk berbicara. Padahal kasus tersebut hanya perlu dilakukan tindakan penyedotan lendir di telinga pasien.

Kasus lain pasien yang berlatar belakang mahasiswa luar Aceh, pulang ke Aceh demi berobat gratis. Sesampainya di kampung beliau didiagnosis mengalami apendisitis atau radang pada usus buntu, dan harus segera dioperasi. 

Keadaan juga tidak membaik, dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit propinsi. Diagnosispun juga berubah menjadi tumor usus, dan pasien dilakukan laparatomi (pembedahan perut). Pasien mengeluhkan tentang ketidakjelasan informasi mengenai penyakitnya ini, yang membuat pasien bertambah stres.

Kasus diatas hanya segelintir kasus dari keluhan pasien yang berobat gratis, namun tidak menutup kemungkinan banyak keluhan lainnya dari pengguna JKA itu sendiri. Dikarenakan adanya JKA juga masyarakat kurang memperhatikan kesehatannya, padahal tindakan pencegahan merupakan tindakan utama dalam pemeliharaan kesehatan. 

Hal ini yang membuat rumah sakit selalu penuh dengan pasien. Anggaran untuk kesehatan yang dikeluarkan pemerintapun juga menjadi lebih besar, akibat lemahnya birokrasi di pelayanan kesehatan.

Mutu Pelayanan Kesehatan

Walaupun pelayanan kesehatan di Aceh gratis sejak adanya program JKA, tentu harus seimbang pula dengan mutu pelayanan yang diberikan. Jangan hanya melihat dari sisi luarnya saja, karena adanya JKA banyak rakyat Aceh terbantu dalam pengobatannya.

Menyangkut dengan mutu pelayanan kesehatan, erat kaitannya dengan birokrasi dari sebuah lembaga pemberi pelayanan kesehatan tersebut. 


Harusnya ini yang menjadi salah satu perencanaan ke depan bagi setiap paslon gubernur untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, sebagaimana tema debat yaitu Mewujudkan Pelayanan Birokrasi Berkualitas. 

Bagaimana meningkatkan mutu pelayanan mulai dari tingkat dasar seperti Puskesmas Pembantu (pustu) dengan menata birokrasi berkualitas, sehingga tidak terkesan lagi bahwa pelayanan kesehatan hanya berada pada tingkat rumah sakit.

Hal ini tentunya harus ada manajemen yang tepat dalam menata birokrasi ditatanan layanan kesehatan. Selain itu juga harus ada riset, dan penelitian mengenai sistem pelayanan yang ada selama ini, sehingga data dari penelitian tersebut bisa dijadikan acuan untuk membuat manajemen pelayanan  yang bermutu. 

Dengan begitu kita tahu apa yang dibutuhkan masyarakat dari segi kesehatan, bukan hanya mengratiskan biaya pengobatan saja.

"Keberhasilan dari lembaga kesehatan bukan dilihat dari banyaknya mengobati orang yang sakit, tapi bagaimana menjaga, dan memelihara kesehatan masyarakat sehingga tidak jatuh sakit. 
Bukankah mencegah itu lebih baik dari mengobati?"
(Yell Saints)

Jadi selain program JKA yang menjadi primadona selama ini, program pemeliharaan kesehatan juga harus difokuskan lagi. Artinya pelayanan kesahatan berupa promosi kesehatan, dan screening kesehatan yang merupakan bagian dari tindakan pencegahan harus sering dilakukan. 

Tentunya yang berada dibirokrasi pelayanan kesehatan harus paham dengan falsahan kesehatan itu sendiri, dimana tindakan promotif dan preventif merupakan hal yang utama dalam pelayanan kesehatan, baru setelah itu pelayan kuratif yang merupakan program JKA berada di dalamnya.

Menurut hemat penulis selama praktek di pelayanan kesehatan seperti puskesmas sangat minim dilakukannya tindakan promosi kesehatan. Programnya ada, tapi praktek dilapangannya nihil. Sehingga informasi kesehatan yang harusnya didapat di pelayanan dasar seperti puskesmas tidak diketahui oleh masyarakat. 

Wajar masyarakat datang ke Puskesmas hanya ketika sakit, karena pemikiran masyarakat pelayanan kesehatan hanya untuk orang sakit. Lagi dan lagi ini menyangkut siapa yang memimpin apa, dan untuk mewujudkan pelayanan birokrasi berkulitas. 

Hendaknya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai latar belakang keilmuan yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tanpa ada ilmu memang banyak terjadi perebutan oleh orang-orang yang bukan ahli dibidangnya.

 
Siapa pilihan terbaik menurutmu?

6 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
05 Februari, 2017 21:25 delete

Saya sempat kepikiran saat membaca artikel ini.
Kenapa rumah sakit tidak diberikan grade ya? Soalnya jika pelayanannya tidak baik pasien tidak akan berobat disana pastinya. Dan dokter juga tidak akan sembarang merekomendasikan untuk operasi.
Saya juga menilai bahwa, jika dokter menyarankan untuk operasi padahal seharusnya tidak, dapat saya simpulkan bahwa Foke tersebut bodoh atau ingin cepat kaya. Karena yang lebih tahu dokter, pasti pasien menerima apa adanya saran dari dokter tersebut.

Reply
avatar
liza
AUTHOR
07 Februari, 2017 20:07 delete

tulisan yang bagus yell. miris melihat kondisi kesehatan kita sekarang. orang yang sakit sedikit dan bisa berobat di puskesmas, ngotot minta ke rs, di rs ngotot minta dirujuk ke rs yang lebih besar. pelayanan kesehatan pun demikian. harusnya pemerintah lebih memikirkan program prventif dan promotif, enggak hanya kuratif

Reply
avatar
Wian
AUTHOR
09 Februari, 2017 03:00 delete

Mentang-mentang gratis, pelayanan jadi nomer 2. Padahal harusnya yang namanya jasa pelayanan, pemberian pelayanan prima itu jadi prioritas utama. Tapi kok ya bisa ya dokter2nya gak banget gitu. Bisa sampe sembrono ambil keputusan.

Reply
avatar
09 Februari, 2017 18:25 delete

Setiap rumah sakit punya grade, alhamdulillah untuk RSUD ZA, akreditasinya A. Tapi untuk rumah sakit daerah, masih C atau B, biasanya rumah sakit daerah inilah yang banyak terjadi kekeliruan. Pasien mana tahu tentang itu, yang pada dasarnya RS tetap tempat berobat, masalah benar atau tidaknya penanganan yang diberikan tim medis, pasien mana tahu dia. Makanya untuk menilai kinerja para tim medis ini, diperlukan pengawasan dari pemerintah setempat jika RS itu milik pemerintah. Yang menjadi pengawaspun juga orang kompeten di dalamnya, jangan hanya asal turun saja, sedangkan prosedur pengawasannya nggak tahu apa yang harus dievaluasi.

Reply
avatar
09 Februari, 2017 18:43 delete

Iya kak, sebenarnya yang lebih difokuskan ialah tantang promotif dan preventifnya, tapi malah tindakan kuratif yang banyak pengalokasian dananya.

Reply
avatar
09 Februari, 2017 18:49 delete

Begitulah wajah pelayanan kesehatan kita.

Reply
avatar