Kisah Korban Tsunami Dibalik Jeruji Besi Putih

Minggu, Desember 25, 2016 10 Comments A+ a-

Gambar Ilustrasi Jeruji Besi Putih

Bunga, begitu panggilannya. Bukan nama asli, karena tidak ada satupun yang tau latar belakangnya. Usianya sekitar 27 tahun, tapi tingkahnya sepeti anak usia 7 tahun. Aku sangat terkejut saat dia menyapaku dengan sebutan ibu, dengan ramah dia menyalamiku sambil mencium tanganku. Sontak aku terkejut, orang yang usianya lebih dewasa dariku mencium tanganku saat bersalaman.

Ibu,ibu, nama saya bunga, nama ibu siapa?
Ambil Bunga saja ya jadi pasien ibu, bunga orangnya baik”.

Aku pun heran mendengar perkataannya, ternyata dia sudah duluan tau bahwa setiap mahasiswa praktik akan mengambil salah satu dari mereka untuk dijadikan pasien kelolaan. Aku pun membalas sapaannya dengan sikap penuh bersahabat.

Perkenalkan saya Arin, senang berkenalan dengan Bunga”.

Kesempatan inipun tidak aku sia-siakan, aku langsung melakukan pengkajian untuk memperoleh data darinya.

Bunga sudah tinggal di Rumah Sakit Jiwa Sejak 10 tahun lalu, tepatnya setelah tsunami Aceh. Tidak ada satupun yang tahu siapa keluarganya dan darimana asalnya. Setiap kali ditanya jawaban berbeda-beda. Dia sering memanggil-manggil pamannya, dan berharap pamanya akan datang menjemputnya.

Penasaran dengan sosok bunga, akupun melihat datannya di status pasien. Dia adalah salah satu korban tsunami Aceh 2004, yang masuk karena gangguang mental yang disebut sebagai skizofrenia.

Bunga sering terlihat berbicara sendiri, tersenyum, dan bahkan tertawa dengan halusinasinya. Namun terkadang dia mengalami ketakutan sehingga membuatnya menangis sejadi-jadinya. Dia juga sering mencium bau darah, bahkan darah itu mengikutinya kemana-kemana.

Keluarganya meninggal dunia dalam musibah besar Tsunami Aceh, selebihnya tidak ada status jelasnya, siapakah bunga, dan bagaimana kehidupannya sebelum bencana besar itu datang.

Aku melihat sosok anak kecil dalam tubuh orang dewasa seperti bunga. Dia sangat rindu kasih sayang, rindu akan keluarganya. Sempat suatu hari dia bercerita kepadaku tentang keluarganya. Katanya dia berasal dari Simeulue, ayah dan ibunya sudah meninggal dunia, dan dia tinggal dengan pamannya.

Dia sangat yakin pamannya akan menjemput dirinya, setiap hari dia bertanya kepada perawat, apakah pamannya sudah datang? Dan setiap hari terus dengan pertanyaan yang sama. Kadang dia menangis memanggil pamannya, tingkahnya tak ubah seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Tak ada satupun yang tahu siapa paman yang dinanti-nantikan bunga.

Setiap hari dia hanya duduk di balik jeruji besi putih yang berkarat, terkadang dia senyum sesekali dengan mahasiswa-mahasiwa praktik sepertiku. Setelah itu dia asyik berbicara dengan halusinasinya, dengan tingkah yang menurutku aneh.

Kadang dia terlihat asyik mengobrol sendiri, duduk dengan posisi seperti orang bertapa sambil memejamkan matanya, dan kemudian tersenyum sambil melirik ke kiri ke kanan, lalu dia teriak-teriak dengan mengatakan “”Ada darah, ada darah”.

Aku mencoba berkomunikasi dengannya, palng tidak 15 menit setiap hari. Meskipun apa yang diomonginya tak tentu arah, dan berputar-putar (sirkumtansial).

