Rawa Tripa Kawasan Ekosistem Lauser yang Terjamah

Senin, Juli 25, 2016 15 Comments A+ a-

Oleh Yelli Sustarina 

“Rawa Tripa raya that uyoh, jinoe di neu cok sawet di pula 
Jika habeuh toe tanoh lempah krang, dum meulata han ka tuhoe ka 
Hana leu singkoe rotan ngoen bacee, habeuh dum reule atra yang kana ” 
Sayang Gampoeng Lon, Sayang Nanggroe lon” 

Begitulah penggalan lagu yang dilantunkan oleh musisi Aceh, Rafli Kande yang berjudul “Buya Kreung”. Lagu tersebut berhasil mencuri perhatianku, bukan karena suaranya yang merdu dan indah, tapi lebih ke makna dan pesan lagu yang disampaiknnya. 
Dalam lagu tersebut dikisahkan tentang ‘Rawa Tripa’ yang berubah fungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Padahal disitu terdapat banyak ekosistem yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Rawa gambut ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Terdapat kurang lebih 40 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan lele (biasa dan jumbo), bace, belut, paitan dan kerang. 
Lahan 1.605 Hektar Konsesi PT. Kalista Alam, yang sudah dicabut kini dirambah warga dan mulai ditanam sawit.
Foto: Chik Rini, Sumber : 
https://amperamedia.wordpress.com
Selain itu juga terdapat berbagai jenis satwa langka seperti beruang madu (helarcto malaynus), orang hutan sumatera (pongo abelii), harimau sumatera (panthera tigris sumatrensis), buaya muara (crocodilus porosus), burung rangkong (buceros sp), dan berbagai jenis satwa liar lainnya. Bahkan hasil penelitian Prof. Carel Van Schaik pada tahun 1996 menemukan kepadatan populasi orang hutan tertinggi di dunia terdapat di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil.

Foto : Yayasan Ekosisten Lestari (YEL) Sumber : http://chikrini.blogspot.co.id/
Hal yang terpenting ialah terdapat beberapa sumber daya alam non kayu seperti madu lebah dan berbagai jenis tumbuhan obat, yang tak terhitung jumlahnya mendiami rawa gambut tripa. Sehingga tim ahli dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, pada tahun 2014 lalu pernah mengusulkan agar rawa gambut Tripa dijadikan laboratorium alam (Science park). 
Sayangnya calon laboratorium alam dunia ini, sudah dahulu terjamah oleh tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari 61.000 hektar luas total hutan di rawa tripa, 50% diantaranya atau sekitar 36.185 hektar sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. 
Pembukaan lahan kelapa sawit ini menimbulkan berbagai polemik dimasyarakat. Adanya konflik sengketa lahan antara masyarakat dengan pemilik perusahaan, menjadi masalah besar yang tak kunjung usai bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Rawa Tripa. Begitu juga dengan ekosistem Rawa Tripa yang terganggu akibat dari pembakaran hutan dan penebangan pohon. 
Padahal Sejak tahun 2015 lalu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, melalui kepala Dinas Kehutanan Aceh telah menetapkan Rawa Tripa yang berada di kawasan Ekosistem Lauser (KEL) sebagai kawasan lindung gambut. Hal ini tentunya perlu ditinjau kembali terkait moratorium dan review perizinan perkebunan kelapa sawit di Aceh. 
Review perizinan bukan hanya menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan lahan namun juga menyelesaikan antara konflik agraria masyarakat dan perusahaan. Dengan adanya review izin ini, penting untuk melihat tindakan perusahaan yang melanggar dengan merambah hutan secara ilegal. Izin Hak Guna Usaha (HGU) nya pun dicabut pemerintah, jika terbukti melanggar. Hal ini bisa dijadikan pembelajaran bagi perusahan-perusahaan lain yang akan membuka izin usaha perkebunan. 
Pemerintah harus tegas dalam melakukan Review Izin untuk Penataan Perizinan, jika tidak ingin hutan gambut di Rawa Tripa terjamah lebih banyak lagi. Adapun upaya yang bisa dilakukan ialah dengan memperkenalkan kawasan hutan lindung melalui kampanye di media sosial. 





Lomba blog yang diselenggarakan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) ini adalah salah satu alat kampanye yang tepat dilakukan untuk mengetahui tentang Izin untuk penataan perizinan. Akan tetapi ada lebih baiknya lagi diadakan seminar review kebijakan perizinan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan seperti yang dilaksanakan di Palu Sulawesi tengah pada Januari tahun 2015 lalu. 

