Kesalahanku Menjadi Ajang Silaturahmi

Senin, April 18, 2016 0 Comments A+ a-

Penulis Yelli Sustarina Lagi Tanda Tangan Sertifikat
Oleh : Yelli Sustarina

“Bandel, bodoh, keras kepala, tergesa-gesa, tidak mendengar dan bla,bla bla, bla” 

komentar yang aku terima dari salah seorang narasumber pembedah buku Catatan pengrajin Kasab dan Asal Mula Bahasa Aneuk Jamee di Kota Naga. Komentar seperti itu bukanlah kali pertama bagiku, bahkan sudah puluhan kali semenjak aku berjumpa dengannya 6 bulan yang lalu. 

Haruskah Aku merasa sedih...? No.., no..,no..,! 

Karena komentar itulah yang membangkitkan semangat menulisku, hingga akhirnya aku bisa membawanya ke kota pelajar, dan bisa bertatap muka dengan para mahasiswa. 

Penulis Yelli Sustarina Lagi Menyampaikan Maksud dan Tujuan Bukunya
Sebagai konsekwensinya aku harus terima apapun yang akan disampaikannya kepadaku di ruang publik. Aku akui terdapat banyak kesalahan kepenulisan dalam buku yang aku tulis. Oleh karena itu, aku melakukan kegiatan pra bedah buku sebelum buku tersebut diterbitkan.

Sebenarnya tidak ada yang namanya pra bedah buku, yang ada hanyalah bedah buku. Akan tetapi kenapa aku melakukannya? 

Alasan pertama ialah aku ingin melihat ketertarikan publik terhadap buku yang ku tulis. 

Kedua, aku ingin menumbuhkan semangat menulis bagi teman-temanku. 

Ketiga, buku yang ku tulis dapat menjadi pemantik bagi para penulis untuk membuat penelitian tentang kajian sejarah dan kebudayaan di Aceh Selatan. 

Dan alasan terakhir ialah, aku ingin memperkenalkan salah seorang penulis asal Aceh Selatan. Alasan terakhir ini, menjadi alasan terkuat untuk membuat kegiatan pra bedah buku ini. 

Rafli Kande Memberikan Sambutan Nasehat untuk Mahasiswa/i Aceh
Penulis Yelli Sustarina bersama Narasumber dari Kanan Herman RN - EMTAS - Essi Hermalisa
Benar saja, kegiatan itu berhasil mempertemukan 3 penulis yang berasal dari Aceh Selatan. Kemudian juga mempertemukan dengan seorang musisi ternama Aceh yang juga berasal dari Aceh Selatan. Ternyata orang Aceh Selatan hebat-hebat ya..! 

Nah, kenapa juga masih disebut dengan Aceh ketelatan? 

Upss...,hanya kamu yang tiggal di Aceh Selatan bisa merasaknnya. 

Semoga kedepan menjadi Aceh kecepatan, jika sumberdaya manusianya dipakai. 

OK.., Kembali lagi ke topik tulisan ini. Kesalahanku menjadi Ajang Silaturahmi. 

Kesaalahanku pertama, terlalu berani. Ya..., berani mengambil resiko. Ada dua kemungkinan yang aku pikirkan saat itu, orang-orang akan menertawaiku dan mengapresiasi usahaku. Aku tetap melangkah, karena aku tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya, samahalnya saat aku memulai menulis dua buku yang dibedah ini. Aku memberanikan diri untuk membedah buku yang isinya jauh dari kesempurnaan. Ketidaksempurnaan ini tentunya karena ada beberapa keterbatasan. Namun, ya..., sudahlah aku tidak membahas panjang lebar keterbatasan itu dalam tulisan ini. 

Untuk terlaksananya kegiatan pra bedah buku ini, aku memberanikan diri menegosiasi untuk meminta bantuan sejumlah dana, kepada beberapa pihak instansi dan orang yang dianggap terpandang (memberi pencerah bagi masyarakat Aceh Ketelatan). Dari beberapa proposal yang diajukan hanya satu orang yang membantu dalam bentuk dana tunai sebesar Rp1.500.000. 

Pihak panitia penyelenggara yang sangat hebat pun memutar otak bagaimana acara ini tetap terlaksana. Dana sebanyak itu juga harus dicukupkan dengan biaya transportasi dan akomodasi, untuk narasumber pembedah yang berasal dari daerah. Kemudian keperluan photocopy buku, sertifikat, surat menyurat, konsumsi dan sebagainya harus juga dipikirkan. 