Diapun sudah mulai dekat denganku. Pertanyaan yang tak bosan-bosanya ditanyakan kepadaku ialah kapan pamannya datang. Aku tak tahu mau jawab apalagi, setiap hari dia mempertanyakan hal yan sama. Kapan pamanku menjemputku.

Pernah suatu ketika Bunga disangka memukul temannya. Akibatnya dia harus dipindahkan ke ruang isolasi. Paginya ketika aku sampai ke tempat dinas, dia langsung memangilku sambil menangis dan berteriak.

Bu Arin.., Bunga nggak salah!
  Bunga nggak bermaksud memukul teman Bunga, Bunga nggak mencuri!
  Tolong lepasin Bunga Bu Arin!
  Bunga janji nggak akan mengulanginya lagi,
  Bu Arin, tolong lepasin Bunga”.

Aku melihat Bunga di ruang isolasi dengan matanya yang sembab, ujung bibirnya bengkak dan biru. Suara tangisanya bertambah kencang saat darah segar keluar dari hidungnya.

Bunga terlibat perkelahian dengan temannya, karena dituduh mencuri uang. Benar atau tidaknya kejadian itu, aku tidak tahu pasti karena kejadiannya semalam, dan aku baru masuk paginya.

Aku mendekati Bunga sambil membersihkan darah dari hidungnya. Matanya masih basah karena air matanya yang tak sanggup ditahan. Dengan terisak dia menceritakan kepadaku dia tidak mecuri uang itu, hanya mengambilnya sabagian dan akan mengembalikannya nanti.

Bunga.., mengambil sesuatu tampa sepengetahuan pemiliknya, itu disebut dengan mecuri. Meskipun kita berniat untuk mengembalikannya”.

Aku mencoba menasehati Bunga. Mengerti atau tidak tentang penjelasanku, Bunga hanya terdiam. Dia berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya itu. Lagi dan lagi dia bertanya kapan pamannya akan menjemput dirinya?

Sungguh, bunga yang malang, jauh dari kasih sayang!

10 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
25 Desember, 2016 20:27 delete

Sedih kali cerita nya.. terbawa perasaan membaca cerita nya dan sungguh merefleksi kan diri..

Bunga Semangat ya

Reply
avatar
Lucky Caesar
AUTHOR
26 Desember, 2016 08:11 delete

Hmm malang sekali nasib Bunga. Semangaaat mbak arin yaa, semoga bunga bisa merasakan kasih sayang dr sosok mbak arin 😊 Aamiin... Tfs yaaak. Salam kenaal. .

Reply
avatar
27 Desember, 2016 22:26 delete

Sedih banget aku membayangkan jadi mba bertemu sosok bunga pasti iba yang ada y mba :) semoga mba selalu sabar menghadapinya ^^

Reply
avatar
28 Desember, 2016 02:31 delete

Memang sedih, begitulah segelintir kisah dari mereka yang berada di balik jeruji besi putih, dan masih banyak kisah lain yang cukup memilukan lagi! Semoga Allah selalu bersama mereka!

Reply
avatar
28 Desember, 2016 02:33 delete

Iya mabak, semoga saja! Hanya itu yang bisa saya lakukan! Salam kenal juga mbak Lucky!

Reply
avatar
28 Desember, 2016 02:35 delete

Iya mbak.,! Terima kasih doanya!

Reply
avatar
katacerita
AUTHOR
29 Desember, 2016 02:37 delete

Sedih :'(
Apakh dalam nyata juga ada kisah seperti ini mbak ...
Ya Allah

Reply
avatar
30 Desember, 2016 03:28 delete

Iya., ini memang kisah nyata Mbak, pengalamanku saat praktik di RSJ Aceh.

Reply
avatar
nitalanaf
AUTHOR
08 Januari, 2017 18:27 delete

Semoga menjadi ladang pahala juga buat mba ya. Nggak mudah bisa hidup di lingkungan spt itu 😊

Reply
avatar
18 Januari, 2017 17:27 delete

AMIN..,! Ini sudah tugas kami sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa mbak

Reply
avatar