Dari Hasil seminar tersebut point yang bisa diambil dalam Review Izin untuk penataan Perizinan ialah; 
  1. Kebijakan nasional yang memberikan peluang ke pengambilan kebijakan lokal untuk mengeluarkan izin-izin perkebunan sawit. Kebijakan yang diberikan kepada masing-masing daerah ini, haruslah ditinjau kembali untuk menghindari praktek Korupsi Di Sektor Kehutanan. 
  2. Melakukan riset dan studi hamdal terhadap daerah atau lahan yang akan dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit. 
  3. Adanya transparansi dan keterbukaan dari pemerintah dalam memberikan izin kepada pengusaha. Hal ini penting untuk dilakukan supaya perusahaan yang akan membuat HGU tahu kawasan hutan yang dilindungi dan tidak boleh dijadikan lahan perkebunan. Jadi, jika sewaktu-waktu perusahaan melanggar sesuai ketentuan yang sudah disepakati, maka pemerintah berhak memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut. 
  4. Melibatkan masyarakat dalam mengelola lahan sesuai dengan kearifan lokal dan adat masyarakat setempat. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik antara masyarakat versus perusahaan pemerintah. Seperti Konflik Lahan yang terjadi di Nagan Raya baru-baru ini. Persoalah seperti yang diberitakan di atas tidak akan terjadi jika sejak dari awal pemerintah memberikan informasi yang benar kepada pengusaha dan masyarakat, tentang lokasi yang akan dijadikan tempat usaha. Undang-undang tentang keterbukaan informasi publik dapat dijadikan sebagai landasan pemberian informasi, kepada pihak yang berkepentingan dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini tentunya dapat meminimalisir terjadinya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. 
  5. Pendokumentasian tentang luas kebun sawit yang dikelola sesuai perizinan yang dikeluarkan pemerintah. Ada baiknya dilakukan pendokementasian berupa sistem pencatatan yang jelas supaya menghindari konflik lanjutan, setelah izin diberikan dan potensi kerugian yang diperoleh pemerintah daerah setelah izin dikeluarkan. 
  6. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, yang menerapkan praktik pengelolaan perkebunan ramah lingkungan. Hal ini tentunya untuk menghindari ekspansi yang berakibat deforestasi. 
Pemerintah merupakan ujung tombak dalam pemberian perizinan HGU, oleh karena itu perlu adanya Review Izin untuk Penataan Perizinan secara benar untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berkelanjutan. 
Kisah tentang penjamahan Rawa Tripa oleh tangan-tangan jahil manusia, yang merusak ribuan hektar lahan gambut ini, dapat dijadikan suatu pembelajaran untuk kita semua. Supaya jangan ada lagi tangan-tangan yang rakus dalam mengekploitasi sumber daya alam seperti di Rawa Tripa ini.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog MaTA : "Review Izin untuk Penataan Perizinan", yang diselenggarakan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)

Peta Kawasan Tripa. Sumber: WWF Indonesia,
di ambil dari Website : 
http://www.mongabay.co.id/


15 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
02 Agustus, 2016 08:11 delete

Selamat Rawa Tripa untuk anak-anak cucu kita

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
20 Agustus, 2016 05:14 delete

Good article yel 👍👍👍
Moga aja banyak yang sadar kalau kelangsungan ekosistem tanggung jawab kita semua, masyarakat dan pemerintah

Reply
avatar
Catatan kecil
AUTHOR
26 Agustus, 2016 01:01 delete

jagalah jika ingin bersahabat dengannya..

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
26 Agustus, 2016 02:41 delete

Mari kita menjaga utk kehidupan umat manusia..

Reply
avatar
ariel
AUTHOR
27 Agustus, 2016 18:33 delete

Ada data ngak berapa banyak jumlah polisi hutan yang dikerahkan menjaga rawa tripa?? atau polisi hutan memang harus bekerjasama dengan rakyat untuk bisa melindungi hutan ini?

Reply
avatar
29 Agustus, 2016 18:26 delete

iya.,, harus kita jaga!

Reply
avatar
29 Agustus, 2016 18:30 delete

Data itu belum dapat saya bang, munkin bisa ditanya langsung pada tim Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), mungkin sama mereka ada datanya!

Reply
avatar
Mimin Web
AUTHOR
30 Agustus, 2016 09:07 delete Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
avatar
Mimin Web
AUTHOR
30 Agustus, 2016 09:09 delete

Kenapa demikian?
Karena perolehan izin didapatkan melalui pelicin.

Reply
avatar
Raiz
AUTHOR
31 Agustus, 2016 09:22 delete

Bagus kak tulisannya, informatif karena aiz sebelumnya belum pernah tau tentang kuala tripa jadi tau karena baca tulisan kakak

Reply
avatar
01 Juni, 2017 08:51 delete

Ya., bisa jadi mungkin begitu.

Reply
avatar
01 Juni, 2017 08:52 delete

Terima kasih Fenica, iya semoga saja begitu!

Reply
avatar
01 Juni, 2017 08:53 delete

Iya., semoga bermanfaat ya!

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
22 Agustus, 2019 02:07 delete

Semoga kuala tripa bsa dilestarikan oleh pemerintah dan kt selaku masyarakat harus tegas mengawasi siapa aja yg merambahnya hrs ditindak tegas bila perlu dihukum berat demi ekosistem dan anak cucu kita kelak. Wasalam

Reply
avatar