PENARI yang Menjadi PEGAWAI

Kamis, Agustus 27, 2015 4 Comments A+ a-



Putri mengambil satu buku yang tergeletak di atas meja yang bertaburan buku itu. 

hmm.., Bertahan Dalam Badai?” 

Lama dia memandangi buku tersebut, sembari menunggu koneksi internet di laptopnya. Dibukanya halaman buku tersebut, dibacanya kalimat per kalimat, kemudian dibaliknya lagi, hingga dia menemukan sebuah judul yang membuatnya tertarik membaca cerpen tersebut.

Di bab 18 tertulis judul cerpen “menari”, Putri melihat sampul bukunya yang bewarna merah maron. Tertulis “Darul Qutni Ch, Bertahan Dalam Badai, Kumpulan Cerpen dan Puisi”. 

Tidak asing nama itu menurutnya, dia mulai membaca beberepa kalimat dari penggalan cerpen tersebut. Rupanya settingan tempat di cerpen tersebut ada di Kota Singkil dan Tapaktuan, daerah yang tidak asing lagi bagi Putri, tentulah ini daerah tanah kelahirannya.

Dia mulai tertarik untuk membaca kelanjutan cerpen tersebut. Dipertengahan cerita, teringatlah dia akan nama “Darul Qutni Ch”. Barulah dia menyadari bahwa penulis buku tersebut adalah orang Tapaktuan. 

Nama itu sering didengarnya saat duduk di bangku sekolah dasar, karena buku-bukunya sering ia baca saat dia berusia 8 tahun, salah satunya buku tentang “Legenda Tapaktuan

Kemudian Putri melanjutkan bacaanya itu, dalam cerpen tersebut mengisahkan seorang anak dari Kota Singkil yang ingin melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang ada di Tapaktuan. 

Ternyata cerpen itu terbitan 1987 di Surat Kabar Mercu Suar. Putri membayangkan sejenak bagaimana kondisi Kabupaten Aceh Selatan kala itu.

Dalam cerpen tersebut tergambar bagaimana sulitnya transportasi antara Kota Singkil dengan Kota Tapaktuan. Pendidikan pun juga masih terbatas, hanya ada di Kota Tapaktuan, sedangkan di Kota singkil hanya ada sekolah tingkat dasar, itupun sangat minim guru. 

Putri makin tertarik untuk membaca cerpen tersebut, hingga sampai ke sebuah penggalan yang membuatnya berulang-ulang kali dibacanya.

Dalam percakapan Sakir (tokoh dalam cerpen) dengan seorang bapak yang ditemuinya saat sebelum testing;

Bapak  : Kalau uang tidak cukup dan bekingan pun tidak ada, lebih baik pulang saja engkau kembali ke Singkil.

Sakir    :“Mengapa begitu, Pak?”. Sakir heran, orang itu ditatapnya dengan tajam.   “Nilai NEM saya kan sudah memenuhi syarat, Pak?

Bapak    : Betul kamu itu, Nak. Tapi engkau tidak pandai menari!

Sakir      : “Menari?” Sakir nampak kebingungan

Bapak    : Ya, tahukah engkau menari?

Sakir      : “Oh, tentu Pak. Di Singkil saya pernah belajar menari yaitu tari 
                  Dampeng pakai selendang, Payung dan Piring. Bahkan saya juga bisa    
                 tari pakai lilin”. Sakir menjawab dengan penuh keyakinan.
                 “Apa salah satu syarat testing SPG itu kita disuruh menari, Pak?”

Mendengar pertanyaan Sakir, bapak di depannya tertawa terpingkal-pingkal. Sakir semakin heran melihat tingkah bapak itu.

Bapak    : Gendang tarimu itu tidak sama dengan gendang tari disini.

Sakir      : “Apakah gendang disini bukan terbuat dari kulit kerbau dan kambing, Pak?”

Sakir begitu polosnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan si bapak. Namun, bapak tersebut semakin tertawa terpingkal-pingkal.

Bapak    : Siapa namamu, Nak?

Sakir      : Nama saya Sakir

Bapak    : O.., bukannya fakir bin miskin?

Sakir      : “Bukan, Pak. Tapi saya memang anak orang miskin dan ayah saya tidak ada lagi. Ayah saya sudah meninggal tiga tahun yang lalu”.

Bapak    : Nah, jika demikian pasti engkau tidak mampu mengikuti tari gendang Tapaktuan.

Sakir      : “Saya tidak mengerti maksud Bapak”. Sakir semakin bingung.

