Haruskah JKA Diperebutkan?
Debat kandidat putaran terakhir pasangan
calon gubernur Aceh, pada tanggal 31 Januari lalu banyak membahas program
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Padahal tema yang diangkat pada debat kali ini
ialah Mewujudkan Pelayanan Birokrasi
Berkualitas.
Namun yang menjadi perdebatan malah siapa pencetus JKA
sebenarnya, sampai ada pengulangan pertanyaan yang sama satu kandidat kepada
kandidat lain tentang asal usul JKA.
Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang
apakah JKA telah menjadi solusi untuk meningkatkan kesehatan rakyat Aceh? Apa
pernah dievaluasi program yang menjadi rebutan para kandidat ini? Harusnya ini
menjadi pertimbangan para calon yang mengklaim bahwa dirinya sebagai pencetus
lahirnya JKA.
Antrian Pasien di RSUD ZA Banda Aceh |
Rakyat Aceh memang sepantasnya
bersyukur, dengan adanya program JKA sejak 2010 lalu pelayanan kesehatan
digratiskan. Tapi terlepas dari itu, ada beberapa hal yang harus dikaji lagi
tentang standar pelayanan kesehatan yang diberikan. Semua ini tentunya mencakup
birokrasi dari sebuah pelayanan kesehatan tersebut.
Ketika saya sedang praktek profesi di
salah satu rumah sakit ternama di Aceh, saya banyak menerima keluhan dari
pasien yang berobat gratis. Mulai dari proses pendaftaran yang lama, sikap dari
tenaga pelayanan kesehatan yang kurang bersahabat, ketidakjelasan informasi
mengenai penyakit yang diderita, bahkan tak jarang yang menjadi malpraktek.
Semua keluhan itu hanya bisa
disampaikan pasien kepada pasien lainnya, atau antar pasien kepada mahasiswa CoAss seperti saya. Nah, apakah pengagas
JKA mengetahui hal ini?
Gratis
Bukan Solusi
Karena pelayanan kesehatan digratiskan,
sakit sedikit langsung ke rumah sakit, padahal masih bisa dirawat di rumah.
Kemudian juga saat di rumah sakit, seharusnya tindakan bedah merupakan pilihan
terkahir, namun sekarang sedikit-sedikit operasi. Banyak pasien yang sudah dioperasi di rumah sakit daerah, kemudian
ketika dirujuk ke rumah sakit propinsi, dokter mengatakan tidak perlu
seharusnya dioperasi.
Kasus seperti itu pernah saya jumpai
ketika ada pasien yang mengalami pembengkakan pada gendang telinga. Tindakan
operasi sudah dilakukan di rumah sakit daerah, namun harus dirujuk lagi ke
rumah sakit propinsi karena kondisi pasien tidak membaik.
Setelah diperiksa
dokter di rumah sakit propinsi, sungguh disayangkan karena tindakan operasi
tersebut merusak salah satu saraf yang mengakibatkan mulut pasien merot
sehingga susah untuk berbicara. Padahal kasus tersebut hanya perlu dilakukan
tindakan penyedotan lendir di telinga pasien.
Kasus lain pasien yang berlatar
belakang mahasiswa luar Aceh, pulang ke Aceh demi berobat gratis. Sesampainya
di kampung beliau didiagnosis mengalami apendisitis
atau radang pada usus buntu, dan harus segera dioperasi.
Keadaan juga tidak
membaik, dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit propinsi. Diagnosispun juga
berubah menjadi tumor usus, dan pasien dilakukan laparatomi (pembedahan perut). Pasien mengeluhkan tentang
ketidakjelasan informasi mengenai penyakitnya ini, yang membuat pasien
bertambah stres.
Kasus diatas hanya segelintir kasus
dari keluhan pasien yang berobat gratis, namun tidak menutup kemungkinan banyak
keluhan lainnya dari pengguna JKA itu sendiri. Dikarenakan adanya JKA juga
masyarakat kurang memperhatikan kesehatannya, padahal tindakan pencegahan
merupakan tindakan utama dalam pemeliharaan kesehatan.
Hal ini yang membuat
rumah sakit selalu penuh dengan pasien. Anggaran untuk kesehatan yang
dikeluarkan pemerintapun juga menjadi lebih besar, akibat lemahnya birokrasi di
pelayanan kesehatan.
Mutu
Pelayanan Kesehatan
Walaupun pelayanan kesehatan di Aceh gratis
sejak adanya program JKA, tentu harus seimbang pula dengan mutu pelayanan yang
diberikan. Jangan hanya melihat dari sisi luarnya saja, karena adanya JKA
banyak rakyat Aceh terbantu dalam pengobatannya.
Menyangkut dengan mutu
pelayanan kesehatan, erat kaitannya dengan birokrasi dari sebuah lembaga
pemberi pelayanan kesehatan tersebut.
Harusnya ini yang menjadi salah satu perencanaan
ke depan bagi setiap paslon gubernur untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan, sebagaimana tema debat yaitu Mewujudkan
Pelayanan Birokrasi Berkualitas.
