A Little Happiness for Schizophrenia

Jumat, April 17, 2015 0 Comments A+ a-


Writer: Mauizah Hasanah
Editor: Yelli Sustarina
Muiz menghadiahkan gelang tangan ke ODGJ

Semua ini berawal dari inspirasi dan pengalaman yang di ceritakan oleh Triana Rahmawati, founder Griya Shcizofren asal Solo. Beliau telah berhasil membuat suatu gebrakan   yang bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki gangguan mental atau dalam dunia medis dikenal dengan istilah Schizofrenia.
Griya Shcizofren, baerasl dari kata Griya yang berarti Rumah. Schizofren sendiri merupakan kepanjangan dari Social, Humanity and Friendly. Griya Schizofren merupakan sebuah wadah atau tempat pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).  Kegiatan yang dilakukan berupa terapi Komunikasi/Sharing, terapi bermain, terapi music, terapi minat-bakat dan terapi makan dan minum. Tujuannya hanya satu, memberdayakan kembali ODGJ sehingga mereka bisa kembali mandiri melakukan aktivitas kesehariannya plus dengan menjadikan mereka orang kreatif, serta produktif. Alhasil lambat laun  mereka bisa berinteraksi dan diterima kembali di masyarakat.
Dengan niat tulus untuk berbagi dan didasari oleh jiwa kemanusiaan, aku dan kedua temanku memberanikan diri untuk hadir ditengah-tengah mereka ODGJ, dengan membentuk komunitas Griya Schizofren Chapter Aceh. Berkat dukungan teman-teman yang luar biasa alumni Deram Maker 2015, kamipun melakukan kunjungan pertama di Rumah Sakit Jiwa Aceh tepatnya pada hari jumat, tanggal 10 April 2015.
Jum’at pagi. Hari kesepuluh dibulan April, dering alarm di pagi buta membuatku mau tidak mau harus bangun. Sembari  merenggangkan otot-otot yang sedikit  kaku seketika tidur,  aku membaca pesan masuk dari salah seorang teman yang baru ku kenal melalui sebuah forum kepemudaan yang ku ikuti dua minggu lalu. Aku teringat bahwa hari ini ada kunjungan ke Rumah Sakit Jiwa Aceh. Ini adalah kunjungan awal dalam projek sosial kami, Griya Schizofren Chapter Aceh.
Bagiku  Ini merupakan kali pertama berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa.  Ada sedikit ketakutan yang melintas di benakku, mungkin karena aku sempat termakan doktrin yang dibentuk dalam masyarakat terkait orang – orang yang memiliki gangguan jiwa.  Aku bangun dan bergegas menuju meja belajarku, berniat mencari informasi di internet tentang kondisi rumah sakit jiwa, tujuannya supaya mentalku siap saat berada dilingkungan yang benar – benar baru bagiku.  Kubuka situs pencarian lalu aku mengetik beberapa kata kunci “hal-hal yang harus diperhatikan ketika berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa”. Namun hasil yang keluar di mesin pencarian sama sekali tidak ada hubungan dengan informasi yang aku butuhkan.
Udara pagi hari menghembuskan aroma segar hamparan padang rumput di sepanjang jalan dari rumahku menuju jalan raya utama. Jarum jam menunjukkan pukul 07.45, seharusnya aku sudah sampai di persimpangan yang aku dan teman ku janjikan untuk bertemu, berjarak beberapa meter dari rumah sakit jiwa. Namun kenyataannya aku masih ditengah hiruk pikuk  kendaraan, kondisi ruas jalan dipagi hari  faktanya memang ramai, kecuali hari libur. Kupercepat laju scooterku agar aku segera sampai dan tidak membuat teman – teman ku menunggu terlalu lama.
Beberapa mobil pekerja (read : dokter dan perawat) mulai memadati area parkir yang berdekatan dengan gerbang utama. Suasana halaman rumah sakit jiwa belum terlalu sibuk, beberapa orang pasien yang memakai piyama hijau terlihat sedang berlalu lalang, beberapa yang lainnya sedang duduk bercengkrama dengan temannya. Aku dan temanku Yelli, duduk mengobrol sembari menunggu kedatangan teman lain. Yelli menceritakan pengalamannya selama  melakukan praktek profesi di rumah sakit ini. “ pasien shcizofren nggak bisa lihat benda-benda asing” kata yelli sambil menunjukkan kalung yang ku pakai. Lalu  dia melanjutkan dengan beberapa penjelasan lain yang tidak kutemukan di mesin pencarian subuh tadi.
Tepat jam 08.20, Zia teman yang kami tunggu-tunggu datang. Tak lama kemudian kami bergegas menuju wilayah intermediet dimana pasien jiwa berkumpul. Aku melihat beberapa pasien sedang duduk di bangku pinggir koridor yang sedang kami lewati, rasa takut menghampiri lagi, dengan sigap aku berlindung di balakang langkah temanku.