Bapak    : Sudahlah, nanti engkau sendiri pasti bisa menjawabnya.

Namun hingga kini Sakir tidak pernah mengerti bunyi sebuah peribahasa 
"Bagaimana bunyi gendang, demikian pula tarinya’”. 

Sakir yang menaruh harapan tinggi karena nilai NEM mencukupi untuk ikut testing masuk
ke SPG, harus pulang dengan rasa kecewa karena tidak pandai menari.

Putri tertegun sesaat, setelah membaca isi cerpen tersebut. Tidak terbayangkan olehnya 30
tahun lalu orang di Tapaktuan sudah pandai ‘menari'. 

Wajarlah hasilnya sekarang orang orang yang terlibat di dalam pemerintahan saat ini
merupakan cetakan dari penari penari yang mahir dahulunya.

Laptopnya yang dari tadi mencoba menyambung ke jaringan internet, masih proses  
loading.  Sudah hampir setengah jam dia berada di Ruang Referensi Pustaka Daerah Aceh 
Selatan. 

Susahnya koneksi internet yang ada di Samadua, mengharuskan Putri untuk pergi ke 
pustaka untuk mendapatkan jaringan WiFi. Tapi hasilnya sama saja, laptopnya masih 
dalam proses loading.  

Susahnya hidup di kampung, teringat bagaimana mudahnya fasilitas yang ada di kota 
Banda Aceh”. Putri mengeluhkan nasibnya.

Kemudian dia menanyakan ke pegawai ruangan itu, apakah ada komputer yang bisa 
digunakan pengunjung? Laki-laki seperuh baya penjaga ruang referensi itu, menunjuk ke 
ruang baca.

Putri menuju ke ruang baca, komputer tersebut hanya terdapat dua buah dan digunakan 
oleh pegawai yang ada disitu. Rupanya para pegawai tersebut sedang menonton youtube 
yang isinya seputar gosip selebritis.

Putri mendesah, merasa kesal melihat para pegawai itu 

Pantaslah internetnya lola (Loading lama), rupanya dipakai pegawai menonton youtube

Putri mengurungkan niatnya untuk memakai komputer tersebut. Ruangan itu dipenuhi oleh 
gelak tawa para pegawai, sembari bergosip tentang kelahiran anak seorang aktor yang 
terkenal di negri ini. 

Inikah hasil dari penari dua puluh delapan tahun silam?” 
 Putri melihat sinis para pegawai itu.


Kemudian dia mengambil buku “Bertahan Dalam Badai” dan bermaksud 
untuk meminjamnya. Sesampainya di meja peminjaman buku, pegawai perempuan yang 
berumur separuh baya itu menyodorkan buku tebal dan pulpen.

Isi sendiri dek buku yang dipinjam” kata pegawai tersebut.
nghaaaa..? saya yang isi, Buk, jadi Ibu tugasnya Apa?" 

Putri sedikit terkejut dan heran dengan sistem di pustaka ini. Sangat berbeda dengan pustaka kampusnya yang ada di Kota Banda Aceh, begitu juga dengan Pustaka Wilayah, pelayanannya jauh berbeda dengan pustaka yang ada di daerah.

Saat perjalanan pulang, Putri terus terpikir tentang kata 'menari'. Dia berniat mendatangi penulis buku tersebut. Disepanjang jalan beliau bertanya kepada orang Tapaktuan, dimana rumah Pak Darul Qutni. Hingga akhirnya dia menemukan rumahnya yang berada tidak jauh dari Perpustakaan Daerah.
            
Putri mengetuk pintu rumah yang terlihat sederhana itu dari luar. Setelah menunggu beberapa menit, keluarlah seorang laki-laki tua memakai baju koko dan peci, lengkap dengan sorban putih yang disandang di bahunya. 

Putri sedikit terkaget karena photo yang ada di buku genggamannya, jauh berbeda dengan orang yang ditemui itu. Terbayang olehnya sosok penulis novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yaitu Buya Hamka.

Bersambung....

4 comments

Write comments
Haya Nufus
AUTHOR
27 Agustus, 2015 23:58 delete

Ditunggu cerita sambungannya Yelli. :)

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
28 Agustus, 2015 19:53 delete

part 2.... mana? cepat-cepat.. hhehe

Reply
avatar
28 Agustus, 2015 20:15 delete

Ok.., cari inspirasi dulu untuk buaat lanjutannya.., hahahaha

Reply
avatar
26 Februari, 2017 00:28 delete

Ok.., masih mikir ne, cari ide yg pas untuk nulisnya!

Reply
avatar