A Little Happiness for Schizophrenia
Writer: Mauizah Hasanah
Editor: Yelli Sustarina
Muiz menghadiahkan gelang tangan ke ODGJ |
Semua ini berawal dari inspirasi dan pengalaman yang di ceritakan oleh Triana Rahmawati, founder Griya Shcizofren asal Solo. Beliau telah berhasil membuat suatu gebrakan yang bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki gangguan mental atau dalam dunia medis dikenal dengan istilah Schizofrenia.
Griya Shcizofren, baerasl dari kata Griya yang berarti Rumah. Schizofren sendiri merupakan kepanjangan dari Social,
Humanity and Friendly. Griya Schizofren merupakan sebuah wadah atau tempat pemberdayaan
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Kegiatan
yang dilakukan berupa terapi Komunikasi/Sharing, terapi bermain, terapi music,
terapi minat-bakat dan terapi makan dan minum. Tujuannya hanya satu,
memberdayakan kembali ODGJ sehingga mereka bisa kembali mandiri melakukan
aktivitas kesehariannya plus dengan menjadikan mereka orang kreatif, serta produktif. Alhasil lambat laun mereka bisa berinteraksi dan diterima kembali di masyarakat.
Dengan niat tulus untuk berbagi dan didasari
oleh jiwa kemanusiaan, aku dan kedua temanku memberanikan diri untuk hadir
ditengah-tengah mereka ODGJ, dengan membentuk komunitas Griya Schizofren
Chapter Aceh. Berkat dukungan teman-teman yang luar biasa alumni Deram Maker
2015, kamipun melakukan kunjungan pertama di Rumah Sakit Jiwa Aceh tepatnya
pada hari jumat, tanggal 10 April 2015.
Jum’at pagi. Hari kesepuluh dibulan April, dering alarm di pagi
buta membuatku mau tidak mau harus bangun. Sembari merenggangkan
otot-otot yang sedikit kaku seketika tidur, aku membaca pesan masuk
dari salah seorang teman yang baru ku kenal
melalui sebuah forum kepemudaan yang ku ikuti dua minggu lalu. Aku teringat bahwa hari ini ada kunjungan ke Rumah Sakit
Jiwa
Aceh. Ini adalah kunjungan awal dalam projek sosial kami, Griya Schizofren
Chapter Aceh.
Bagiku Ini merupakan kali pertama berkunjung ke Rumah
Sakit Jiwa. Ada sedikit ketakutan yang melintas di benakku, mungkin
karena aku sempat termakan doktrin yang dibentuk dalam masyarakat terkait orang
– orang yang memiliki gangguan jiwa. Aku bangun dan bergegas menuju meja
belajarku, berniat mencari informasi di internet tentang kondisi rumah sakit
jiwa, tujuannya supaya mentalku siap saat berada dilingkungan yang benar –
benar baru bagiku. Kubuka situs pencarian lalu aku mengetik beberapa kata
kunci “hal-hal yang harus
diperhatikan ketika berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa”. Namun hasil yang
keluar di mesin pencarian sama sekali tidak ada hubungan dengan informasi yang
aku butuhkan.
Udara pagi hari menghembuskan aroma segar hamparan padang rumput
di sepanjang jalan dari rumahku menuju jalan raya utama. Jarum jam menunjukkan
pukul 07.45, seharusnya aku sudah sampai di persimpangan yang aku dan teman ku
janjikan untuk bertemu, berjarak beberapa meter dari rumah sakit jiwa. Namun
kenyataannya aku masih ditengah hiruk pikuk kendaraan, kondisi ruas jalan
dipagi hari faktanya memang ramai, kecuali hari libur. Kupercepat laju
scooterku agar aku segera sampai dan tidak membuat teman – teman ku menunggu
terlalu lama.
Beberapa mobil pekerja (read :
dokter dan perawat) mulai memadati area parkir yang berdekatan dengan gerbang
utama. Suasana halaman rumah sakit jiwa belum terlalu sibuk, beberapa orang
pasien yang memakai piyama hijau terlihat sedang berlalu lalang, beberapa yang
lainnya sedang duduk bercengkrama dengan temannya. Aku dan temanku Yelli, duduk
mengobrol sembari menunggu kedatangan teman lain. Yelli menceritakan
pengalamannya selama melakukan praktek profesi di rumah sakit ini. “
pasien shcizofren
nggak bisa lihat benda-benda asing” kata yelli sambil menunjukkan kalung yang
ku pakai. Lalu dia melanjutkan dengan beberapa penjelasan lain yang tidak
kutemukan di mesin pencarian subuh tadi.
Tepat jam 08.20, Zia teman yang kami tunggu-tunggu datang. Tak
lama kemudian kami bergegas menuju wilayah intermediet dimana pasien jiwa berkumpul. Aku melihat beberapa pasien sedang duduk di bangku
pinggir koridor yang sedang kami lewati, rasa takut menghampiri lagi, dengan
sigap aku berlindung di balakang langkah temanku.