Kuperhatikan ada beberapa orang perempuan yang masih dikurung dalam jeruji, sedang menyanyi dengan  merdunya. Kami bertemu dengan beberapa pasien yang sudah hampir sembuh  namun masih bergantung kepada obat atau sering disebut pasien Bekerja Karena Obat (BKO), salah satunya pak DE ( nama disamarkan), dia begitu senang berjumpa dengan teman ku yelli yang notabenenya dulu praktek disitu. Kami bersalaman dan memperkenalkan diri, lalu Pak DE mengobrol sambil sesekali di selipkan kosakasta bahasa jepang dalam percakapan kami, usut punya usut Pak DE adalah seorang pasien waham yang terobsesi sekali dengan negeri Jepang.
Cerita pak DE dominannya tentang kehidupan di jepang, mulai dari bahasa Jepang, pekerjaan, sampai kepribadian orang jepang yang terkenal dengan kedisiplinannya, katanya pak DE juga mempraktekkan prilaku disiplin dan cekatan dalam kesehariannya. Tak terlepas dari keramahannya, Pak DE berhasil membuat kami beberapa kali terkekeh geli dengan leluconnya.
Seluruh pasien ruangan Bugenvile yang dihuni oleh laki laki pun dilepas, setiap pagi mereka melakukan aktifitas kebugaran yaitu senam. Umur mereka beragam mulai 17 tahun sampai 60 tahun. Meskipun mereka menyandang gelar sebagai pasien jiwa, namun mereka memiliki bakat dan kelebihan yang luar biasa, ada yang bisa mengaji, bernyanyi, berbahasa Inggris, bahasa jepang dan beberapa  hal menakjubkan lainnya, mereka punya bakat yang harus di kembangkan.
Berinteraksi dengan pasien jiwa membuat  kami tak henti tertawa, semula tujuan kami kesini untuk menjadi teman dan menghibur mereka, kenyataannya merekalah yang membuat kami terhibur dengan lelucon dan tingkah konyolnya. Nyanyian dan rawut wajah polos mereka begitu menghibur.  Aku  pribadi merasa lupa kalau aku sedang berada di rumah sakit jiwa,  begitulah gambarannya.
Berkunjung ke Rumah sakit Jiwa dan bertemu dengan pasien jiwa  tidak se-menyeramkan yang aku fikirkan, dan seperti apa yang difikirkan orang pada umumnya. Ini hanya masalah persepsi yang sudah terbentuk dalam masyarakat. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk mendiskriminasi dan bersikap tidak baik terhadap Penderita kelainan jiwa.
Selama ini penderita gangguan jiwa  selalu dikucilkan, didiskriminasi oleh masyarakat bahkan ada yang tega mengatakan mereka sebagai “sampah masyarakat” yang harus di jauhi. Padahal pengucilan dan diskriminasi hanya memperburuk kondisi penderita itu sendiri.
Sejatinya tempat terbaik bagi penderita kelainan mental bukan di panti rehabilitasi mental atau rumah sakit jiwa, apalagi dipasung atau ditelantarkan di jalanan. Tempat terbaik bagi meraka adalah berada ditengah – tengah keluarganya. Mereka membutuhkan perhatian, pengertian, cinta dan kasih sayang.
Itulah yang membuat aku dan teman-temanku tergerak untuk melakukan sebuah aksi sosial pemerhati pasien jiwa untuk membantu proses pemulihan kondisi jiwa mereka.
Pasien jiwa memiliki hak yang sama seperti orang normal pada umumnya, mereka hanya kehilangan kewarasannya saja, bukan berarti mereka hina dan harus di jauhi. Mereka membutuhkan dukungan untuk bisa kembali sembuh.
Jam ditangan menunjukkan pukul 10.30 saatnya kami bergerak pulang, meski sejujurnya kami masih sangat betah berada ditengah-tengah mereka. Kudapati mereka terhibur dengan kedatangan kami. Lalu aku dan teman ku berpamitan untuk segera pulang.
Cerita belum berakhir sampai disini, saat perjalanan pulang aku mampir kesebuah kios tak jauh dari gerbang rumah sakit, kudapati seorang lelaki tua beruban menyapaku, dan membantuku menyebrang, padahal aku bisa saja menyebrang sendiri. Terakhir pak tua itu mengucapkan terimakasih dan meminta aku dan teman temanku untuk sering berkujung ke rumah sakit jiwa lagi.  Mereka mempunya hati yang tulus, sebegitu tulusnya sampai mereka sangat menghargai kebahagiaan kecil yang dihadirkan oleh kami.
Aku banyak belajar hari ini, belajar dari mereka ODGJ, belajar kejujuran, ketulusan, dermawan, solidaritas, ketabahan dan kesabaran serta niat menghargai orang lain. Terkadang nilai-nilai tersebut sudah mulai luntur bahkan sudah sulit aku temukan dalam kepribadian orang yang mentalnya masih sehat. Sekali lagi, orang – orang yang memiliki gangguan mental tidak semenyeramkan dengan doktrin yang dibentuk dalam masyarakat.


Bukan telinga kita yang tuli, tapi nurani yang hilang yang akhirnya tak mampu lagi mendengar suara saudara kita sendiri” –Griya Schizofren