Koin Aceh VS Dolar Australia

Rabu, Februari 25, 2015 3 Comments A+ a-

Ilustrasi; Nilai uang yang jauh berbeda
Penggalangan dana berupa koin untuk Australia dalam upaya pengembalian sejumlah bantuan yang pernah diberikan pasca tsunami Aceh 2004 silam, terlihat tidak rasional. Mana mungkin jutaan dolar yang diberikan warga Australia dapat digantikan dengan koin Aceh. Meskipun seluruh warga Indonesia bersatu mengumpulkan koin, namun nilainya jauh dari mencukupi dolar yang diberikan warga Australia.
    Kalau memang niat untuk mengembalikan dana dan bantuan yang diberikan warga Australia, kenapa harus menggalang dengan menggunakan koin? Bukankah uang koin atau logam merupakan nilai terendah dari mata uang Indonesia?  Mungkin mereka warga Australia merasa terhina dan dilecehkan terhadap tindakan tersebut. Mereka yang menyumbang saat Indonesia menghadapi masalah besar murni atas dasar kemanusiaan. Namun apakah pantas gara-gara satu orang warga Australia yang mengungkit-ungkit pemberian tersebut, semua warga Australia menjadi sasarannya?
    Pernyataan perdana mentri Australia, Tony Abbott terkait dengan barter dalam meminta pembatalan hukuman mati warganya dan mengungkit-ungkit pemberian bantauan pada warga Aceh telah membuat masyarakat Indonesia kecewa, khususnya masyarakat Aceh. Pernyataan tersebut membuat masyarakat Aceh merasa terhina, karena saat kejadian tsunami Aceh masyarakat Aceh tidak pernah mengemis atau meminta terhadap warga Australia. Ini sesuai dengan  prinsip dan karakter orang Aceh yang pantang untuk meminta-minta.
    Namun saat orang yang berpengaruh di Australia itu mengungkit-ungkit kembali pemberian bantuan tersebut, warga Aceh merasa seperti di pukul palu besi. Mengungkit-ungkit pemberian sama saja menghina marwah masyarakat Aceh. Menjaga marwah dan martabat merupakan prioritas utama bagi masyrakat Aceh. Apapun akan dilakukan walaupun nyawa taruhannya, tak masalah kalau dikatakan “Aceh Pungo”, yang penting jangan ganggu martabatnya dan jangan rusak marwahnya. Kekecewaan tersebut direspon dengan aksi penggalangan dana koin dan membaikot semua yang berkaitan dengan Australia.
    Hukuman Masal
Sebagai warga Aceh, penulis sendiri merasa kecewa terhadap Tony Abbott, namun apakah karena seorang Abbot kita menghukum masal semua warga Australia? Saya merasa sedih saat membaca tulisan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta asal Australia. “Saya ingin menyampaikan bahwa bantuan Australia diberikan dengan ikhlas kepada masyarakat Aceh saat kondisi yang sangat buruk pada 2004 silam. Warga Australia, membayar pajak dan menyumbangkan satu miliar dolar untuk menyelamatkan nyawa orang Aceh yang terkena tsunami, mencari orang yang hilang dan mengembalikan mereka kepada keluarganya, mengobati yang sakit dan membantu yang cacat. Akan tetapi saya merasa sangat tersinggung, terhina dan diremehkan ketika orang melemparkan uang recehan kepada saya, atau membuat sindiran dan ejekan lainnya” Harian Serambi (25/2/2015).
Bayangkan bagaimana kita yang berada di posisi mereka? Dihujat, dilecehkan dan dikucilkan karena ulah satu orang. Ibarat kata pribahasa “Gara-gara nila setitik, rusaklah susu sebelanga”. Hubungan yang selama ini terjalin baik dihitamkan dan dibuyarkan dengan sebuah perkataan yang menyakitkan. Maka tak salah banyak yang mengatakan “mulutmu harimaumu” maka berharti-hatilah dalam berkata. Namun nasi telah jadi bubur, perkataan sudah terlepas dari mulut, alhasil tidak hanya yang berkata terkena hukuman namun semua warga Australia terhukum masal karena satu perkataan.
Kini warga Australia di cap sebagai orang yang mengungkit-ungkit pemberian. Koin yang dikumpulkan sebenarnya sebuah bentuk kekecewaan, padahal dolar Australia yang diberikan mungkin memang murni atas dasar kemanusiaan. Sikap berlebihan warga Aceh terkait pernyataan Abbott, telah menampakkan ujud dan watak warga Aceh yang dikaitkan dengat istilah Atjeh moorden atau Aceh pungo.
Perspektif Aceh Pungo
Istilah Aceh pungo sudah dikenal sejak perjuangan Aceh melawan kolonialisme Belanda. Kepungoan masyarakat Aceh masa lalu berasal dari wujud jihad dalam memerangi kaphe-kaphe (kafir) Belanda dalam rangka membela agama Alla swt. Aceh pungo terlihat dari semangat juang yang tinggi dalam membela agama, harkat dan martabat meskipun nyawa jadi taruhannya. Jadi, tidak salah kalau ada yang merendahkan martabatnya, sifat Aceh pungo itu akan muncul dengan sendirinya.
Salah seorang utusan kerajaan Belanda dr.RH Kern, meneliti perilaku orang Aceh sehari-hari apakah benar-benar gila. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sifat pungo orang Aceh itu jauh dari unsur gangguan kejiwaan. Artinya gila yang dimakasud dari arti pungo bukanlan mengalami gangguan jiwa sehingga apa yang dilakukannya dalam keadaan sadar. Yang melatar belakangi Aceh pungo sehingga membuat takut militer belanda ialah rasa dendam yang membara di hati orang Aceh dengan berpegang prinsip “tung bila” harus dilakukan (diliputnews.com, 24/05/2012).
Watak Aceh pungo itu kembali mencul saat salah seorang yang memberi menyembut-nyebut kembali pemberiannya. Respon yang ditimbulkannya pun beragam, tanpa mempertimbangkan dulu aksinya, secara serentak warga Aceh mulai mengumpulkan kembali koin demi koin untuk mengembalikan pemberian tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Irwandi Yusuf mantan Gubenur Aceh pun menantang agar dikumpulkan dana sejumlah Rp 13 triliun. Bukan hanya itu, karena sekarang Aceh sedang diberikan nikmat berupa batu giok, aksi pelelangan batu giok ini pun dilakukan. Dan yang sangat menyedihkan ialah secara sengaja korban tsunami yang tergabung dalam (GPRS) Aceh Barat telah mempersiapkan dua liang kubur untuk dua orang narapidana Australia yang akan dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia.
Sebenarnya tuluskah koin-koin yang terkumpul itu diberikan untuk menggantikan dolar-dolar yang telah terpakai? Jangan sampai niat yang mulanya untuk mempertahakan martabat dan menjaga marwah, berubah menjadi aksi menunjukkan kehebatan dan kekuatan. Tidak pantas rasanya dolar yang mereka beri atas dasar kemanusian kita kembalikan dengan koin atas dasar kekecewaan, karena itu perlu dikaji lagi supaya persudaraan anatara Aceh dan Australia tetap terjaga.
Yell Saints

3 comments

Write comments