Aceh Bebas Pasung Bukan Solusi

Senin, Oktober 10, 2016 0 Comments A+ a-

Ketika pasien gangguan jiwa yang dipasung berhasil dibawa atau dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan, seperti Unit Pelayanan Intensif Psikiatrik (UPIP) atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ), ada secercah harapan bagi keluarga untuk kesembuhan pasien.

Namun siapa sangka setelah masa perawatan dan pemulihan di RSJ, pasien akan kembali dipasung oleh keluarga. Bahkan proses panjang yang dilalui oleh pihak dinas, mulai dari membujuk keluarga pasien, mengurus berkas, dan mengantarkannya ke RSJ, terkesan sia-sia. Toh pasien akan dipasung lagi.

Kenapa dipasung? Mungkin inilah pertanyaan yang muncul bagi setiap orang yang mempunyai mulut untuk berkomentar, dan yang mempunyai pikiran untuk menentang. 

Pasien pasung yang sudah pernah dirawat di RSJ

Aku pernah mendatangi rumah pasien gangguan jiwa yang dipasung di derah Aceh Selatan, bersama para tim dari dinas kesehatan. Ketika sampai ke rumah pasien, aku menyaksikan bagaimana kondisi pasien yang cukup memprihatinkan. 

Kaki yang dirantai, badan tidak terurus, bahkan beliau makan dan BAB di rumah panggung yang tak layak hunyi itu. Usianya masih tergolong muda, sekitar 30-an tahun, dan dia sempat pernah dibawa ke RSJ untuk berobat. Tapi koq bisa dirantai lagi? pertanyaan itulah yang muncul oleh ku ketika berkesempatan untuk mewawancarai keluarganya. 

Kemudian aku mengunjungi pasien yang kedua, tidak jauh dari rumah pasien yang pertama, hanya saja beda kampung. Beliau berusia sekitar 29 tahun, tinggal disebuah gubuk kecil, berukuran 2x2 m, dengan kaki dirantai disebuah kayu dari potongan pohon kelapa. 

Kasusnya juga sama, beliau pernah dibawa 2 kali ke UPIP RSUD Aceh Selatan, dan 2 kali ke RSJ Aceh. Tapi pada akhirnya dirantai lagi oleh keluarga, disebuah gubuk bersebelahan dengan kandang kambing. Padahal saat dirawat di RSJ, pasien sudah bagus dalam orentasi sosialnya dan bersikap seperti orang normal biasanya.

Kondisi pasien pasung yang dikurung dalam gubuk berukuran 2x2 m

Kedua kasus pasien pasung diatas, juga sama dengan pasien-pasien pasung lainnya yang pernah dirujuk ke pelayanan kesehatan. Mereka dipasung kembali lantaran sering mengamuk, dan mencoba melukai diri dan orang disekitarnya, sehingga keluargapun memutuskan untuk memasungnya kembali.

Bukankah fenomena ini menjadi sebuah lingkaran hitam, yang menghabiskan banyak anggaran? Aceh bebas pasung yang diprogramkan dari tahun ke tahun, hanyalah program berulang yang tidak tahu entah kapan ada penyelesaiannya.

Tantangan

Setelah mereka bebas pasung, dibawa ke RSJ untuk mendapatkan perawatan, dan dikembalikan lagi ke keluarga, disinilah tantangan terbesar bagi pasien pasca gangguan jiwa. Mereka harus dihadapkan dengan stigma negatif di masyarakat, krisi kepercayaan, dan ditambah lagi tidak adanya aktivitas yang menunjang kehidupan mereka.

Sumber gambar dari https://www.google.co.id/imgres?imgur

Mereka bingung harus berbuat apa, yang biasanya saat masa perawatan di RSJ mereka disibukkan dengan aktivitas terapi, namun semua itu tidak didapat saat pulang ke rumah. Untung-untung kalau keluarga pasien memberikan dukungan positif bagi pasien dengan memberikannya pekerjaan, tapi jika kondisi keluarga pasien  hidup dalam pas-pasan, ditambah lagi dengan penolakan kelurga karena hanya bisa menjadi beban keluarga, membuat pasien menjadi stres. Bahkan tak jarang pasien yang sudah pulang minta dikembalikan lagi ke RSJ, karena merasa tidak nyaman di rumah.

Rasa ketidaknyamanannya itulah yang membuat pasien mengalami kambuh. Ekspresi yang ditunjukkan bisa marah, mengamuk, melukai orang lain sehingga meresahkan warga dan akhirnya dipasung kembali.  Jadi, hal yang sama kembali berulang, kapan selesainya Aceh bebas pasung kalau seperti ini terus kejadiannya?

Yang dibutuhkan

Pada kesempatan lain aku pernah melakukan pendampingan pasien gangguan jiwa di RSJ selama dua bulan, lewat komunitas Griya Schizofren Aceh, yaitu komunitas peduli kesehatan jiwa masyarakat. Melalui program pendampingan itu, kami mendengarkan apa yang menjadi keluhan pasien selama ini.

Saat berdiskusi dengan pasien di RSJ

Mereka butuh pekerjaan saat pulang ke kampung, perhatian dari keluarga, penerimaan dari masyarakat tanpa ada lebel gila dibelakang namanya, dan pengakuan atau penghargaan dari orang lain atas pencapaian yang diperolehnya. Tapi sayangnya mereka tidak menemukan itu.

Pasien yang beberapa kali masuk RSJ, ternyata mendapatkan ponolakan dari keluarga. Mereka dipandang sebelah mata dimasyarakat, sehingga menyulitkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan. Minimnya skill atau keterampilan mereka juga menjadi kendala dalam mencari pekerjaan, sehingga menjadi sebuah masalah ketika dikembalikan ke masyarakat.

Bahkan mereka lebih senang hidup di RSJ, sehingga RSJ pun penuh dan kelebihan quota dengan pasien. Meskipun mereka sudah sembuh, tapi mereka tidak mau pulang, sehingga pihak RSJ melakukan droping atau pemulangan paksa pasien, bagi keluarga pasien yang tidak menjempunya. 

Sungguh sesuatu hal yang menjadi patologis sosial, orang bisa nyaman dilingkungan yang tidak normal. Mungkin ke depannya ada kebijakan atau program pemerintah untuk merehabilitasi pasien pasca gangguan jiwa ini sebelum langsung dikembalikan lagi ke masyarakat.

Entah itu dengan memberikan skil atau keterampilan pada pasien, membekali keluarga dengan pengetahuan cara merawat pasien gangguan jiwa. Sehingga ketika dikembalikan ke kehidupan masyarakat, pasien dan keluarga benar-benar siap sehingga tidak ada lagi pengulangan kasus pemasungan.
 
Video saat kunjungan ke rumah pasien gangguan jiwa di Kabupaten Aceh Selatan