Kuperhatikan ada beberapa orang perempuan yang masih dikurung
dalam jeruji, sedang menyanyi dengan merdunya. Kami bertemu dengan
beberapa pasien yang sudah hampir sembuh namun masih bergantung kepada
obat atau sering disebut pasien Bekerja Karena Obat
(BKO), salah satunya pak DE ( nama disamarkan), dia begitu senang berjumpa
dengan teman ku yelli yang notabenenya dulu praktek disitu.
Kami bersalaman dan memperkenalkan diri, lalu Pak DE mengobrol sambil sesekali
di selipkan kosakasta bahasa jepang dalam percakapan kami, usut punya usut Pak
DE adalah seorang pasien waham yang terobsesi sekali dengan negeri Jepang.
Cerita pak DE dominannya tentang kehidupan di jepang, mulai dari
bahasa Jepang, pekerjaan, sampai kepribadian orang jepang yang terkenal dengan
kedisiplinannya, katanya pak DE juga mempraktekkan prilaku disiplin dan cekatan
dalam kesehariannya. Tak terlepas dari keramahannya, Pak DE berhasil membuat
kami beberapa kali terkekeh geli dengan leluconnya.
Seluruh pasien ruangan Bugenvile yang dihuni oleh laki laki pun
dilepas, setiap pagi mereka melakukan aktifitas kebugaran yaitu senam. Umur
mereka beragam mulai 17 tahun sampai 60 tahun. Meskipun mereka menyandang gelar
sebagai pasien jiwa, namun mereka memiliki bakat dan kelebihan yang luar biasa, ada
yang bisa mengaji, bernyanyi, berbahasa Inggris, bahasa jepang dan beberapa
hal menakjubkan lainnya, mereka punya bakat yang harus di kembangkan.
Berinteraksi dengan pasien jiwa
membuat kami tak henti tertawa, semula tujuan kami kesini untuk menjadi
teman dan menghibur mereka, kenyataannya merekalah yang membuat kami terhibur
dengan lelucon dan tingkah konyolnya. Nyanyian dan rawut wajah polos mereka
begitu menghibur. Aku pribadi merasa lupa kalau aku sedang berada
di rumah sakit jiwa, begitulah gambarannya.
Berkunjung ke Rumah sakit Jiwa dan bertemu dengan pasien jiwa tidak
se-menyeramkan yang aku
fikirkan, dan seperti
apa yang difikirkan orang pada
umumnya. Ini hanya masalah persepsi yang sudah terbentuk dalam masyarakat.
Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk mendiskriminasi dan
bersikap tidak baik terhadap Penderita kelainan jiwa.
Selama ini penderita gangguan jiwa selalu dikucilkan,
didiskriminasi oleh masyarakat bahkan ada yang tega mengatakan mereka sebagai
“sampah masyarakat” yang harus di jauhi. Padahal pengucilan dan diskriminasi hanya
memperburuk kondisi penderita itu sendiri.
Sejatinya tempat terbaik bagi penderita kelainan mental bukan di
panti rehabilitasi mental atau rumah sakit jiwa, apalagi dipasung atau
ditelantarkan di jalanan. Tempat terbaik bagi meraka adalah berada ditengah –
tengah keluarganya. Mereka membutuhkan perhatian, pengertian, cinta dan kasih
sayang.
Itulah yang membuat aku dan teman-temanku tergerak untuk
melakukan sebuah aksi sosial pemerhati pasien jiwa untuk
membantu proses pemulihan kondisi jiwa mereka.
Pasien jiwa memiliki hak yang sama seperti orang normal pada umumnya,
mereka hanya kehilangan kewarasannya saja, bukan berarti mereka hina dan harus
di jauhi. Mereka membutuhkan dukungan untuk bisa kembali sembuh.
Jam ditangan menunjukkan pukul 10.30 saatnya kami bergerak
pulang, meski sejujurnya kami masih sangat betah berada ditengah-tengah mereka.
Kudapati mereka terhibur dengan kedatangan kami. Lalu aku dan teman ku
berpamitan untuk segera pulang.
Cerita belum berakhir sampai disini, saat perjalanan pulang aku
mampir kesebuah kios tak jauh dari gerbang rumah sakit, kudapati seorang lelaki
tua beruban menyapaku, dan membantuku menyebrang, padahal aku bisa saja
menyebrang sendiri. Terakhir pak tua itu mengucapkan terimakasih dan meminta
aku dan teman temanku untuk sering berkujung ke rumah sakit jiwa lagi. Mereka mempunya hati yang tulus,
sebegitu tulusnya sampai mereka sangat menghargai kebahagiaan kecil yang
dihadirkan oleh kami.
Aku
banyak belajar hari ini, belajar dari mereka ODGJ,
belajar kejujuran, ketulusan, dermawan, solidaritas, ketabahan dan kesabaran
serta niat menghargai orang lain. Terkadang nilai-nilai tersebut sudah mulai
luntur bahkan sudah sulit aku temukan dalam kepribadian orang yang mentalnya masih
sehat. Sekali lagi, orang – orang yang memiliki gangguan mental tidak
semenyeramkan dengan doktrin yang dibentuk dalam masyarakat.
“Bukan telinga kita yang tuli, tapi nurani yang hilang yang akhirnya tak
mampu lagi mendengar suara saudara kita sendiri” –Griya Schizofren