Akhirnya kamipun melakukan kerjasama dengan dua CV photocopy yang ada di Banda Aceh, dan yang membuat kami kagum, mereka bukanlah berasal dari Aceh Ketelatan, namun mereka mau membantu. Nah, orang Aceh Ketelatan sendiri hanya sampai ke ucapan “kami mencoba membantu” (hanya ngomong doang). 

Dengan biaya terbatas, kenapa tidak melibatkan narasumber yang berasal dari Ibu Kota saja? Jawabannya ialah karena aku menyukai tantangan, itu kesalahanku yang kedua. Narasumber yang ku undang dari daerah ini, bukanlah akademisi, bukan juga pejabat. Tapi ialah pemulung yang idealis. 

Pelajar otodidak yang telah menghasilkan 16 buku dalam kurun waktu 16 tahun sejak dia mulai menulis di usia 54 tahun. Dia tidak segan mengkritisi terhadap suatu hal yang dianggapnya tidak sesuai, sehingga banyak pemerintahan dari Aceh Ketelatan yang tidak menyukai dirinya. 

Aku sudah beberapa kali mendapat kritikan darinya sebelum pada akhirnya buku itu dibedah. Dia tidak setuju terhadap hal yang aku tulis, karena data otentiknya belum bisa dijelaskan. Akan tetapi aku tetap mengundangnya meskipun aku mengetahui akan diserang habis-habisan nanti di ruang publik. 

Ya.., itulah tantangan yang aku maksud, paling tidak keinginanku untuk membawanya ke kota pelajar dan mengenalkannya di hadapan mahasiswa sudah terujud. 

“Keep smile.., meskipun mendapat serangan” 

Kesalahanku yang berikutnya ialah melawan arus. 

Aku sadar betul, aku bukanlah seorang sejarahwan dan budayawan, apalagi penulis ulung. Aku hanya seorang pemudi yang menuliskan apa yang dipikirkan, seperti media facebook yang meneyediakan tempat bagi pikiran seseorang menjadi bentuk tulisan. Hanya saja aku mencoba dalam bentuk buku. 

Hal ini aku lakukan untuk mengisi kekosongan dari penulis yang berasal dari Aceh Ketelatan. Buku terkait sejarah dan kebudayaan yang berasal dari Aceh Ketelatan sangat minim dibandingkan dengan Aceh pada lintas tengah ataupun timur. Padahal banyak pemikir ulung yang berasal dari Aceh Ketelatan. 

Adapun buku-buku yang membahas Aceh Ketelatan itu terbitan di bawah tahun 2000-an. Kalaupun ada buku terbitan diatas tahun 2000, langsung menemui penulisnya jika ingin mendapatkan buku tersebut. Disini aku merasa sedih, betapa kurang pedulinya pemerintahan Aceh Ketelatan terhadap sumber bacaan yang sebenarnya cara cepat untuk mengubah Aceh Ketelatan menjadi Aceh kecepatan. Keslahanku terakhir ialah memaksakan kehendak. Jika kehendak ini tidak dipaksakan, mungkin ajang silaturahmi tidak terjadi. 

Penulis Yelli Sustarina bersama Panitia Pelaksana dan Narasumber Senior
Dengan biaya minim, persiapan panitia kurang dari 2 minggu, isi buku yang masih ambur adur, aku tetap melaksanakan niatku itu. Memang banyak yang mengatakan aku tergesa-gesa, ceroboh dan sebaginya. Akan tetapi aku mempunyai alasan untuk melakukan itu. 

Aku tidak akan membuat pra bedah buku, jika tulisan ku sudah sempurna, para narasumber pembedah akan banyak diam dan menyetujui hasil karya ku jika tulisanku sudah sempurna, dan aku akan mendapat sedikit ilmu jika tulisan tersebut sudah sempurna. Karena ketidaksempurnaan inilah yang membuat diskusi pra bedah buku ini menjadi menarik, sehingga para peserta yang menhadiri acara bedah buku ini bisa bertahan sampai akhir.


“Kesalahan bukanlah untuk melemahkan, tapi kesalahan merupakan pembelajaran hebat untuk menggapai kesempurnaan”


Fotografer - +SUDARLIADI ALISYAHIDAR (0853 7033 4010)