Bagaimana meningkatkan mutu pelayanan
mulai dari tingkat dasar seperti Puskesmas Pembantu (pustu) dengan menata
birokrasi berkualitas, sehingga tidak terkesan lagi bahwa pelayanan kesehatan
hanya berada pada tingkat rumah sakit.
Hal ini tentunya harus ada manajemen yang
tepat dalam menata birokrasi ditatanan layanan kesehatan. Selain itu juga harus
ada riset, dan penelitian mengenai sistem pelayanan yang ada selama ini,
sehingga data dari penelitian tersebut bisa dijadikan acuan untuk membuat
manajemen pelayanan yang bermutu.
Dengan
begitu kita tahu apa yang dibutuhkan masyarakat dari segi kesehatan, bukan
hanya mengratiskan biaya pengobatan saja.
"Keberhasilan dari lembaga kesehatan bukan dilihat dari banyaknya mengobati orang yang sakit, tapi bagaimana menjaga, dan memelihara kesehatan masyarakat sehingga tidak jatuh sakit.
Bukankah mencegah itu lebih baik dari mengobati?"
(Yell Saints)
(Yell Saints)
Jadi selain program JKA yang menjadi
primadona selama ini, program pemeliharaan kesehatan juga harus difokuskan
lagi. Artinya pelayanan kesahatan berupa promosi kesehatan, dan screening kesehatan yang merupakan bagian
dari tindakan pencegahan harus sering dilakukan.
Tentunya yang berada
dibirokrasi pelayanan kesehatan harus paham dengan falsahan kesehatan itu sendiri,
dimana tindakan promotif dan preventif merupakan hal yang utama dalam pelayanan
kesehatan, baru setelah itu pelayan kuratif yang merupakan program JKA berada
di dalamnya.
Menurut hemat penulis selama praktek di
pelayanan kesehatan seperti puskesmas sangat minim dilakukannya tindakan
promosi kesehatan. Programnya ada, tapi praktek dilapangannya nihil. Sehingga
informasi kesehatan yang harusnya didapat di pelayanan dasar seperti puskesmas
tidak diketahui oleh masyarakat.
Wajar masyarakat datang ke Puskesmas hanya
ketika sakit, karena pemikiran masyarakat pelayanan kesehatan hanya untuk orang
sakit. Lagi dan lagi ini menyangkut siapa yang memimpin apa, dan untuk
mewujudkan pelayanan birokrasi berkulitas.
Hendaknya diberikan kepada
orang-orang yang mempunyai latar belakang keilmuan yang sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Tanpa ada ilmu memang banyak terjadi perebutan oleh orang-orang
yang bukan ahli dibidangnya.
6 comments
Write commentsSaya sempat kepikiran saat membaca artikel ini.
ReplyKenapa rumah sakit tidak diberikan grade ya? Soalnya jika pelayanannya tidak baik pasien tidak akan berobat disana pastinya. Dan dokter juga tidak akan sembarang merekomendasikan untuk operasi.
Saya juga menilai bahwa, jika dokter menyarankan untuk operasi padahal seharusnya tidak, dapat saya simpulkan bahwa Foke tersebut bodoh atau ingin cepat kaya. Karena yang lebih tahu dokter, pasti pasien menerima apa adanya saran dari dokter tersebut.
tulisan yang bagus yell. miris melihat kondisi kesehatan kita sekarang. orang yang sakit sedikit dan bisa berobat di puskesmas, ngotot minta ke rs, di rs ngotot minta dirujuk ke rs yang lebih besar. pelayanan kesehatan pun demikian. harusnya pemerintah lebih memikirkan program prventif dan promotif, enggak hanya kuratif
ReplyMentang-mentang gratis, pelayanan jadi nomer 2. Padahal harusnya yang namanya jasa pelayanan, pemberian pelayanan prima itu jadi prioritas utama. Tapi kok ya bisa ya dokter2nya gak banget gitu. Bisa sampe sembrono ambil keputusan.
ReplySetiap rumah sakit punya grade, alhamdulillah untuk RSUD ZA, akreditasinya A. Tapi untuk rumah sakit daerah, masih C atau B, biasanya rumah sakit daerah inilah yang banyak terjadi kekeliruan. Pasien mana tahu tentang itu, yang pada dasarnya RS tetap tempat berobat, masalah benar atau tidaknya penanganan yang diberikan tim medis, pasien mana tahu dia. Makanya untuk menilai kinerja para tim medis ini, diperlukan pengawasan dari pemerintah setempat jika RS itu milik pemerintah. Yang menjadi pengawaspun juga orang kompeten di dalamnya, jangan hanya asal turun saja, sedangkan prosedur pengawasannya nggak tahu apa yang harus dievaluasi.
ReplyIya kak, sebenarnya yang lebih difokuskan ialah tantang promotif dan preventifnya, tapi malah tindakan kuratif yang banyak pengalokasian dananya.
ReplyBegitulah wajah pelayanan kesehatan kita.
Reply